Translate

Selasa, 02 April 2013

Politik Hukum Otonomi Daerah Implikasinya terhadap Administrasi Keuangan Daerah




Aldi Setiawan
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung Angkatan 2011


Abstract
financial relationship between central and local governments can not be separated from the growth of a country, the growing attention to decentralization is not only associated with the failure of central planning and the popular strategy of growth with equity, but also an awareness that development is a complex process and uncertainty are not easily controlled and centrally planned.

I.        PENDAHULUAN

Politik Hukum adalah kebijakan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.[1] Dari pengertian tersebut dikaitkan dengan studi ini bahwa politik hukum otonomi daerah mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum tentang otonomi daerah yang dapat menunjukan sifat dan kearah mana hukum otonomi daerah akan dibangun dan ditegakkan. Disini hukum otonomi daerah tidak hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sein), bukan tidak mungkin sangat dipengaruhi oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun implementasi dan penegakannya.[2]  

Sistem penyelenggaraan pemerintah di Indonesia berdasarkan pendekatan kesisteman meliputi sistem pemerintahan pusat atau disebut pemerintah dan sistem pemerintahan daerah. Praktik penyelenggaraan pemerintahan dalam hubungan antar pemerintah, dikenal dengan konsep sentralisasi dan desentralisasi.[3] Konsep sentralisasi menunjukan karakteristik bahwa semua kewenangan penyelenggaraan pemerintah berada di pemerintah pusat, sedangkan desentralisasi menunjukan karakteristik, yakni sebagian kewenangan urusan pemerintahan yang menjadi kewajiban pemerintah diberikan kepada pemerintahan daerah[4]

Proses peralihan dari sistem dekonsentrasi ke sistem desentralisasi disebut pemerintah daerah dengan otonomi. Otonomi adalah penyerahan urusan pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi pemerintahan. Tujuan otonomi adalah mencapai efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat.[5] Tujuan yang hendak dicapai dalam penyerahan tugas ini antara lain menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.[6] Di dalam praktek desentralisasi teritorial di Indonesia sejak dilahirkannya Decentralisatiewet 1903, telah kita kenal beberapa sistem dalam melakukan pembatasan dalam otonomi daerah.[7] Sistem yang telah dipakai untuk membatasi otonomi daerah ialah :
A.    Dengan mengadakan pembatasan secara “zakelijk” (zakelijke afbakening).
B.     Dengan pembatasan menurut asas tertib tingkat (afbakening volgens het rangordebegibnsel), yang disebut juga”hierarchische taakafbakening”.[8]

Jadi otonomi haruslah menjadi salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis. Artinya di negara demokrasi dituntut adanya pemerintah daerah yang memperoleh hak otonomi. Adanya pemerintah daerah yang demikian juga menyempurnakan suatu ciri negara demokrasi yaitu kebebasan[9] Ada 3 (tiga) faktor yang memperlihatkan kaitan erat antara desentralisasi dengan demokrasi yaitu[10] pertama untuk mewujudkan prinsip kebebasan (liberty). Kedua untuk menumbuh kebiasaan rakyat memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang bersangkutan dengan mereka, Memberi kesempatan bagi masyarakat untuk memutuskan sendiri kepentingan-kepentingannya merupakan hal yang sangat esensial di dalam masyarakat yang demokratis. Ketiga untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang mempunyai tuntutan berbeda.  

Masalah yang biasa menjadi fokus perhatian dalam studi tentang pemerintah daerah adalah asas otonomi dan pelaksanaan desentralisasi dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.[11] Tentang hal ini, Yamin menulis bahwa :

”Susunan tata negara yang demokratis membutuhkan pemecahan kekuasaan pemerintahan pada bagian pusat sendiri dan pula membutuhkan pembagian kekuasaan itu antara pusat dengan daerah. Asas demokrasi dan asas Desentralisasi tenaga pemerintahan ini berlawanan dengan asas kehendak mengumpulkan segala-galanya pada pusat pemerintahan.”[12]

Apa yang dikatakan Yamin memberi kesimpulan bahwa otonomi daerah dan desentralisasi merupakan bagian dari negara yang menganut paham demokrasi.[13]

Evaluasi atau kritik lain yang sering pula kita dengar mengenai otonomi daerah dalam waktu akhir-akhir ini adalah masalah perimbangan keuangan antara pemerintah dengan daerah, yang dinilai terlalu berat sebelah, dalam arti terlalu sedikit sumber-sumber pendapatan yang diserahkan kepada daerah.[14] Penilaian seperti ini misalnya seperti yang dikemukakan oleh Prof.Dr. Mubyarto, sebagaimana dimuat dalam harian Suara Pembaharuan tanggal 22 Maret 1989, yang antara lain adalah sebagai berikut:

Mubyarto secara pribadi menyatakan merasa prihatin dengan pembangunan di luar Jawa. Perasaan itu muncul selama lima tahun ia sebagai peneliti yang selalu mengadakan penelitian, baik di Pulau Jawa maupun beberapa tahun terakhir di luar Jawa.
Ia memberikan contoh dengan bertanya, Mengapa Riau menyumbangkan 65 persen dari minyak untuk Indonesia, tetapi provinsi tersebut termiskin ke dua se Sumatra. “Itulah Indonesia. Rakyatnya tidak menikmati tetesan ke bawah, karena diambil Pemerintah Pusat, yang membagikannya ke seluruh Indonesia dan asalnya kadang-kadang terlupakan”, ujarnya.
Dikatakan teori Rostov tentang “tetesan ke bawah” tidak terjadi secara otomatis dan hal ini juga tidak terjadi di negara lain. “Tetapi perlu ada kebijaksanaan khusus untuk meneteskannya ke bawah, dan ini harus diusahakan betul”.ujarnya.[15]

Demikianlah pendapat Prof. Mubyarto (menurut Suara Pembaharuan), yang intinya menghendaki perlunya dipikirkan “tetesan ke bawah, yakni ke daerah asal (penghasil) pendapatan Nasional.[16]


II.     PEMBAHASAN
2.1 Sistem Hubungan Keuangan Pusat-Daerah
Sentralisasi ataupun desentralisasi sebagai suatu sistem administrasi pemerintahan, dalam banyak hal, tidak dapat dilepaskan dari proses pertumbuhan suatu negara, sejarah mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang surut seiring dengan perubahan konstelasi politik yang melekat dan terjadi pada perjalanan kehidupan bangsa.[17] Sejarah perekonomian mencatat desentralisasi telah muncul ke permukaan sebagai paradigma baru dalam kebijakan dan administrasi pembangunan sejak dasawarsa 1970-an. Tumbuhnya perhatian terhadap desentralisasi tidak hanya dikaitkan dengan gagalnya perencanaan terpusat dan populernya strategi pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equity),  tetapi juga adanya kesadaran bahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks dan penuh ketidakpastian yang tidak mudah dikendalikan dan direncanakan dari pusat[18] 
Undang-undang pertama yang mengatur hubungan fiskal (keuangan) pusat-daerah adalah UU No. 32 tahun 1956. UU ini menetapkan sumber-sumber keuangan daerah sebagai berikut[19] :
1.      Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Sumber PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil perusahaan daerah. Adapun pajak pusat yang diserahkan kepada daerah menjadi pajak daerah meliputi pajak verponding, pajak verponding Indonesia, pajak rumah tangga, pajak kendaraan bermotor, pajak jalan, pajak potong hewan, pajak kopra, dan pajak pembangunan I.
2.      Sebagian dari hasil pemungutan pajak negara tertentu, bea masuk, bea keluar, dan cukai diserahkan kepada daerah. Pajak negara tertentu adalah pajak peralihan, pajak upah, pajak materai, pajak kekayaan, dan pajak perseroan.
3.      Ganjaran, subsidi, dan bantuan diberikan kepada daerah dalam hal-hal tertentu.
Bagi hasil pajak serta ganjaran dan bantuan yang tidak dapat dilaksanakan berdasarkan UU No. 32 tahun 1956 diganti dengan[20]
1.      Penyerahan tambahan 3 pajak negara kepada daerah, yaitu: bea balik nama kendaraan bermotor, pajak radio, dan pajak bangsa asing. Dengan demikian daerah memungut 11 macam pajak.
2.      Subsidi Daerah Otonom (SDO) diberikan sebagai ganti dari bagi hasil pajak diatas. Pembagian SDO didasarkan pada perimbangan jumlah pegawai daerah otonom, dengan alasan penggunaan SDO diarahkan kepada gaji pegawai daerah otonom ditambah acress untuk belanja non-pegawai, yang kemudian digunakan untuk subsidi biaya operasional serta ganjaran untuk Dati I, Dati II, dan kecamatan.
3.      Sebagai ganti ganjaran, subsidi dan bantuan diperkenalkan program bantuan Inpres sejak tahun 1969.
4.      Pinjaman kepada daerah dimulai dengan bantuan uang IPEDA (tahun 1969), bantuan Inpres Pasar(tahun1976), dan pinjaman lain(tahun 1978).

2.1 Ketergantungan Fiskal
Rendahnya hubungan fiskal antara pusat-daerah ditandai dengan tingginya kontrol pusat terhadap proses pembangunan daerah. Ini jelas terlihat dari rendahnya proporsi PAD (Pendapatan Asli Daerah) terhadap total pendapatan daerah dibanding besarnya subsidi (grants) yang diberikan dari pusat.[21] Indikator desentralisasi fiskal adalah rasio antara PAD dengan pendapatan daerah. PAD terdiri dari pajak-pajak daerah, retribusi daerah, penerimaan dari dinas, laba bersih dari perusahaan daerah (BUMD) dan penerimaan-penerimaan lain. Dari data yang didapat menunjukan relatif rendahnya proporsi PAD terhadap total pendapatan daerah, yang rata-rata hanya 15,4% selama tahun 1984/85-1990/91. Semua provinsi kecuali DKI Jakarta, mempunyai PAD kurang dari 50%. Artinya lebih banyak subsidi dari pusat dibanding PAD dalam pembangunan daerah. Bila diperinci, PAD hanya membiayai pengeluaran rutin daerah kurang dari 30%; bahkan untuk Dati II lebih buruk lagi karena kurang dari 22% ppengeluaran rutinnya dibiayai oleh PAD[22] 
Masalah yang lain adalah dominannya transfer dari pusat ke daerah, subsidi atau transfer dari pusat ke daerah selama ini melalui tiga jalur[23]: Pertama, SDO (Subsidi Daerah Otonom), yaitu transfer keada Pemda untuk membiayai pengeluaran rutin, Kedua,  Program Inpres (Dana Non DIP) baik yang bersifat sektoral maupun umum dan digunakan untuk membantu Pemda (Provinsi,/Kotamadya, desa) untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembanguna, sekaligus sebagai upaya untuk mengatasii ketidakseimbangan struktur keuangan antar daerah[24] Termasuk dalam program Inpres adalah Inpres Kabupaten, Provinsi, Desa , SD, kesehatan, pasar, penghijauan,dan jalan. Ketiga, DIP (pengeluaran sektoral) yang dialokasikan untuk membiayai proyek-proyek/ peneluaran pembangunan, sebagai perwujudan mekanisme dekonsentrasi.[25]
2.3 Penyebab Ketergantungan Fiskal
 Setidaknya ada lima penyebab utama rendahnya PAD yang pada gilirannya menyebabkan tingginya ketergantungan terhadap subsidi dari pusat.[26] Pertama,  kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah, Kedua, adalah tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan. Semua pajak utama yang paling produktif dan buoyant, baik pajak langsung dan tak langsung, ditarik oleh pusat. Pajak penghasilan badan maupun perorangan  (termasuk migas), Pajak Pertambahan Nilai, bea cukai, PBB, royalty/IHH/IHPH (atas minyak, pertmbangan, kehutanan) smua dikelolasecara administrative dan ditentukan tarifnya oleh pusat. Dua yang terakhir memang merupakan sharing revenus (penerimaan bagi hasil), namun kontribusinya dalam penerimaan daerah relatif masih kecil. Alasan Sentralisasi perpajakan adalah untuk mengurangi disparitas antar daerah, efisiensi administrasi, dan keseragaman perpajakan.[27]
Penyebab Ketiga adalah kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bias diandalkan sebagai sumber penerimaan. Pajak daerah yang ada saat itu berjumlah 50 jenis pajak, tetapi yang dianggap bersifat ekonomis bila dilakukan pemungutannya hanya terdiri dari 12 jenis pajak saja[28] Faktor Penyebab Keempat bersifat politis. Ada yang khawatir apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan separatisme. Yugoslavia dan Uni Soviet sering ditunjuk sebagai contoh kuatnya. Pemda justru mendorong Pemda untuk memisahkan diri dari pusat dan menyebabkan Negara tersebut tercerai berai. Karena itu Sentralisasi diperlukan agar daerah tetap tergantung pada pusat dan pada gilirannya tetap disa dikendalikan oleh pusat.[29]
Faktor terakhir penyebab adanya ketergantungan tersebut adalah kelemahan dalam pemberian subsidi dari pemerintah pusat ke daerah. Selama ini pemerintah memberikan subsidi dalam bentuk blok dan spesifik. Subsidi yang bersifat blok terdiri dari Inpres Dati I, Inpres Dati II, dan Inpres desa. Subsidi yang bersifat spesifik meliputi Inpres Pengembangan wilayah, Sekolah Dasar, kesehatan, penghijauan dan reboisasi, serta jalan dan jembatan.[30] Perbedaan utama antara subsidi blok dengan subsidi spesifik adalah daerah memiliki keleluasaan dalam penggunaan dana subsidi blok, sedang penggunaan dana subsidi spesifik sudah ditentukan oleh pemerintah pusat dan daerah tidak punya keleluasaan dalam menggunakan dana tersebut[31]  Apabila dilihat dari sisi jumlah bantuan yang diterima oleh pemerintah daerah sejak Repelita I, maka bantuan yang bersifat spesifik jauh lebih besar daripada blok, tidak berlebihan bila disimpulkan bahwa pemerintah pusat hanya member kewenangan yang lebih kecil kepada pemerintah daerah untuk merencanakan pembangunan di daerahnya.[32]
III. PENUTUP
3.1   Kesimpulan
Politik Hukum Otonomi Daerah bisa diartikan sebagai suatu kebijakan hukum yang diambil Daerah untuk menentukan arah, bentuk hokum itu sendiri , agar tercapainya keserasian antara pusat dengan daerah, namun dari pembahasan yang saya tuliskan tersebut dapat disimpulkan bahwa manajemen pembangunan daerah yang selama ini berjalan menunjukan kecenderungan yang ‘kurang serasi’. Pembangunan daerah terutama fisik memang cukup pesat, tetapi tingkat ketergantungan fiskal antara daerah terhadap pusat sebagai akibat dari pembangunan tersebut juga semakin besar. Ketergantungan fiskal terlihat dari relative rendahnya PAD dan dominannya transfer dari Pusat. Memang UU. No. 5 tahun 1974 telah menggarisbawahi titik berat otonomi pada daerah Tingkat II. Namun fakta menunjukan justru Dati II lah yang mengalami tingkat ketergantungan yang paling tinggi. Kendati demikian, Pemda telah berperan sentral dalam ikut menyukseskan pembangunan infrastruktur dan pelayanan social, serta telah berfungsi sebagai ‘alat’ pusat yang efektif dalam mendorong pembangunan daerah.
3.2   Saran
Sebagai uraian penutup , dapat penulis rekomendasikan sebagai berikut ; Agar tercapainya pembangunan daerah yang pesat harus dibutuhkan stabilitas politik, political will yang kuat untuk mendukung desentralisasi, karena dengan stabilitas politik merupakan prasyarat mutlak bagi lancarnya pembangunan daerah , ketergantungan fiscal dengan pusat juga harus dikurangi yaitu dengan memanfaatkan Sumber daya yang ada di daerah namun tetap memperhatikan kepentingan rakyat. Kemudian kesabaran agaknya diperlukan dalam menyusun suatu sistem desentralisasi dan kemudian membiarkannya bekerja setelah ditetapkan.


















DAFTAR PUSTAKA
Davey, K, 1979, Hubungan Keuangan Pusat-Daerah: Laporan untuk Pemerintahan Indonesia, Birmingham: ILGS

Iskandar, DD, 1993,Masalah dan Prospek Pembiayaan Pembangunan daerah, Jakarta: Bumi Aksara.

Kuncoro, Mudrajad, 2004, Otonomi & Pembangunan Daerah Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, Jakarta: Erlangga

Kristiadi, 1991, Mencari Kriteria Alokasi Dana Regional: Prospek Kebijaksanaan yang ideal, Jakarta: Prisma.

Mahfud MD, Moh, 1998, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3S.
Rienow, Robert, 1966, Introduction to Government, New York..
Soejito , Irawan, 1984., Sejarah Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita.

Sujamto,1990,Perspektif Otonomi Daerah, Jakarta: Rineka Cipta.

Sunarno, Siswanto, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

Supriatna, 1993, Sistem Administrasi Pemerintah di Daerah, Jakarta: Bumi Aksara.
.
Widjaja, HAW, 2005, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo Persada.

Yamin, Mohammad,1982,Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.























































[1] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3S, Jakarta, 1998, hal.9.
[2] Ibid, hal. 2
[3] Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 11.
[4] Ibid.
[5] HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 17.
[6] Ibid.
[7] Irawan Soejito, Sejarah Pemerintahan Daerah di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1984, hal. 89.
[8] Ibid.
[9] Ibid,hal 90.
[10] Robert Rienow, Introduction to Government, New York, 1966, hal. 573.
[11] Moh. Mahfud, Op.Cit., hal. 90.
[12] Mohammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,1982, hal 145.
[13] Moh. Mahfud MD, Op.Cit.hal. 91
[14] Sujamto,Perspektif Otonomi Daerah, Rineka Cipta, Jakarta,1990, hal 29.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Supriatna, Sistem Administrasi Pemerintah di Daerah, Bumi Aksara, Jakarta, 1993,hal 34
[18] Mudrajad Kuncoro, Otonomi & Pembangunan Daerah Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, Erlangga, Jakarta, 2004, hal. 3.
[19] Kristiadi, Mencari Kriteria Alokasi Dana Regional: Prospek Kebijaksanaan yang ideal, Prisma, Jakarta, 1991, hal 44.
[20] Ibid, hal 45.
[21] Mudrajad Kuncoro, Op.Cit., hal 8.
[22] DD Iskandar, Masalah dan Prospek Pembiayaan Pembangunan daerah,Bumi Aksara,Jakarta, 1993, hal 47.
[23] Mudrajad Kuncoro, Op.Cit., hal 12.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ibid, hal 13.
[27] Ibid.
[28] K. Davey, Hubungan Keuangan Pusat-Daerah: Laporan untuk Pemerintahan Indonesia, ILGS, Birmingham, 1979, hal 14.
[29] Mudrajad Kuncoro, Op.Cit., hal 14.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Ibid, hal 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar