Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung Angkatan
2011
Abstract
financial relationship
between central and local governments can not be separated from the growth of a
country, the growing attention to decentralization is not only associated with
the failure of central planning and the popular strategy of growth with equity,
but also an awareness that development is a complex process and uncertainty are
not easily controlled and centrally planned.
I.
PENDAHULUAN
Politik
Hukum adalah kebijakan hukum (legal
policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah
Indonesia yang meliputi pertama,
pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap
materi-materi hukum agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang
telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.[1]
Dari pengertian tersebut dikaitkan dengan studi ini bahwa politik hukum otonomi
daerah mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum tentang otonomi daerah
yang dapat menunjukan sifat dan kearah mana hukum otonomi daerah akan dibangun
dan ditegakkan. Disini hukum otonomi daerah tidak hanya dipandang sebagai pasal-pasal
yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen,
melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sein),
bukan tidak mungkin sangat dipengaruhi oleh politik, baik dalam perumusan
materi dan pasal-pasalnya maupun implementasi dan penegakannya.[2]
Sistem
penyelenggaraan pemerintah di Indonesia berdasarkan pendekatan kesisteman
meliputi sistem pemerintahan pusat atau disebut pemerintah dan sistem
pemerintahan daerah. Praktik penyelenggaraan pemerintahan dalam hubungan antar
pemerintah, dikenal dengan konsep sentralisasi dan desentralisasi.[3]
Konsep sentralisasi menunjukan karakteristik bahwa semua kewenangan
penyelenggaraan pemerintah berada di pemerintah pusat, sedangkan desentralisasi
menunjukan karakteristik, yakni sebagian kewenangan urusan pemerintahan yang
menjadi kewajiban pemerintah diberikan kepada pemerintahan daerah[4]
Proses
peralihan dari sistem dekonsentrasi ke sistem desentralisasi disebut pemerintah
daerah dengan otonomi. Otonomi adalah penyerahan urusan pemerintah kepada
pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi
pemerintahan. Tujuan otonomi adalah mencapai efektifitas dan efisiensi dalam
pelayanan kepada masyarakat.[5]
Tujuan yang hendak dicapai dalam penyerahan tugas ini antara lain
menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat.[6]
Di dalam praktek desentralisasi teritorial di Indonesia sejak dilahirkannya
Decentralisatiewet 1903, telah kita kenal beberapa sistem dalam melakukan
pembatasan dalam otonomi daerah.[7]
Sistem yang telah dipakai untuk membatasi otonomi daerah ialah :
A. Dengan
mengadakan pembatasan secara “zakelijk” (zakelijke afbakening).
B. Dengan
pembatasan menurut asas tertib tingkat (afbakening volgens het
rangordebegibnsel), yang disebut juga”hierarchische taakafbakening”.[8]
Jadi
otonomi haruslah menjadi salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis.
Artinya di negara demokrasi dituntut adanya pemerintah daerah yang memperoleh
hak otonomi. Adanya pemerintah daerah yang demikian juga menyempurnakan suatu
ciri negara demokrasi yaitu kebebasan[9]
Ada 3 (tiga) faktor yang memperlihatkan kaitan erat antara desentralisasi
dengan demokrasi yaitu[10] pertama
untuk mewujudkan prinsip kebebasan (liberty).
Kedua untuk menumbuh kebiasaan
rakyat memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang bersangkutan dengan mereka,
Memberi kesempatan bagi masyarakat untuk memutuskan sendiri
kepentingan-kepentingannya merupakan hal yang sangat esensial di dalam masyarakat
yang demokratis. Ketiga untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap
masyarakat yang mempunyai tuntutan berbeda.
Masalah
yang biasa menjadi fokus perhatian dalam studi tentang pemerintah daerah adalah
asas otonomi dan pelaksanaan desentralisasi dalam hubungan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah.[11]
Tentang hal ini, Yamin menulis bahwa :
”Susunan
tata negara yang demokratis membutuhkan pemecahan kekuasaan pemerintahan pada
bagian pusat sendiri dan pula membutuhkan pembagian kekuasaan itu antara pusat
dengan daerah. Asas demokrasi dan asas Desentralisasi tenaga pemerintahan ini
berlawanan dengan asas kehendak mengumpulkan segala-galanya pada pusat
pemerintahan.”[12]
Apa
yang dikatakan Yamin memberi kesimpulan bahwa otonomi daerah dan desentralisasi
merupakan bagian dari negara yang menganut paham demokrasi.[13]
Evaluasi
atau kritik lain yang sering pula kita dengar mengenai otonomi daerah dalam
waktu akhir-akhir ini adalah masalah perimbangan keuangan antara pemerintah
dengan daerah, yang dinilai terlalu berat sebelah, dalam arti terlalu sedikit
sumber-sumber pendapatan yang diserahkan kepada daerah.[14] Penilaian
seperti ini misalnya seperti yang dikemukakan oleh Prof.Dr. Mubyarto,
sebagaimana dimuat dalam harian Suara
Pembaharuan tanggal 22 Maret 1989, yang antara lain adalah sebagai berikut:
Mubyarto
secara pribadi menyatakan merasa prihatin dengan pembangunan di luar Jawa.
Perasaan itu muncul selama lima tahun ia sebagai peneliti yang selalu
mengadakan penelitian, baik di Pulau Jawa maupun beberapa tahun terakhir di
luar Jawa.
Ia
memberikan contoh dengan bertanya, Mengapa Riau menyumbangkan 65 persen dari
minyak untuk Indonesia, tetapi provinsi tersebut termiskin ke dua se Sumatra.
“Itulah Indonesia. Rakyatnya tidak menikmati tetesan ke bawah, karena diambil
Pemerintah Pusat, yang membagikannya ke seluruh Indonesia dan asalnya
kadang-kadang terlupakan”, ujarnya.
Dikatakan
teori Rostov tentang “tetesan ke bawah” tidak terjadi secara otomatis dan hal
ini juga tidak terjadi di negara lain. “Tetapi perlu ada kebijaksanaan khusus
untuk meneteskannya ke bawah, dan ini harus diusahakan betul”.ujarnya.[15]
Demikianlah
pendapat Prof. Mubyarto (menurut Suara
Pembaharuan), yang intinya menghendaki perlunya dipikirkan “tetesan ke
bawah, yakni ke daerah asal (penghasil) pendapatan Nasional.[16]
II.
PEMBAHASAN
2.1 Sistem Hubungan
Keuangan Pusat-Daerah
Sentralisasi ataupun desentralisasi
sebagai suatu sistem administrasi pemerintahan, dalam banyak hal, tidak dapat
dilepaskan dari proses pertumbuhan suatu negara, sejarah mencatat
desentralisasi di Indonesia mengalami pasang surut seiring dengan perubahan
konstelasi politik yang melekat dan terjadi pada perjalanan kehidupan bangsa.[17]
Sejarah perekonomian mencatat desentralisasi telah muncul ke permukaan sebagai
paradigma baru dalam kebijakan dan administrasi pembangunan sejak dasawarsa
1970-an. Tumbuhnya perhatian terhadap desentralisasi tidak hanya dikaitkan
dengan gagalnya perencanaan terpusat dan populernya strategi pertumbuhan dengan
pemerataan (growth with equity), tetapi juga adanya kesadaran bahwa
pembangunan adalah suatu proses yang kompleks dan penuh ketidakpastian yang
tidak mudah dikendalikan dan direncanakan dari pusat[18]
Undang-undang pertama yang mengatur
hubungan fiskal (keuangan) pusat-daerah adalah UU No. 32 tahun 1956. UU ini
menetapkan sumber-sumber keuangan daerah sebagai berikut[19] :
1. Pendapatan
Asli Daerah (PAD)
Sumber PAD terdiri dari
pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil perusahaan daerah. Adapun pajak pusat
yang diserahkan kepada daerah menjadi pajak daerah meliputi pajak verponding,
pajak verponding Indonesia, pajak rumah tangga, pajak kendaraan bermotor, pajak
jalan, pajak potong hewan, pajak kopra, dan pajak pembangunan I.
2. Sebagian
dari hasil pemungutan pajak negara tertentu, bea masuk, bea keluar, dan cukai
diserahkan kepada daerah. Pajak negara tertentu adalah pajak peralihan, pajak
upah, pajak materai, pajak kekayaan, dan pajak perseroan.
3. Ganjaran,
subsidi, dan bantuan diberikan kepada daerah dalam hal-hal tertentu.
Bagi hasil pajak serta ganjaran dan
bantuan yang tidak dapat dilaksanakan berdasarkan UU No. 32 tahun 1956 diganti
dengan[20]
1. Penyerahan
tambahan 3 pajak negara kepada daerah, yaitu: bea balik nama kendaraan
bermotor, pajak radio, dan pajak bangsa asing. Dengan demikian daerah memungut
11 macam pajak.
2. Subsidi
Daerah Otonom (SDO) diberikan sebagai ganti dari bagi hasil pajak diatas.
Pembagian SDO didasarkan pada perimbangan jumlah pegawai daerah otonom, dengan
alasan penggunaan SDO diarahkan kepada gaji pegawai daerah otonom ditambah acress untuk belanja non-pegawai, yang
kemudian digunakan untuk subsidi biaya operasional serta ganjaran untuk Dati I,
Dati II, dan kecamatan.
3. Sebagai
ganti ganjaran, subsidi dan bantuan diperkenalkan program bantuan Inpres sejak
tahun 1969.
4. Pinjaman
kepada daerah dimulai dengan bantuan uang IPEDA (tahun 1969), bantuan Inpres
Pasar(tahun1976), dan pinjaman lain(tahun 1978).
2.1
Ketergantungan Fiskal
Rendahnya
hubungan fiskal antara pusat-daerah ditandai dengan tingginya kontrol pusat
terhadap proses pembangunan daerah. Ini jelas terlihat dari rendahnya proporsi
PAD (Pendapatan Asli Daerah) terhadap total pendapatan daerah dibanding
besarnya subsidi (grants) yang
diberikan dari pusat.[21]
Indikator desentralisasi fiskal adalah rasio antara PAD dengan pendapatan
daerah. PAD terdiri dari pajak-pajak daerah, retribusi daerah, penerimaan dari
dinas, laba bersih dari perusahaan daerah (BUMD) dan penerimaan-penerimaan
lain. Dari data yang didapat menunjukan relatif rendahnya proporsi PAD terhadap
total pendapatan daerah, yang rata-rata hanya 15,4% selama tahun
1984/85-1990/91. Semua provinsi kecuali DKI Jakarta, mempunyai PAD kurang dari
50%. Artinya lebih banyak subsidi dari pusat dibanding PAD dalam pembangunan
daerah. Bila diperinci, PAD hanya membiayai pengeluaran rutin daerah kurang
dari 30%; bahkan untuk Dati II lebih buruk lagi karena kurang dari 22%
ppengeluaran rutinnya dibiayai oleh PAD[22]
Masalah
yang lain adalah dominannya transfer dari pusat ke daerah, subsidi atau
transfer dari pusat ke daerah selama ini melalui tiga jalur[23]: Pertama, SDO (Subsidi Daerah Otonom),
yaitu transfer keada Pemda untuk membiayai pengeluaran rutin, Kedua, Program Inpres (Dana Non DIP) baik yang
bersifat sektoral maupun umum dan digunakan untuk membantu Pemda
(Provinsi,/Kotamadya, desa) untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembanguna,
sekaligus sebagai upaya untuk mengatasii ketidakseimbangan struktur keuangan
antar daerah[24]
Termasuk dalam program Inpres adalah Inpres Kabupaten, Provinsi, Desa , SD,
kesehatan, pasar, penghijauan,dan jalan. Ketiga,
DIP (pengeluaran sektoral) yang dialokasikan untuk membiayai proyek-proyek/
peneluaran pembangunan, sebagai perwujudan mekanisme dekonsentrasi.[25]
2.3
Penyebab Ketergantungan Fiskal
Setidaknya ada lima penyebab utama rendahnya
PAD yang pada
gilirannya menyebabkan tingginya ketergantungan terhadap subsidi dari pusat.[26] Pertama, kurang berperannya perusahaan daerah sebagai
sumber pendapatan daerah, Kedua, adalah
tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan. Semua pajak utama yang
paling produktif dan buoyant, baik
pajak langsung dan tak langsung, ditarik oleh pusat. Pajak penghasilan badan
maupun perorangan (termasuk migas),
Pajak Pertambahan Nilai, bea cukai, PBB, royalty/IHH/IHPH (atas minyak,
pertmbangan, kehutanan) smua dikelolasecara administrative dan ditentukan
tarifnya oleh pusat. Dua yang terakhir memang merupakan sharing revenus (penerimaan bagi hasil), namun kontribusinya dalam
penerimaan daerah relatif masih kecil. Alasan Sentralisasi perpajakan adalah
untuk mengurangi disparitas antar daerah, efisiensi administrasi, dan
keseragaman perpajakan.[27]
Penyebab Ketiga adalah kendati pajak daerah cukup
beragam, ternyata hanya sedikit yang bias diandalkan sebagai sumber penerimaan.
Pajak daerah yang ada saat itu berjumlah 50 jenis pajak, tetapi yang dianggap
bersifat ekonomis bila dilakukan pemungutannya hanya terdiri dari 12 jenis
pajak saja[28]
Faktor Penyebab Keempat bersifat
politis. Ada yang khawatir apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi
akan mendorong terjadinya disintegrasi dan separatisme. Yugoslavia dan Uni
Soviet sering ditunjuk sebagai contoh kuatnya. Pemda justru mendorong Pemda
untuk memisahkan diri dari pusat dan menyebabkan Negara tersebut tercerai
berai. Karena itu Sentralisasi diperlukan agar daerah tetap tergantung pada
pusat dan pada gilirannya tetap disa dikendalikan oleh pusat.[29]
Faktor terakhir penyebab
adanya ketergantungan tersebut adalah kelemahan dalam pemberian subsidi dari
pemerintah pusat ke daerah. Selama ini pemerintah memberikan subsidi dalam
bentuk blok dan spesifik. Subsidi yang bersifat blok terdiri dari Inpres Dati
I, Inpres Dati II, dan Inpres desa. Subsidi yang bersifat spesifik meliputi
Inpres Pengembangan wilayah, Sekolah Dasar, kesehatan, penghijauan dan
reboisasi, serta jalan dan jembatan.[30]
Perbedaan utama antara subsidi blok dengan subsidi spesifik adalah daerah
memiliki keleluasaan dalam penggunaan dana subsidi blok, sedang penggunaan dana
subsidi spesifik sudah ditentukan oleh pemerintah pusat dan daerah tidak punya
keleluasaan dalam menggunakan dana tersebut[31] Apabila dilihat dari sisi jumlah bantuan yang
diterima oleh pemerintah daerah sejak Repelita I, maka bantuan yang bersifat
spesifik jauh lebih besar daripada blok, tidak berlebihan bila disimpulkan
bahwa pemerintah pusat hanya member kewenangan yang lebih kecil kepada
pemerintah daerah untuk merencanakan pembangunan di daerahnya.[32]
III. PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Politik
Hukum Otonomi Daerah bisa diartikan sebagai suatu kebijakan hukum yang diambil
Daerah untuk menentukan arah, bentuk hokum itu sendiri , agar tercapainya
keserasian antara pusat dengan daerah, namun dari pembahasan yang saya tuliskan
tersebut dapat disimpulkan bahwa manajemen pembangunan daerah yang selama ini
berjalan menunjukan kecenderungan yang ‘kurang serasi’. Pembangunan daerah
terutama fisik memang cukup pesat, tetapi tingkat ketergantungan fiskal antara
daerah terhadap pusat sebagai akibat dari pembangunan tersebut juga semakin
besar. Ketergantungan fiskal terlihat dari relative rendahnya PAD dan
dominannya transfer dari Pusat. Memang UU. No. 5 tahun 1974 telah
menggarisbawahi titik berat otonomi pada daerah Tingkat II. Namun fakta
menunjukan justru Dati II lah yang mengalami tingkat ketergantungan yang paling
tinggi. Kendati demikian, Pemda telah berperan sentral dalam ikut menyukseskan
pembangunan infrastruktur dan pelayanan social, serta telah berfungsi sebagai
‘alat’ pusat yang efektif dalam mendorong pembangunan daerah.
3.2 Saran
Sebagai uraian
penutup , dapat penulis rekomendasikan sebagai berikut ; Agar tercapainya
pembangunan daerah yang pesat harus dibutuhkan stabilitas politik, political will yang kuat untuk mendukung
desentralisasi, karena dengan stabilitas politik merupakan prasyarat mutlak
bagi lancarnya pembangunan daerah , ketergantungan fiscal dengan pusat juga
harus dikurangi yaitu dengan memanfaatkan Sumber daya yang ada di daerah namun
tetap memperhatikan kepentingan rakyat. Kemudian kesabaran agaknya diperlukan
dalam menyusun suatu sistem desentralisasi dan kemudian membiarkannya bekerja
setelah ditetapkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Davey, K, 1979, Hubungan Keuangan
Pusat-Daerah: Laporan untuk Pemerintahan Indonesia, Birmingham: ILGS
Iskandar,
DD, 1993,Masalah dan
Prospek Pembiayaan Pembangunan daerah, Jakarta:
Bumi Aksara.
Kuncoro, Mudrajad, 2004, Otonomi
& Pembangunan Daerah Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, Jakarta: Erlangga
Kristiadi, 1991, Mencari Kriteria Alokasi Dana Regional: Prospek
Kebijaksanaan yang ideal, Jakarta: Prisma.
Mahfud MD, Moh, 1998, Politik Hukum di
Indonesia,
Jakarta: LP3S.
Rienow, Robert, 1966, Introduction
to Government, New York..
Soejito , Irawan, 1984., Sejarah
Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jakarta:
Pradnya
Paramita.
Sujamto,1990,Perspektif Otonomi Daerah, Jakarta: Rineka Cipta.
Sunarno,
Siswanto, 2005, Hukum Pemerintahan Daerah
di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Supriatna, 1993,
Sistem Administrasi Pemerintah di Daerah,
Jakarta: Bumi Aksara.
.
Widjaja,
HAW, 2005, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Yamin,
Mohammad,1982,Proklamasi dan
Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia.
[1] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3S,
Jakarta, 1998, hal.9.
[2] Ibid, hal. 2
[3] Siswanto
Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 11.
[4] Ibid.
[5] HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 17.
[6] Ibid.
[7] Irawan Soejito, Sejarah Pemerintahan Daerah di Indonesia, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1984, hal. 89.
[8] Ibid.
[9] Ibid,hal 90.
[10] Robert Rienow, Introduction to Government, New York,
1966, hal. 573.
[11] Moh. Mahfud, Op.Cit., hal. 90.
[12] Mohammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik
Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,1982, hal 145.
[13] Moh. Mahfud MD, Op.Cit.hal. 91
[14] Sujamto,Perspektif Otonomi Daerah, Rineka Cipta, Jakarta,1990, hal 29.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Supriatna, Sistem Administrasi Pemerintah di Daerah, Bumi Aksara, Jakarta,
1993,hal 34
[18]
Mudrajad Kuncoro, Otonomi &
Pembangunan Daerah Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, Erlangga,
Jakarta, 2004, hal. 3.
[19]
Kristiadi, Mencari Kriteria Alokasi Dana
Regional: Prospek Kebijaksanaan yang ideal, Prisma, Jakarta, 1991, hal 44.
[20] Ibid, hal 45.
[21]
Mudrajad Kuncoro, Op.Cit., hal 8.
[22] DD
Iskandar, Masalah dan Prospek Pembiayaan
Pembangunan daerah,Bumi Aksara,Jakarta, 1993, hal 47.
[23]
Mudrajad Kuncoro, Op.Cit., hal 12.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[27] Ibid.
[28] K. Davey, Hubungan Keuangan Pusat-Daerah: Laporan untuk Pemerintahan Indonesia, ILGS,
Birmingham, 1979, hal 14.
[29] Mudrajad Kuncoro, Op.Cit., hal 14.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar