Translate

Jumat, 05 April 2013

Konvensi XI, XII, dan XIII di The Hague Convention


PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Istilah Hukum Humaniter Internasional merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu International Humaniter Law. Istilah lain yang kadang – kadang dipakai ialah hukum sengketa bersenjata ( the law of armed conflict ). Sebelum perang dunia istilah yang lazimnya dipakai ialah hukum perang ( the law of war ), juga di lingkungan angkatan bersenjata ( armed forces ) dibanyak negara biasanya digunakan istilah hukum perang.[1]
Hukum humaniter merupakan sejumlah prinsip dasar dan aturan mengenai pembatasan penggunaan kekerasan dalam situasi konflik bersenjata. Tidak seperti perangkat hukum lainnya,hukum humaniter mempunyai sejarah yang belum cukup panjang namun sangat signifikan.Tujuan Hukum Humaniter yang dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebagai berikut:[2]
a. Untuk melindungi orang yang tidak terlibat atau tidak lagi terlibat dalam suatu permusuhan (hostilities), seperti orang-orang yang terluka, yang terdampar dari kapal, tawanan perang, dan orang-orang sipil;
b. Untuk membatasi akibat kekerasan dalam peperangan dalam rangka mencapai tujuan terjadinya konflik tersebut.[3]
Hukum Humaniter Internasional yang diterapkan dalam sengketa bersenjata dibentuk untuk menjamin sejauh mungkin penghormatan terhadap manusia, sesuai dengan persyaratan militer dan keamanan umum, serta untuk mengurangi penderitaan berlebihan yang disebabkan oleh peperangan. [4]
Selama ini hukum humaniter terdiri dari Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban perang, sedangkan hukum Den Haag mengatur mengenai cara dan alat berperang. Kedua ketentuan hukum tersebut merupakan sumber hukum humaniter yang utama, selain konvensi-konvensi lain yang telah disebutkan terdahulu.[5]
Sumber yang pertama adalah berasal dari Konvensi Den Haag, dinamakan Den Haag sendiri karena dibuat di wilayah ini. Konvensi Den Haag terjadi sebanyak dua kali. Dimana yang konvensi yang pertama pada tahun 1899 dan yang kedua pada tahun 1907. Sebenarnya isi dari kedua konvensi ini sama yakni mengatur tata cara dan alat yang diperbolehkan dalam perang yang dilakukan oleh Negara-negara yang melakukannya. Hanya saja isi dari konvensi kedua merupakan penyempurnaan dari konvensi pertama. Dalam Konvensi Den Haag pertama 1899 dihasilkan enam konvensi dan deklarasi. Sedangkan pada tahun 1907 menghasilkan empat belas konvensi yang beberapa diantaranya tidak digunakan.[6]
Konvensi  Jenewa sendiri lebih mengarah kepada tata cara dalam memperlakukan dalam melindungi korban dari perang yang terjadi. Konvensi ini juga sama dengan Den Haag, dimana nama yang diambil berasal dari daerah tempat terjadinya Konvensi ini, yaitu Jenewa yang merupakan salah satu wilayah di Swiss. Konvensi ini terjadi pada tahun 1949. dalam Konvensi ini terdapat banyak pasal yang sangat mengarah atau membahas tentang cara memperlakukan korban maupun penduduk sipil yang tidak boleh tersentuh ketika perang berlangsung.[7] Pada makalah ini lebih difokuskan pada pembahasan mengenai konvensi den haag 1907 terutma dalam konvensi ke sepuluh sampai dengan tiga belas mengenai:[8]
1.   Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang  di Laut.
2. Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak    Penangkapan dalam Perang di Laut.
3.  Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan.
4. Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut. [9]

B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan oleh penulis diatas, maka akan timbul pertanyaan terkait dengan hukum perang laut yaitu
1.          Bagaimanakah pengaturan yang terdapat dalam konvensi den haag tersebut ?
2.          Bagaimana daya ikatnya terhadap negara-negara yang bersengketa.

C.      Tujuan penulisan.
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum perang laut dalam konvensi den haag.
2.  Untuk mengetahui sejauh mana daya ikat konvensi den haag ini terhadap negara-negara yang bertikai.




D.      Metode penulisan
Metode penulisan yang dipakai penulis dalam membuat makalah ini adalah dengan menggunakan metode studi pustaka yaitu Yaitu metode yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka yang berhubungan dengan alat, baik berupa buku maupun informasi di internet dan juga penulis menggunakan metode yuridis formil yaitu dengan mempelajari dasar-dasar hukum guna melengkapi data-data yang berkenaan dengan hukum perang laut yang bersumber dari hukum den haag 1907.
E.       Sistematika penulisan.
Sistematika penulisan makalah ini adalah:
BAB I PENDAHULUAN
A.    LatarBelakang
B.     IdentifikasiMasalah
C.     Tujuan
D.    MetodePenulisan
E.     SistematikaPenulisan
BAB II LANDASAN TEORI
A.    FokusBahasan
B.     PengaturanHukumInternasional
BAB III PEMBAHASAN
Berisi pembahasan atau jawaban atas identifikasi masalah
BAB IV PENUTUP
A.    Simpulan
(berisisimpulanataspembahasan)  
B.     Saran
Daftar Pustaka



BAB II
LANDASAN TEORI

A.                Fokus bahasan
Perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit, adalah kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Perang secara purba di maknai sebagai pertikaian bersenjata. Di era modern, perang lebih mengarah pada superioritas teknologi dan industri. Hal ini tercermin dari doktrin angkatan perangnya seperti "Barang siapa menguasai ketinggian maka menguasai dunia". Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan atas ketinggian harus dicapai oleh teknologi. Namun kata perang tidak lagi berperan sebagai kata kerja, namun sudah bergeser pada kata sifat. Yang memopulerkan hal ini adalah para jurnalis, sehingga lambat laun pergeseran ini mendapatkan posisinya, namun secara umum perang berarti "pertentangan".
Dewasa ini, akibat dari kemajuan teknologi, perang semakin mudah terjadi. Baik di darat, laut, maupun udara. Perang yang terjadi ini disamping menimbulkan kerugian bagi pihak yang bertikai juga bisa merugikan negara-negara netral yang tidak ikut bersengketa. Karena itulah pada pelaksanaannya, haruslah ada hukum yang mengatur tentang tata cara perang agar tidak menimbulkan kekacauan dan kerusakan secara Massive atau paling tidak bisa mengurangi dampak yang timbul akibat dari perang ini. Karena itulah dalam perjalanannya, dunia internasional bersepakat membuat sebuah peraturan mengenai tata cara berperang yaitu konvensi Den haag. Pada pembahasan ini akan difokuskan terhadap pengaturan tentang perang laut yang diatur dalam konvensi den haag yang ke 10,11,12,13.


B.       Pengaturan hukum internasional.
International law is sometimes called public international law to distinguish it from private international law, though, as already explained, even this can lead to misunderstandings”[10]
“hukum internasional terkadang disebut hukum internasional public untuk membedakan dari hukum internasional privat, meskipun sudah publikasikan namun ini sering terjadi kesalahpahaman dalam menentukannya”.
General Principles constitute a crucial element of international law, without which its effective functioning would be jeopardized. Without general principles, also progress and responsiveness of international law to modern challenges would be considerably constrained”[11]
Penegakan Hukum di dalam Hukum Humaniter Internasional
Hukum Humaniter Internasional sebagai salah satu cabang dari hukum internasional publik tidak memiliki suatu badan atau otoritas tertinggi yang berwenang untuk membuat dan menegakkan atau mempertahankan berlakunya ketentuan – ketentuan hukum humaniter. Sebagaimana badan legislatif , eksekutif , dan yudikatif yang dikenal di dalam hukum nasional negara – negara .[12] Oleh karena itu, hal ini akan menimbulkan permasalahan yaitu siapakah yang berwenang mempertahankan tegaknya ketentuan – ketentuann Hukum Humaniter Internasional atau dengan perkataan lain siapakah yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili para pihak yang telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan hukum internasional .
Haryomataram menegaskan bahwa pihak peserta tidak hanya akan menghormati konvensi jenewa , tetapi juga akan menjamin bahwa konvensi ini akan dihormati; dengan perkataann lain suatu Negara tidak cukup kalau hanya memerintahkan kepada para petugas militer maupunn sipil untuk mentaati Konvensi tetapi juga harus mengawasi pelaksanaan dari instruksi– instruksi tersebut. Proses penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran hukum humaniter internasional dapat dilakukan melalui dua peradilan, yaitu :[13]
       1. Peradilan Nasional dari Negara – Negara peserta Konvensi
       2.   Peradilan Internasional  
Deklarasi perang diperlukan agar : (1) untuk mencegah adanya serangan yang sekoyong-koyong dan  upaya ada batas yang nyata antara keadaan damai dan perang; (2) agar negara-negara netral mengetahui bahwa dua negara berada dalam keadaan perang; (3) untuk mencegah tuduhan adanya suatu perang yang tidak adil (unlawful war)[14]
Pengaturan mengenai tata cara perang laut ada dalam konvensi den haag ke 2 yang di buat Pada tanggal 18 Oktober 1907 yang menghasilkan 13 konvensi dan sebuah deklarasi.[15]
Konvensi-konvensi tersebut adalah sebagai berikut :
1.   Konvensi I tentang Penyelesaian Persengketaan Internasional   secara Damai.
2.  Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam   menuntut PembayaraHutang yang berasal dari Kontrak.
3.   Konvensi III tentang Permulaan Perang.
4.    Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, beserta Lampirannya.
5.   Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di Darat.
6.   Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan Perang.
7.   Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang.
8.   Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut.
9.    Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut pada saat Perang.
10.     Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut.
11.     Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap   Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang di Laut.
            12.       Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan.
13.    Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam    Perang di Laut.[16]

“The Concept of opinion juris is arguably the centerpiece of customary international law. It is the most disputed, least comprehended component of the workings of customary international law”.[17]

”Konsep dari opinio juris adalah perdebatan tujuan atau arah dari kebiasaan hukum internasional. Opini itu dibantah, dan dipahami oleh komponen dari pekerjaan dari kebiasaan hukum internasional”

Konvensi VI sampai dengan Konvensi XII Den Haag 1907 pada umumnya mengatur masalah kapal, kapal perang, jadi menyangkut perang di laut. Adapun satu-satunya deklarasi yang dihasilkan dalam Konferensi Perdamaian II tersebut adalah Deklarasi yang melarang Penggunaan Proyektil-proyektil atau Bahan-bahan Peledak dari Balon.[18]
Hukum den haag merupakan serangkaian ketentuan yang berlaku dalam peperangan. Hukum ini ditujukan kepada para komandan militer beserta anak buahnya, yang menentukan hak dan kewajiban peserta tempur, dan oleh karena itu penerapannya terbatas hanya pada waktu pertempuran sedang berlangsung[19]Menurut Arlina permanasari[20] Menghormati berarti negara yang bersangkutan harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada didalam Konvensi, sedangkan Menjamin artinya negara harus melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi, termasuk menjatuhkan sanksi apabila diperlukan.[21]
 “The reference in to international conventions is to bilateral and multilateral treaties. For the moment it is enough to say that, as with domestic legislation, treaties now play a crucial role in international law, important areas of customary international law having now been codified in widely accepted treaties. In consecuence, custom and the other sources of international law are no longer as important as they used to be”[22]
“Referensi dalam kebiasaan internasional apakah perjanjian bilateral atau multilateral. Suatu saat hanya cukup bilang itu , dalam legislasi domestic, perjanjian sekarang memainkan peran krusial dalam hukum internasional, area penting dari kebiasaan internasional yang sudah dikodifikasi dan diterima sebagai perjanjian, konsekwensinya adalah kebiasaan dan bermacam-macam hukum internasional lainnya tidak selamanya penting untuk digunakan”












BAB III
PEMBAHASAN
Pengaturan yang terdapat dalam konvensi den haag.Pada makalah ini konvensi yang akan dibahas adalah  Konvensi Den Haag 1907 pada konvensi ke X,XI,XII,XIII. Pada Konvensi X berisi tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di Laut. konvensi ini memuat aturan-aturan yang terdapat konvensi jenewa. Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa Tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang Di Laut.[23]
Instrumen Konvensi III ini melindungi tentara yang luka, sakit, dan menjadi korban kapal karam serta tawanan perang. Pada perkembangan selanjutnya perlindungan ini telah diperluas dan lebih diperinci dalam Konvensi-konvensi Jenewa sehingga Konvensi Den Haag mengenai perlindungan ini tidak berlaku lagi.Dalam realita nya konvensi ini ,  ada beberapa negara yang belum meratifikasi konvensi tersebut . Dan juga dalam konvensi ini masih banyak pelanggaran yang terjadi yang dilakukan oleh negara – negara.[24]
“The best balance between the justifications of descriptive accuracy and normative appeal depends on the facilitative or moral content of custom involved international laws are ranged on spectrum between fasilitative and moral rules”[25]
“Keseimbangan terbaik antara pembenaran dari keakuratan penggambaran dan banding normative tergantung pada pemfasilitasan atau nilai moral dari kebiasaan internasional yang rumit adalah barisan spectrum antara pemfasilitasan dan aturan moral.
 Karena dalam faktanya konvensi ini masih saja ada yang dilanggar oleh negara – negara yang memliki milter yang kuat , seperti kejadian Perang antara negara  Palestina dengan  negara Israel . Israel dan Palestina yang tadinya hanya berperang lewat darat , tiba – tiba meluncurkan roket - roket ke Palestina dan mengenai suatu tempat dimana para wartawan asing sedang berkumpul . Dalam kejadian tersebut sedikitnya menewaskan 6 orang wartawan asing . Saat relawan dari berbagai negara hendak mengerimkan bahan pangan dan obat - obatan untuk warga Palestina , kapal yang ditumpang oleh para relawan dari berbagai negara tersebut di bajak oleh tentara Israel . Dan ada beberapa relawan dikapal tersebut yang di tembaki oleh tentara Israel , dan relawan lainnya di perlakukan sebagai tawanan dengan meminta tebusan kepada negara – negara asal para relawan . Padahal isi dari  Konvensi Jenewa sendiri adalah melindungi warga sipil dan personel dinas medis dan dinas keagamaan .[26]
“The Constitutional Court made it plain that comparative human rights jurisprudence would provide the necessary guidance while an indigenous jurisprudence was being constructed. However, foreign case law would not necessarily provide a safe guide to interpretation of our bill of rights[27].
“Pengadilan Konstitusional dibuat untuk membandingkan dengan keputusan pengadilan HAM akan menyediakan kebutuhan memandu ketika keputusan pengadilan ( yurisprudensi) dibuat , Bagaimanapun kasus hukum asing tidak dapat menyediakan perlindungan untuk perjanjian HAM
Pada Konvensi XI berisi tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang di Laut. Dalam konvensi ini memuat ketentuan mengenai apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan pihak yang berperang di laut, terutama menyangkut masalah penyitaan barang-barang dari kapal musuh, penangkapan awak-awak kapal musuh. Dalam pelaksanaan perang menurut konvensi ini, pihak bertikai haruslah menghormati hak-hak dan kewajiban negara netral yang wilayahnya berada di sekitar area tempat dilaksanakannya perang. Jangan sampai menimbulkan kerugian pada negara netral.[28]
Pada Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan. Dalam konvensi ini memuat hal-hal sebagai berikut:
Bahwa dalam artikel 1 disebutkan adalah validitas penangkapan sebuah kapal dagang/ muatannya ditentukan sebelum pengadilan sitaan, kemudian dalam hal kewenangan penyitaan dilaksanakan di tingkat pertama oleh pengadialan barang sitaan.Putusan dari pengadilan tersebut disampaikan didepan umum secara resmi kepada pihak” yang terkait baik yang netral maupun musuh. Putusan dari pengadilan nasional barang sitaan dapat diajukan sebelum mahkamah barang-barang sitaan. [29]
Putusan dari pengadian nasional barang sitaan dapat diajukan sebelum mahkamah internasional barang sitaan :
1. ketika pengadilan nasional memutuskan untuk mempengaruhi pihak netral maupun musuh.
2. ketika pengadian memutuskan bahwa properti musuh trsbt berhubungan dengan :
a.   kargo datas kapal netra
b. sebuah kapal musuh yang tertangkap di wilayah perairan territorial pihak netral
c. klaim tersebut berdasarkan tuduhan bahwa penyitaan tersebut terjadi    apabila ada pelanggaran , baik dari ketentuan dari konvensi yang berlaku antara pihak berperang, Banding dari pengadilan nasional dan didasarkan pada fakta dan sesuai hukum yang diberlakukan.[30]
Prosedural banding dapat diajukan dengan cara :
1.  Oleh kekuatan netral, jika putusan dari pengadilan nasional tersebut mempengaruhi properti milik negaranya, atau jika penangkapan sebuah kapal musuh diduga teah terjadi di wiayah perairan territorial negaranya.
2.      Oleh individu Netral, jika putusaan dari pengadilan nasional mempengaruhi subjek untuk reservasi pihak yang berperang sebelum mengajukan kasus tersebut ke pengadilan internasional.
3.      Dengan subjek indivudu atau warga dari suatu kekuasaan musuh, jika keputusan pengadilan nasional mempengaruhi hartanya dalam kasus tersebut.

KONSTITUSI DARI PENGADILAN INTERNASIONAL BARANG-BARANG SITAAN
Pengadilan Internasional barang-barang sitaan terdiri dari hakim dan hakim Deputi yang ahli dalam bidang hukum laut internasional yang ditunjuk langsung dari pihak Perang, pengangkatannya enam bulan setelah konvensi terjadi. Hakim tersebut diangkat selama enam tahun dari tanggal penetapannya yang di tugaskan untuk mengadili atau menetapkan keputusan terkait konvensi perang tersebut. Tempat Pengadilan Internasional barang-barang sitaan berada di Den haag dan tidak dapat di pindahkan ketempat lain tanpa persetujuan dari pihak berperangan.[31]
Kursi Pengadilan barang sitaan adalah di Den Haag dan itu tidak bisa, kecuali dalam kasus force majeure, ditransfer tempat lain tanpa persetujuan dari pihak yang berperang,  biro innternasional bertugas sebagai registri mahkamah internasional barang-barang sitaan yang mempunyai tanggung jawab atas pelaksanaan administratif dan tanggungjawab untuk menentukan bahasa yang akan digunakan dalam pelaksanaan pengadilan yang dapat dipahami oleh pihak berperang; Bersifat netral dan tidak memihak;[32]
PROSEDUR DI PENGADILAN INTERNASIONAL BARANG-BARANG SITAAN
1.      Sebuah banding kepengadilan internasional barang-barang sitaan diajukan melalui pernyataan tertulis yang dibuat oleh pengadilan nasional;
2.      Permohonan tersebut diajukan melalui biro internasional;
3.      Permohonan diajukan ke Biro internasional dalam jangka waktu 30 hari setelah sejak berakhirnya jangka waktu dua tahun; Para Pihak dipanggil untuk mengambil bagian dalam semua tahapan proses dan menerima salinan resmi.[33]
Diskusi berada di bawah kendali presiden atau wakil presiden, atau, dalam kasus mereka tidak ada atau tidak dapat bertindak, yang hadir hakim senior. Para hakim yang ditunjuk oleh Pihak berperang tidak bisa memimpin. Diskusi berlangsung di depan umum, dengan memperhatikan hak dari Pemerintah yang merupakan Pihak  untuk menuntut bahwa mereka akan dilakukan secara tertutup .  Jika suatu Pihak tidak muncul, meskipun fakta bahwa ia telah diberi , atau jika Pihak gagal untuk mematuhi beberapa langkah dalam waktu yang ditetapkan oleh Pengadilan, kasus hasil tanpa Pihak tersebut, dan Pengadilan memberikan penilaian sesuai dengan materi pada bagian penutup. Pejabat Pengadilan memberitahukan kepada Pihak terkait atau keputusan yang dibuat tanpa kehadiran mereka. Kemudian pengadilan mempertimbangkan dalam mencapai keputusan semua fakta, bukti, dan pernyataan lisan.[34]

Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut. Dalam konvensi ini memuat mengenai bagaimanakah seharusnya negara netral bersikap jika terjadi perang laut yang berada di sekitar wilayahnya. Dalam hal ini, negara-negara netral berhak untuk mendapat perlindungan dan bebas dari dampak yang ditimbulkan dalam perang. Artinya, negara-negara yang berperang tidak boleh menyerang atau mengganggu negara netral dan apabila dalam suatu kejadian, negara yang berperang menangkap sebuah kapal yang isinya berasal dari negara netral, maka kapal tersebut berhak dibebaskan.[35]
Selain itu, negara netral juga tidak boleh membantu salah satu pihak yang berperang. Apabila negara netral itu membantu salah satu pihak maka negara netral itu dianggap memihak salah satu negara yang berperang dan untuk alasan itu maka statusnya sebagai negara netral akan hilang.[36]
 “A legal system is a system of law or laws, or a system serving the law. It doesn’t have to be the same thing as law. A legal system can contain law and other elements that are not but that serve law in the system”[37]
“Sistem yang sah menurut hukum adalah system dari hukum atau banyak hukum, atau sebuah system yang menjalankan hukum. Itu tidak sama halnya dengan hukum. Sistem hukum yang sah bisa terkontaminasi dengan hukum atau element lain artinya menjalankan hukum dengan system yang baik.
























BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan

Hukum humaniter merupakan sejumlah prinsip dasar dan aturan mengenai pembatasan penggunaan kekerasan dalam situasi konflik bersenjata. Tidak seperti perangkat hukum lainnya,hukum humaniter mempunyai sejarah yang belum cukup panjang namun sangat signifikan.
Hukum Humaniter Internasional yang diterapkan dalam sengketa bersenjata dibentuk untuk menjamin sejauh mungkin penghormatan terhadap manusia, sesuai dengan persyaratan militer dan keamanan umum, serta untuk mengurangi penderitaan berlebihan yang disebabkan oleh peperangan.
Peraturan mengenai hukum humaniter bersumber dari pasal 38 ayat 1 statuta mahkamah internasional, yaitu:
1.      Perjanjian internasional
2.      Kebiasaan internasional
3.      Prinsip hukum umum
4.      Doktrin dan jurisprudensi
Pengaturan secara lebih khusus mengenai hukum humaniter terdapat dalam konvensi den haag dan konvensi jenewa. Konvensi den haag secara eksplisit membahas tentang tata cara berperang serta konvensi jenewa yang berisi mengenai perlindungan terhadap korban perang.
Secara harfiah, konvensi ini tidak bisa mencegah terjadinya kerusakan dan korban yang timbul akibat perang, paling tidak dengan adanya konvensi ini dapat meminimalisir dampak yang akan ditimbulkan.



B.       Saran
Konvensi den haag ini tidaklah diratifikasi oleh semua negara sehingga daya ikatnya tidak terlalu kuat. Karena itulah, konvensi ini perlu diratifikasi oleh negara-negara di dunia dalam konstitusinya. Pengaplikasian konvensi ini haruslah dijalankan dengan serius oleh negara-negara yang berperang agar tidak menimbulkan banyak korban, karena dalam konvensi ini memuat dan menjunjung tinggi asas-asas kemanusiaan. Sehingga apabila konvensi ini dijalankan dengan baik maka niscaya dampak yang timbul akibat dari perang dapat di minimalisir.



           











DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Haryomataram,1994, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Mataram, Haryo,1994, Hukum Humaniter. Jakarta: C.V. Radjawali.
Mataram, GPH. Haryo, 1988, Bunga Rampai Hukum Humaniter, Jakarta: Bina Nusantara Jaya.

Naim, Ahmad Baharudin, 2010, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung : Unila.

Permasari, Arlina, 1999. Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: ICRC.

Putri, Ria Wierma,2012, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung, Unila.

JURNAL

Aust, Anthony, 2008, International Law Overview, Cambridge Press.

Kammerhofer, Jorg, 2004,”Uncertainty in The Formal Sources of International Law: Customary International Law and Some its Problems”, Europe Journal International Law Vol 15 no. 3.

Moseneke, Dikgang, 2010,The Role of Comparative and Public International Law Vol 23,Deputi chief  Justice of South Africa..

Robert , Anthea Elizabeth, 2001,”Traditional and Modern Approaches to Customary International Law: a Reconciliation The American Journal of International LawVol 95.

Stratton, Jane, 2008, Hot Topics: Legal Issue in Plain Language Vol. 69

Suardi, 2005, .Jurnal Ilmiah: Konflik Bersenjata Dalam Hukum humaniter Internasional,  Vol. 2 No. 3 Juli.  .

Voigt, Cristina, 2009”The role of general principles in international law and their relationship to treaty law”,Retfaerd ArgangVol 31.

Yunusov, Pulat, 2009,”Is International Law a Legal Sysytem ?”,Canada Journal International Law.




[1] Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Unila, Bandar Lamung, 2012, hal 1.
[2] Haryomataram. Hukum Humaniter. C.V. Radjawali Jakarta:, 1994. Hal 11.
[3] Ibid.
[4] Ahmad Baharudin Naim, Hukum Humaniter Internasional,Unila, Bandar Lampung 2010, hal 7.
[5] Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Sebelas Maret University Press, Surakarta:, 1994, hlm.1.
[6] Ria Wierma Putri, Op.Cit, hal 6.
[7] Haryomataram, Op.Cit, hal 2.
[8] Ahmad Baharudin Naim, Op.Cit, hal 48.
[9] Ibid.
[10] Jane Stratton, Hot Topics: Legal Issue in Plain Language Vol. 69 (2009) hlm 1.
[11] Cristina Voigt,”The role of general principles in international lawand their relationship to treaty law”,Retfaerd ArgangVol 31, 2008, hlm 5.
[12] GPH HaryoMataram, Bunga Rampai Hukum Humaniter, Bina Nusantara Jaya, Jakarta, 1988, hal 23.
[13] Ibid, hal 24.
[14] Suardi, Jurnal Ilmiah: Konflik Bersenjata Dalam Hukum humaniter Internasional Vol. 2 No. 3 Juli 2005. hlm. 291.
[15] Ahmad Baharudin Naim, Op.Cit, hal 48.
[16] Ibid, hal 48-49.
[17] Jorg Kammerhofer,”Uncertainty in The Formal Sources of International Law: Customary International Law and Some its Problems”, Europe Journal International Law Vol 15 no. 3,2004, hlm 532.
[18] Ria Wierma Putri, Op.Cit, hal 9.
[19] Ibid.
[20] Arlina Permasari, dkk. 1999. Pengantar Hukum Humaniter. ICRC. Jakarta. Hal 182
[21] Ibid.
[22] Anthony Aust, International Law Overview, Cambridge Press,2008.hlm 6.

[23] Ahmad Baharudin Naim, Op.Cit, hal 48.
[24] Ria Wierma Putri, Op.Cit, hal 60.
[25] Anthea Elizabeth Robert,”Traditional and Modern Approaches to Customary International Law: a Reconciliation” The American Journal of International LawVol 95,2001, hlm 764.

[26] Arlina Permasari, Op.Cit, hal 167.
[27] Dikgang Moseneke,The Role of Comparative and Public International Law Vol 23,Deputi chief  Justice of South Africa, 2010, hlm 63.
[28] Lihat Konvensi Den Haag  ke XI.
[29] Lihat Konvensi Den Haag ke XII, artikel 1.
[30] Ibid.
[31] Lihat Konvensi Den Haag XII artikel 10.
[32] Lihat Konvensi Den Haag XII Bagian 2 artikel 11.
[33] Lihat Konvensi Den Haag XII Bagian 3 artkel 28.
[34] Lihat Konvensi Den Haag XII Bagian 3 artikel 38-40.
[35] Lihat Konvensi Den Haag XIII Bagian 1 artikel 1.
[36] Lihat Bagian 1 artikel 2.
[37] Pulat Yunusov,”Is International Law a Legal Sysytem ?”,Canada Journal International Law,2009, hlm 5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar