BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga peradilan sebagai salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung (MA), yang dibentuk
melalui Perubahan Ketiga UUD 1945.
Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk MK. Pembentukan
MK sendiri merupakan fenomena negara modern abad ke-20.()
Ide pembentukan MK di Indonesia muncul dan menguat di era
reformasi pada saat dilakukan perubahan terhadap UUD 1945. Namun demikian, dari
sisi gagasan judicial review sebenarnya telah ada sejak pembahasan UUD
1945 oleh BPUPK pada tahun 1945. Anggota BPUPK, Prof. Muhammad Yamin, telah
mengemukakan pendapat bahwa “Balai Agung” (MA) perlu diberi kewenangan untuk
membanding Undang-Undang. Namun Prof. Soepomo menolak pendapat tersebut karena
memandang bahwa UUD yang sedang disusun pada saat itu tidak menganut paham
trias politika dan kondisi saat itu belum banyak sarjana hukum dan belum
memiliki pengalaman judicial review.()
Pada masa berlakunya Konstitusi RIS, judicial review pernah
menjadi salah satu wewenang MA, tetapi terbatas untuk menguji Undang-Undang
Negara Bagian terhadap konstitusi. Hal itu diatur dalam Pasal 156, Pasal 157,
dan Pasal 158 Konstitusi RIS. Sedangkan di dalam UUDS 1950, tidak ada lembaga
pengujian undang-undang karena undang-undang dipandang sebagai pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang dijalankan oleh pemerintah bersama DPR. ()
Ide perlunya judicial review, khususnya pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, kembali muncul pada saat pembahasan
RUU Kekuasaan Kehakiman yang selanjutnya ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Saat itu Ikatan Hakim
Indonesia yang mengusulkan agar MA diberikan wewenang menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar. Namun karena ketentuan tersebut dipandang
merupakan materi muatan konstitusi sedangkan dalam UUD 1945 tidak diatur
sehingga usul itu tidak disetujui oleh pembentuk undang-undang. MA ditetapkan
memiliki wewenang judicial review secara terbatas, yaitu menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,
itupun dengan ketentuan harus dalam pemeriksaan tingkat kasasi yang mustahil
dilaksanakan.
Ketentuan ini juga dituangkan dalam Tap MPR
Nomor VI/MPR/1973 dan Tap MPR Nomor III/MPR/1978.()
Kewenangan
Mahkamah Konstitusi telah diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003()
tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut: (1) Menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945, (2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, (3)
Memutus pembubaran partai politik, dan (4) Memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum, serta satu kewajibannya adalah Mahkamah Konstitusi wajib
memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945.()
Saat ini Mahkamah Konstitusi sedang menjadi sorotan masyarakat karena
dinilai banyak melakukan kontroversi dalam memutus sengketa Pilkada, dan juga
oleh pengamat hukum disebabkan kurangnya independensi dan transparansi dalam
menyelesaikan sengketa Pilkada, diperparah lagi adanya dugaan bahwa Hakim
Konstitusi terlibat suap dalam penyelesaian sengketa Pilkada. Jika tidak segera
diperbaiki sistem dan SDM yang dimiliki oleh Pejabat yang terkait di MK, bukan
tidak mungkin, ini menjadi awal keterpurukan MK itu sendiri.()
1.2 Rumusan Masalah
Dari sedikit gambaran diatas, tentu akan memunculkan beberapa pertanyaan
antara lain sebagai berikut:
1.
Pengertian Mahkamah Konstitusi dan
Karakteristik Peradilan MK.
2.
Kewenangan MK dalam Menyelesaikan
Sengketa Pilkada.
3.
Bagaimana Proses penyelesaian Sengketa
Pilkada di Mahkamah Konstitusi ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian MK dan Karakteristik
Peradilan MK.
MK adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum
dan keadilan dalam lingkup wewenang yang dimiliki. Kedudukan MK sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman sejajar dengan pelaku kekuasaan kehakiman lain, yaitu MA,
serta sejajar pula dengan lembaga negara lain dari cabang kekuasaan yang
berbeda sebagai konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi dan pemisahan
atau pembagian kekuasaan. Lembaga-lembaga negara lainnya meliputi Presiden,
MPR, DPR, DPD dan BPK. Setiap lembaga negara menjalankan penyelenggaraan negara
sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat berdasarkan dan di bawah naungan
konstitusi.()
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional yang
dimiliki oleh MK adalah fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Namun fungsi tersebut belum bersifat spesifik yang berbeda dengan fungsi yang
dijalankan oleh MA. Fungsi MK dapat ditelusuri dari latar belakang
pembentukannya, yaitu untuk menegakkan supremasi konstitusi. Oleh karena itu
ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan MK adalah konstitusi
itu sendiri yang dimaknai tidak hanya sekadar sebagai sekumpulan norma dasar,
melainkan juga dari sisi prinsip dan moral konstitusi, antara lain prinsip
negara hukum dan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan
hak konstitusional warga negara.()
Karakteristik Hukum
Acara MK()
:
Perselisihan
yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya memiliki karakter tersendiri
dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapai sehari-hari oleh peradilan biasa
Putusan
yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa
akibat hukum yang tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain,
lembaga negara dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama
sekali dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial
review)
Nuansa
public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam itu akan menjadi
pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang
pada umumnya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan
individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri inilah yang akan membedakan
penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dengan hukum acara di
pengadilan-pengadilan lainnya
Praktek
hukum acara yang merujuk pada undang-undang hukum acara yang lain timbul karena
kebutuhan yang kadang-kadang dihadapkan kepada Mahkamah Konstitusi, maka
ketentuan yang memberlakukan aturan Hukum Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha
Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan aturan
dimaksud dalam praktek hukum acaranya
Jika
terjadi pertentangan dalam praktek hukum acara pidana, acara TUN dan acara
perdata maka secara mutatis mutandis tidak akan diberlakukan
Aturan
ini meskipun tidak dimuat dalam UU Mahkamah Konstitusi, akan tetapi telah
diadopsi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), baik sebelum maupun sesudah
praktek yang merujuk undang-undang hukum acara lain itu digunakan dalam praktek.()
2.2
Kewenangan MK dalam Memutus Sengketa Pilkada
Tugas dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Sebagai
Bagian Dari Kekuasaan Kehakiman. Sesuai ketentun Pasal 24C ayat (1) UUD 1945,
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersipat final untuk menguji Undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, selain
itu Pasal 24 ayat (2) menambahkan pula bahwa Mahkamah Konstitusi
wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”. Kedudukan dan Susunan Mahkamah Konstitusi.()
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi berkedudukan
di ibu kota negara Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi mempunyai
9 (Sembilan) orang hakim konstitusi yang ditetapkan dengan
keputusan presiden. Landasan Yuridis
Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Perselisihan
Pemilukada.()
Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang
diamanatkan oleh UUD 1945, adalah menguji undang-undang (UU)
terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD; memutus pembubaran partai
politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban memberikan
putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD
1945.
Dalam menjalankan kewenangan ini khususnya
pengujian UU dan mengadili perselisihan hasil pemilu, Mahkamah
Kontitusi menegaskan diri tidak hanya bersandarkan legalitas formal
Undang-undang dalam mengadili, akan tetapi juga memiliki tanggung jawab
mewujudkan tujuan hukum itu sendiri, yakni keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan. Keadilan Mahkamah Konstitusi yang ingin dicapai tidak
semata-mata sebuah keadilan prosedural, yakni keadilan sebagaimana sesuai
rumusan bunyi Undang-undang, tapi di sisi lain mengabaikan keadilan
dan kepastian hukum.
2.3 Proses Penyelesaian Sengketa Pilkada
Perselisihan
hasil pemilihan umum adalah perselisihan antara peserta pemilihan dengan
penyelenggara pemilihan umum. Menurut ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004, Pasal 106, perselisihan hasil pemilihan kepala daerah adalah sengketa
keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dengan penyelenggara
pemilihan kepala daerah (KPU/KIP), yang pelaksanaannya diatur sebagai berikut() :
1. Keberatan terhadap penetapan
hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh
pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu 3 (tiga) hari setelah
penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
2. Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan
calon.
3. Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota.
4. Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya permohonan keberatan oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/
Mahkamah Agung.
5. Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final
dan mengikat.
6. Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagimana dimaksud pada
ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa
hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
kabupaten/kota.
7. Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat
final.()
Berkaitan
dengan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada angka (1) ternyata
kewenangan itu ada pada Mahkamah Agung. Dalam pelaksanaanya Mahkamah
Agung dapat mendelegasikan kewenangan itu kepada Pengadilan Tinggi untuk
memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah kabupeten dan
kota. Setelah ditetapkannya Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua terhadap Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 236C menyebutkan() :
“Penanganan sengketa hasil
penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh
Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan
belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan.”
Ketentuan
ini menegaskan bahwa kewenangan Mahkamah Agung dalam memutus sengketa
perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 106 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, telah dialihkan ke Mahkamah
Konstitusi. Sebagai tindak lanjut dari pengalihan kewenangan tersebut, Mahkamah
Konstitusi menetapkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.
Hal ini sejalan
dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Pemilu. Pasal 1 ayat (4) menyebutkan() :
“ Pemilu Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala
daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.”
Permasalahan-permasalahan
dalam perselisihan hasil pemilu dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok besar, yakni : permasalahan yang
bersifat kualitatif dan masalah kuantitatif. Masalah-masalah kualitatif karena
banyak hal-hal yang seharusnya selesai sebelum diperkarakan di MK,. Misalkan
pelanggaran pidana, administrasi, dan kesalahan penafsiran terhadap UU. Untuk
masalah-masalah bersifat kuantitatif itu sehingga memunculkan sebuah putusan
terkait penafsiran atas Pasal 205 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD dan DPRD, dan putusan sela yang memerintahkan dilakukannya
penghitungan suara dan penghitungan suara ulang di beberapa daerah. Sedangkan
masalah yang menyangkut murni kesalahan penghitungan suara oleh KPU, MK
menyatakan mengabulkan atau menolak permohonan dengan menetapkan
perolehan suara yang benar. Hal ini dilakukan semata-mata karena MK
tidak dapat membiarkan pelanggaran-pelanggaran itu terjadi sehingga terdapat
pihak-pihak yang diuntungkan dengan ketidakadilan tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Dalam menjalankan kewenangan
ini khususnya pengujian UU dan mengadili perselisihan hasil pemilu, Mahkamah
Kontitusi menegaskan diri tidak hanya bersandarkan legalitas formal
Undang-undang dalam mengadili, akan tetapi juga memiliki tanggung jawab
mewujudkan tujuan hukum itu sendiri, yakni keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan. Keadilan Mahkamah Konstitusi yang ingin dicapai tidak semata-mata
sebuah keadilan prosedural, yakni keadilan sebagaimana sesuai rumusan bunyi
Undang-undang, tapi di sisi lain mengabaikan keadilan dan kepastian
hukum.
2. Saat ini
Mahkamah Konstitusi sedang menjadi sorotan masyarakat karena dinilai banyak melakukan
kontroversi dalam memutus sengketa Pilkada, dan juga oleh pengamat hukum
disebabkan kurangnya independensi dan transparansi dalam menyelesaikan sengketa
Pilkada, diperparah lagi adanya dugaan bahwa Hakim Konstitusi terlibat suap dalam
penyelesaian sengketa Pilkada. Jika tidak segera diperbaiki sistem dan SDM yang
dimiliki oleh Pejabat yang terkait di MK, bukan tidak mungkin, ini menjadi awal
keterpurukan MK itu sendiri.
3.2 Saran
Diharapkan kepada Mahasiswa agar banyak membaca atau mengikuti perkembangan
yang sedang terjadi tentang MK, banyak kasus-kasus yang mungkin dapat kita
telaah lebih dalam mengenai sengketa Pilkada.
DAFTAR PUSTAKA
Mahfud
MD ,Moh, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
Jakarta: LP3ES.
Assiddiqie, Jimly,2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta .
Maruarar,
Siahaan, 2011.Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta:Sinar Grafika.
Jimly Assiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi, Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta Tahun 2007. Hal 237.
Maruarar Siahaan,.Hukum Acara Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta:Sinar
Grafika. 2011, hal 211.