PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Istilah
Hukum Humaniter Internasional merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu
International Humaniter Law. Istilah lain yang kadang – kadang dipakai ialah
hukum sengketa bersenjata ( the law of armed conflict ). Sebelum perang dunia
istilah yang lazimnya dipakai ialah hukum perang ( the law of war ), juga di
lingkungan angkatan bersenjata ( armed forces ) dibanyak negara biasanya
digunakan istilah hukum perang.[1]
Hukum
humaniter merupakan sejumlah prinsip dasar dan aturan mengenai pembatasan
penggunaan kekerasan dalam situasi konflik bersenjata. Tidak seperti perangkat
hukum lainnya,hukum humaniter mempunyai sejarah yang belum cukup panjang namun
sangat signifikan.Tujuan Hukum Humaniter yang dirumuskan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa adalah sebagai berikut:[2]
a.
Untuk melindungi orang yang tidak terlibat atau tidak lagi terlibat dalam suatu permusuhan (hostilities), seperti
orang-orang yang terluka, yang terdampar dari kapal, tawanan perang, dan
orang-orang sipil;
b.
Untuk membatasi akibat kekerasan dalam peperangan dalam rangka mencapai tujuan
terjadinya konflik tersebut.[3]
Hukum
Humaniter Internasional yang diterapkan dalam sengketa bersenjata dibentuk
untuk menjamin sejauh mungkin penghormatan terhadap manusia, sesuai dengan
persyaratan militer dan keamanan umum, serta untuk mengurangi penderitaan
berlebihan yang disebabkan oleh peperangan. [4]
Selama
ini hukum humaniter terdiri dari Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Hukum Jenewa
mengatur perlindungan terhadap korban perang, sedangkan hukum Den Haag mengatur
mengenai cara dan alat berperang. Kedua ketentuan hukum tersebut merupakan
sumber hukum humaniter yang utama, selain konvensi-konvensi lain yang telah
disebutkan terdahulu.[5]
Sumber
yang pertama adalah berasal dari Konvensi Den Haag, dinamakan Den Haag sendiri
karena dibuat di wilayah ini. Konvensi Den Haag terjadi sebanyak dua kali.
Dimana yang konvensi yang pertama pada tahun 1899 dan yang kedua pada tahun
1907. Sebenarnya isi dari kedua konvensi ini sama yakni mengatur tata cara dan
alat yang diperbolehkan dalam perang yang dilakukan oleh Negara-negara yang
melakukannya. Hanya saja isi dari konvensi kedua merupakan penyempurnaan dari
konvensi pertama. Dalam Konvensi Den Haag pertama 1899 dihasilkan enam konvensi
dan deklarasi. Sedangkan pada tahun 1907 menghasilkan empat belas konvensi yang
beberapa diantaranya tidak digunakan.[6]
Konvensi Jenewa sendiri lebih mengarah kepada tata
cara dalam memperlakukan dalam melindungi korban dari perang yang terjadi.
Konvensi ini juga sama dengan Den Haag, dimana nama yang diambil berasal dari
daerah tempat terjadinya Konvensi ini, yaitu Jenewa yang merupakan salah satu
wilayah di Swiss. Konvensi ini terjadi pada tahun 1949. dalam Konvensi ini
terdapat banyak pasal yang sangat mengarah atau membahas tentang cara
memperlakukan korban maupun penduduk sipil yang tidak boleh tersentuh ketika
perang berlangsung.[7] Pada makalah ini lebih difokuskan pada pembahasan mengenai konvensi den haag
1907 terutma dalam konvensi ke sepuluh sampai dengan tiga belas mengenai:[8]
1.
Konvensi
X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut.
2.
Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan
dalam Perang di Laut.
3. Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang
Sitaan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dijabarkan oleh penulis diatas, maka akan timbul
pertanyaan terkait dengan hukum perang laut yaitu
1.
Bagaimanakah pengaturan
yang terdapat dalam konvensi den haag tersebut ?
2.
Bagaimana daya ikatnya
terhadap negara-negara yang bersengketa.
C.
Tujuan
penulisan.
Adapun
tujuan dalam penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum perang laut dalam konvensi den
haag.
2. Untuk mengetahui sejauh mana daya ikat
konvensi den haag ini terhadap negara-negara yang bertikai.
D.
Metode
penulisan
Metode
penulisan yang dipakai penulis dalam membuat makalah ini adalah dengan
menggunakan metode studi pustaka yaitu Yaitu metode yang dilakukan dengan
mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka yang berhubungan dengan alat,
baik berupa buku maupun informasi di internet dan juga penulis menggunakan
metode yuridis formil yaitu dengan mempelajari dasar-dasar hukum guna
melengkapi data-data yang berkenaan dengan hukum perang laut yang bersumber
dari hukum den haag 1907.
E.
Sistematika
penulisan.
Sistematika penulisan makalah ini
adalah:
BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
B. IdentifikasiMasalah
C. Tujuan
D. MetodePenulisan
E. SistematikaPenulisan
BAB II LANDASAN TEORI
A. FokusBahasan
B. PengaturanHukumInternasional
BAB III PEMBAHASAN
Berisi
pembahasan atau jawaban atas identifikasi masalah
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan
(berisisimpulanataspembahasan)
B. Saran
Daftar
Pustaka
BAB
II
LANDASAN
TEORI
A.
Fokus
bahasan
Perang
adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah kondisi
permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih kelompok manusia
untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Perang secara purba
di maknai sebagai pertikaian bersenjata. Di era modern, perang lebih mengarah
pada superioritas teknologi dan industri. Hal ini tercermin dari doktrin
angkatan perangnya seperti "Barang siapa menguasai ketinggian maka
menguasai dunia". Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan atas ketinggian
harus dicapai oleh teknologi. Namun kata perang tidak lagi berperan sebagai
kata kerja, namun sudah bergeser pada kata sifat. Yang memopulerkan hal ini
adalah para jurnalis, sehingga lambat laun pergeseran ini mendapatkan
posisinya, namun secara umum perang berarti "pertentangan".
Dewasa
ini, akibat dari kemajuan teknologi, perang semakin mudah terjadi. Baik di
darat, laut, maupun udara. Perang yang terjadi ini disamping menimbulkan
kerugian bagi pihak yang bertikai juga bisa merugikan negara-negara netral yang
tidak ikut bersengketa. Karena itulah pada pelaksanaannya, haruslah ada hukum
yang mengatur tentang tata cara perang agar tidak menimbulkan kekacauan dan
kerusakan secara Massive atau paling
tidak bisa mengurangi dampak yang timbul akibat dari perang ini. Karena itulah
dalam perjalanannya, dunia internasional bersepakat membuat sebuah peraturan
mengenai tata cara berperang yaitu konvensi Den haag. Pada pembahasan ini akan
difokuskan terhadap pengaturan tentang perang laut yang diatur dalam konvensi
den haag yang ke 10,11,12,13.
B.
Pengaturan
hukum internasional.
”International law is sometimes called public
international law to distinguish it from private international law, though, as
already explained, even this can lead to misunderstandings”[10]
“hukum internasional terkadang disebut hukum
internasional public untuk membedakan dari hukum internasional privat, meskipun
sudah publikasikan namun ini sering terjadi kesalahpahaman dalam menentukannya”.
”General Principles constitute a crucial element of international law,
without which its effective functioning would be jeopardized. Without general
principles, also progress and responsiveness of international law to modern
challenges would be considerably constrained”[11]
Penegakan Hukum di dalam Hukum Humaniter
Internasional
Hukum Humaniter Internasional sebagai salah satu cabang dari hukum internasional publik tidak memiliki suatu badan atau otoritas tertinggi yang berwenang untuk membuat dan menegakkan atau mempertahankan berlakunya ketentuan – ketentuan hukum humaniter. Sebagaimana badan legislatif , eksekutif , dan yudikatif yang dikenal di dalam hukum nasional negara – negara .[12] Oleh karena itu, hal ini akan menimbulkan permasalahan yaitu siapakah yang berwenang mempertahankan tegaknya ketentuan – ketentuann Hukum Humaniter Internasional atau dengan perkataan lain siapakah yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili para pihak yang telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan hukum internasional .
Haryomataram menegaskan bahwa pihak peserta tidak hanya akan menghormati konvensi jenewa , tetapi juga akan menjamin bahwa konvensi ini akan dihormati; dengan perkataann lain suatu Negara tidak cukup kalau hanya memerintahkan kepada para petugas militer maupunn sipil untuk mentaati Konvensi tetapi juga harus mengawasi pelaksanaan dari instruksi– instruksi tersebut. Proses penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran hukum humaniter internasional dapat dilakukan melalui dua peradilan, yaitu :[13]
1. Peradilan Nasional dari Negara – Negara peserta Konvensi
2. Peradilan Internasional
Hukum Humaniter Internasional sebagai salah satu cabang dari hukum internasional publik tidak memiliki suatu badan atau otoritas tertinggi yang berwenang untuk membuat dan menegakkan atau mempertahankan berlakunya ketentuan – ketentuan hukum humaniter. Sebagaimana badan legislatif , eksekutif , dan yudikatif yang dikenal di dalam hukum nasional negara – negara .[12] Oleh karena itu, hal ini akan menimbulkan permasalahan yaitu siapakah yang berwenang mempertahankan tegaknya ketentuan – ketentuann Hukum Humaniter Internasional atau dengan perkataan lain siapakah yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili para pihak yang telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan hukum internasional .
Haryomataram menegaskan bahwa pihak peserta tidak hanya akan menghormati konvensi jenewa , tetapi juga akan menjamin bahwa konvensi ini akan dihormati; dengan perkataann lain suatu Negara tidak cukup kalau hanya memerintahkan kepada para petugas militer maupunn sipil untuk mentaati Konvensi tetapi juga harus mengawasi pelaksanaan dari instruksi– instruksi tersebut. Proses penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran hukum humaniter internasional dapat dilakukan melalui dua peradilan, yaitu :[13]
1. Peradilan Nasional dari Negara – Negara peserta Konvensi
2. Peradilan Internasional
Deklarasi perang
diperlukan agar : (1) untuk mencegah adanya serangan yang sekoyong-koyong
dan upaya ada batas yang nyata antara keadaan damai dan perang; (2) agar
negara-negara netral mengetahui bahwa dua negara berada dalam keadaan perang;
(3) untuk mencegah tuduhan adanya suatu perang yang tidak adil (unlawful war)[14]
Pengaturan
mengenai tata cara perang laut ada dalam konvensi den haag ke 2 yang di buat Pada tanggal 18 Oktober 1907 yang menghasilkan
13 konvensi dan sebuah deklarasi.[15]
Konvensi-konvensi tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional secara Damai.
2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam menuntut PembayaraHutang yang berasal dari Kontrak.
3. Konvensi III tentang
Permulaan Perang.
4. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, beserta
Lampirannya.
5. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam
Perang di Darat.
6. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan Perang.
7. Konvensi VII tentang Status Kapal
Dagang menjadi Kapal Perang.
8. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut.
9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut pada saat Perang.
10. Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di
Laut.
11. Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang di
Laut.
12. Konvensi XII tentang Mahkamah
Barang-barang Sitaan.
“The Concept of opinion juris is arguably the centerpiece of customary
international law. It is the most disputed, least comprehended component of the
workings of customary international law”.[17]
”Konsep dari opinio juris adalah perdebatan tujuan atau arah dari
kebiasaan hukum internasional. Opini itu dibantah, dan dipahami oleh komponen
dari pekerjaan dari kebiasaan hukum internasional”
Konvensi VI sampai dengan
Konvensi XII Den Haag 1907 pada umumnya mengatur masalah kapal, kapal perang,
jadi menyangkut perang di laut. Adapun satu-satunya deklarasi yang dihasilkan dalam Konferensi Perdamaian
II tersebut adalah Deklarasi yang
melarang Penggunaan Proyektil-proyektil atau Bahan-bahan Peledak dari Balon.[18]
Hukum den haag merupakan
serangkaian ketentuan yang berlaku dalam peperangan. Hukum ini ditujukan kepada
para komandan militer beserta anak buahnya, yang menentukan hak dan kewajiban
peserta tempur, dan oleh karena itu penerapannya terbatas hanya pada waktu
pertempuran sedang berlangsung[19]Menurut Arlina permanasari[20]
Menghormati berarti negara yang bersangkutan harus melaksanakan
ketentuan-ketentuan yang ada didalam Konvensi, sedangkan Menjamin artinya
negara harus melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan apabila terjadi
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi, termasuk menjatuhkan sanksi
apabila diperlukan.[21]
“The reference in to international conventions is to bilateral and
multilateral treaties. For the moment it is enough to say that, as with
domestic legislation, treaties now play a crucial role in international law,
important areas of customary international law having now been codified in
widely accepted treaties. In consecuence, custom and the other sources of
international law are no longer as important as they used to be”[22]
“Referensi dalam kebiasaan
internasional apakah perjanjian bilateral atau multilateral. Suatu saat hanya
cukup bilang itu , dalam legislasi domestic, perjanjian sekarang memainkan
peran krusial dalam hukum internasional, area penting dari kebiasaan
internasional yang sudah dikodifikasi dan diterima sebagai perjanjian, konsekwensinya
adalah kebiasaan dan bermacam-macam hukum internasional lainnya tidak selamanya
penting untuk digunakan”
BAB III
PEMBAHASAN
Pengaturan yang terdapat dalam konvensi
den haag.Pada makalah ini konvensi yang akan dibahas adalah Konvensi Den Haag 1907 pada konvensi ke
X,XI,XII,XIII. Pada Konvensi X
berisi tentang Adaptasi
Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut.
konvensi ini memuat aturan-aturan yang terdapat konvensi jenewa. Konvensi
III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa Tanggal 22 Agustus 1864 tentang
Hukum Perang Di Laut.[23]
Instrumen Konvensi III ini melindungi
tentara yang luka, sakit, dan menjadi korban kapal karam serta tawanan perang.
Pada perkembangan selanjutnya perlindungan ini telah diperluas dan lebih diperinci
dalam Konvensi-konvensi Jenewa sehingga Konvensi Den Haag mengenai perlindungan
ini tidak berlaku lagi.Dalam realita nya konvensi ini , ada beberapa negara yang belum meratifikasi
konvensi tersebut . Dan juga dalam konvensi ini masih banyak pelanggaran yang
terjadi yang dilakukan oleh negara – negara.[24]
“The best balance between
the justifications of descriptive accuracy and normative appeal depends on the
facilitative or moral content of custom involved international laws are ranged
on spectrum between fasilitative and moral rules”[25]
“Keseimbangan terbaik
antara pembenaran dari keakuratan penggambaran dan banding normative tergantung
pada pemfasilitasan atau nilai moral dari kebiasaan internasional yang rumit
adalah barisan spectrum antara pemfasilitasan dan aturan moral.
Karena dalam faktanya konvensi ini masih saja
ada yang dilanggar oleh negara – negara yang memliki milter yang kuat , seperti
kejadian Perang antara negara Palestina
dengan negara Israel . Israel dan
Palestina yang tadinya hanya berperang lewat darat , tiba – tiba meluncurkan
roket - roket ke Palestina dan mengenai suatu tempat dimana para wartawan asing
sedang berkumpul . Dalam kejadian tersebut sedikitnya menewaskan 6 orang
wartawan asing . Saat relawan dari berbagai negara hendak mengerimkan bahan
pangan dan obat - obatan untuk warga Palestina , kapal yang ditumpang oleh para
relawan dari berbagai negara tersebut di bajak oleh tentara Israel . Dan ada
beberapa relawan dikapal tersebut yang di tembaki oleh tentara Israel , dan
relawan lainnya di perlakukan sebagai tawanan dengan meminta tebusan kepada
negara – negara asal para relawan . Padahal isi dari Konvensi Jenewa sendiri adalah melindungi
warga sipil dan personel dinas medis dan dinas keagamaan .[26]
“The Constitutional Court
made it plain that comparative human rights jurisprudence would provide the
necessary guidance while an indigenous jurisprudence was being constructed.
However, foreign case law would not necessarily provide a safe guide to
interpretation of our bill of rights[27].
“Pengadilan Konstitusional
dibuat untuk membandingkan dengan keputusan pengadilan HAM akan menyediakan
kebutuhan memandu ketika keputusan pengadilan ( yurisprudensi) dibuat ,
Bagaimanapun kasus hukum asing tidak dapat menyediakan perlindungan untuk
perjanjian HAM
Pada Konvensi XI berisi tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak
Penangkapan dalam Perang di Laut. Dalam
konvensi ini memuat ketentuan mengenai apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh
dilakukan pihak yang berperang di laut, terutama menyangkut masalah penyitaan
barang-barang dari kapal musuh, penangkapan awak-awak kapal musuh. Dalam
pelaksanaan perang menurut konvensi ini, pihak bertikai haruslah menghormati
hak-hak dan kewajiban negara netral yang wilayahnya berada di sekitar area
tempat dilaksanakannya perang. Jangan sampai menimbulkan kerugian pada negara
netral.[28]
Pada Konvensi XII
tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan. Dalam konvensi ini memuat hal-hal sebagai berikut:
Bahwa
dalam artikel 1 disebutkan adalah validitas penangkapan sebuah kapal dagang/
muatannya ditentukan sebelum pengadilan sitaan, kemudian dalam hal kewenangan
penyitaan dilaksanakan di tingkat pertama oleh pengadialan barang
sitaan.Putusan dari pengadilan tersebut disampaikan didepan umum secara resmi
kepada pihak” yang terkait baik yang netral maupun musuh. Putusan dari
pengadilan nasional barang sitaan dapat diajukan sebelum mahkamah barang-barang
sitaan. [29]
Putusan
dari pengadian nasional barang sitaan dapat diajukan sebelum mahkamah
internasional barang sitaan :
1. ketika pengadilan
nasional memutuskan untuk mempengaruhi pihak netral maupun musuh.
2. ketika pengadian
memutuskan bahwa properti musuh trsbt berhubungan dengan :
a.
kargo datas kapal netra
b. sebuah kapal musuh yang tertangkap di
wilayah perairan territorial pihak netral
c. klaim tersebut berdasarkan tuduhan
bahwa penyitaan tersebut terjadi apabila
ada pelanggaran , baik dari ketentuan dari konvensi yang berlaku antara pihak
berperang, Banding dari pengadilan nasional dan didasarkan pada fakta dan
sesuai hukum yang diberlakukan.[30]
Prosedural
banding dapat diajukan dengan cara :
1. Oleh
kekuatan netral, jika putusan dari pengadilan nasional tersebut mempengaruhi
properti milik negaranya, atau jika penangkapan sebuah kapal musuh diduga teah
terjadi di wiayah perairan territorial negaranya.
2. Oleh
individu Netral, jika putusaan dari pengadilan nasional mempengaruhi subjek
untuk reservasi pihak yang berperang sebelum mengajukan kasus tersebut ke
pengadilan internasional.
3. Dengan
subjek indivudu atau warga dari suatu kekuasaan musuh, jika keputusan
pengadilan nasional mempengaruhi hartanya dalam kasus tersebut.
KONSTITUSI DARI
PENGADILAN INTERNASIONAL BARANG-BARANG SITAAN
Pengadilan Internasional barang-barang
sitaan terdiri dari hakim dan hakim Deputi yang ahli dalam bidang hukum laut
internasional yang ditunjuk langsung dari pihak Perang, pengangkatannya enam
bulan setelah konvensi terjadi. Hakim tersebut diangkat selama enam tahun dari
tanggal penetapannya yang di tugaskan untuk mengadili atau menetapkan keputusan
terkait konvensi perang tersebut. Tempat Pengadilan Internasional barang-barang
sitaan berada di Den haag dan tidak dapat di pindahkan ketempat lain tanpa
persetujuan dari pihak berperangan.[31]
Kursi Pengadilan barang sitaan adalah di
Den Haag dan itu tidak bisa, kecuali dalam kasus force majeure, ditransfer
tempat lain tanpa persetujuan dari pihak yang berperang, biro innternasional bertugas sebagai registri
mahkamah internasional barang-barang sitaan yang mempunyai tanggung jawab atas
pelaksanaan administratif dan tanggungjawab untuk menentukan bahasa yang akan
digunakan dalam pelaksanaan pengadilan yang dapat dipahami oleh pihak
berperang; Bersifat netral dan tidak memihak;[32]
PROSEDUR
DI PENGADILAN INTERNASIONAL BARANG-BARANG SITAAN
1. Sebuah
banding kepengadilan internasional barang-barang sitaan diajukan melalui
pernyataan tertulis yang dibuat oleh pengadilan nasional;
2. Permohonan
tersebut diajukan melalui biro internasional;
3. Permohonan
diajukan ke Biro internasional dalam jangka waktu 30 hari setelah sejak
berakhirnya jangka waktu dua tahun; Para Pihak dipanggil untuk mengambil
bagian dalam semua tahapan proses dan menerima salinan resmi.[33]
Diskusi berada di bawah kendali presiden atau wakil
presiden, atau, dalam kasus mereka tidak ada atau tidak dapat bertindak, yang
hadir hakim senior. Para hakim yang ditunjuk oleh Pihak berperang tidak bisa
memimpin. Diskusi berlangsung di depan umum, dengan memperhatikan hak dari
Pemerintah yang merupakan Pihak untuk
menuntut bahwa mereka akan dilakukan secara tertutup . Jika suatu Pihak tidak muncul, meskipun fakta
bahwa ia telah diberi , atau jika Pihak gagal untuk mematuhi beberapa langkah
dalam waktu yang ditetapkan oleh Pengadilan, kasus hasil tanpa Pihak tersebut,
dan Pengadilan memberikan penilaian sesuai dengan materi pada bagian penutup.
Pejabat Pengadilan memberitahukan kepada Pihak terkait atau keputusan yang
dibuat tanpa kehadiran mereka. Kemudian pengadilan mempertimbangkan dalam
mencapai keputusan semua fakta, bukti, dan pernyataan lisan.[34]
Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam
Perang di Laut. Dalam konvensi ini memuat mengenai bagaimanakah
seharusnya negara netral bersikap jika terjadi perang laut yang berada di
sekitar wilayahnya. Dalam hal ini, negara-negara netral berhak untuk mendapat
perlindungan dan bebas dari dampak yang ditimbulkan dalam perang. Artinya,
negara-negara yang berperang tidak boleh menyerang atau mengganggu negara
netral dan apabila dalam suatu kejadian, negara yang berperang menangkap sebuah
kapal yang isinya berasal dari negara netral, maka kapal tersebut berhak
dibebaskan.[35]
Selain itu, negara netral juga tidak boleh membantu salah satu pihak yang
berperang. Apabila negara netral itu membantu salah satu pihak maka negara
netral itu dianggap memihak salah satu negara yang berperang dan untuk alasan
itu maka statusnya sebagai negara netral akan hilang.[36]
“A legal system is a system of law or laws, or
a system serving the law. It doesn’t have to be the same thing as law. A legal
system can contain law and other elements that are not but that serve law in
the system”[37]
“Sistem yang sah
menurut hukum adalah system dari hukum atau banyak hukum, atau sebuah system
yang menjalankan hukum. Itu tidak sama halnya dengan hukum. Sistem hukum yang
sah bisa terkontaminasi dengan hukum atau element lain artinya menjalankan
hukum dengan system yang baik.
BAB
IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hukum
humaniter merupakan sejumlah prinsip dasar dan aturan mengenai pembatasan
penggunaan kekerasan dalam situasi konflik bersenjata. Tidak seperti perangkat
hukum lainnya,hukum humaniter mempunyai sejarah yang belum cukup panjang namun
sangat signifikan.
Hukum
Humaniter Internasional yang diterapkan dalam sengketa bersenjata dibentuk
untuk menjamin sejauh mungkin penghormatan terhadap manusia, sesuai dengan
persyaratan militer dan keamanan umum, serta untuk mengurangi penderitaan
berlebihan yang disebabkan oleh peperangan.
Peraturan
mengenai hukum humaniter bersumber dari pasal 38 ayat 1 statuta mahkamah
internasional, yaitu:
1. Perjanjian
internasional
2. Kebiasaan
internasional
3. Prinsip
hukum umum
4. Doktrin
dan jurisprudensi
Pengaturan
secara lebih khusus mengenai hukum humaniter terdapat dalam konvensi den haag
dan konvensi jenewa. Konvensi den haag secara eksplisit membahas tentang tata
cara berperang serta konvensi jenewa yang berisi mengenai perlindungan terhadap
korban perang.
Secara
harfiah, konvensi ini tidak bisa mencegah terjadinya kerusakan dan korban yang
timbul akibat perang, paling tidak dengan adanya konvensi ini dapat
meminimalisir dampak yang akan ditimbulkan.
B.
Saran
Konvensi
den haag ini tidaklah diratifikasi oleh semua negara sehingga daya ikatnya
tidak terlalu kuat. Karena itulah, konvensi ini perlu diratifikasi oleh
negara-negara di dunia dalam konstitusinya. Pengaplikasian konvensi ini
haruslah dijalankan dengan serius oleh negara-negara yang berperang agar tidak
menimbulkan banyak korban, karena dalam konvensi ini memuat dan menjunjung
tinggi asas-asas kemanusiaan. Sehingga apabila konvensi ini dijalankan dengan
baik maka niscaya dampak yang timbul akibat dari perang dapat di minimalisir.
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU
Haryomataram,1994, Sekelumit
tentang Hukum Humaniter, Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Mataram, Haryo,1994, Hukum Humaniter.
Jakarta: C.V. Radjawali.
Mataram, GPH. Haryo, 1988, Bunga Rampai Hukum Humaniter, Jakarta:
Bina Nusantara Jaya.
Naim, Ahmad Baharudin, 2010, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung : Unila.
Permasari, Arlina, 1999. Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: ICRC.
Putri, Ria Wierma,2012, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung, Unila.
JURNAL
Aust, Anthony, 2008, International Law Overview, Cambridge Press.
Kammerhofer, Jorg, 2004,”Uncertainty in The Formal Sources of
International Law: Customary International Law and Some its Problems”, Europe Journal International Law Vol 15 no.
3.
Moseneke, Dikgang, 2010,The Role of Comparative and Public
International Law Vol 23,Deputi chief
Justice of South Africa..
Robert
, Anthea Elizabeth,
2001,”Traditional and Modern Approaches
to Customary International Law: a Reconciliation” The American Journal of International LawVol 95.
Stratton, Jane, 2008, Hot Topics: Legal Issue in Plain Language Vol. 69
Suardi, 2005, .Jurnal Ilmiah:
Konflik Bersenjata Dalam Hukum humaniter Internasional, Vol. 2
No. 3 Juli. .
Voigt, Cristina, 2009”The
role of general principles in international law and their
relationship to treaty law”,Retfaerd
ArgangVol 31.
Yunusov, Pulat, 2009,”Is International Law a Legal Sysytem ?”,Canada Journal International Law.
[1] Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Unila,
Bandar Lamung, 2012, hal 1.
[4] Ahmad Baharudin Naim, Hukum Humaniter Internasional,Unila,
Bandar Lampung 2010, hal 7.
[5] Haryomataram, Sekelumit
tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press, Surakarta:, 1994,
hlm.1.
[11] Cristina Voigt,”The role of
general principles in international lawand their relationship to treaty law”,Retfaerd ArgangVol 31, 2008, hlm 5.
[14] Suardi, Jurnal Ilmiah: Konflik
Bersenjata Dalam Hukum humaniter Internasional, Vol. 2 No. 3 Juli 2005. hlm. 291.
[17] Jorg Kammerhofer,”Uncertainty in
The Formal Sources of International Law: Customary International Law and Some
its Problems”, Europe Journal
International Law Vol 15 no. 3,2004, hlm 532.
[25] Anthea Elizabeth
Robert,”Traditional and Modern Approaches to Customary International Law: a
Reconciliation” The American Journal of
International LawVol 95,2001, hlm 764.
[27] Dikgang Moseneke,The Role of Comparative and Public
International Law Vol 23,Deputi chief
Justice of South Africa, 2010, hlm 63.
[37] Pulat Yunusov,”Is International
Law a Legal Sysytem ?”,Canada Journal
International Law,2009, hlm 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar