BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Menurut
Almond “keyakinan politik individu merupakan salah satu faktor penentu
bagi perilaku politik individu yang bersangkutan (individualy political belief
is one of the determinant factors for individual political conduct) dan lebih
lanjut ditegaskan bahwa keyakinan politik (politic belief) yang dimiliki oleh
masing-masing individu pada gilirannya akan membentuk political self” [1].
Adanya konstelasi politik dalam setiap pengambilan kebijakan yang dilakukan
oleh pemerintah daerah dan seluruh elemen-elemennya juga akan berdampak kepada
baik dan buruk tatanan birokrasi dalam pada proses restrukturisasi di dalam
pemerintah daerah tersebut. Jika tidak terjadi checks and balances konstelasi
politik sebagai salah satu alat pengambilan kebijkan dari pejabat di daerah,
maka akan terjadi proses fragmentasi pada golongan-golongan tertentu yang
justru akan menimbulkan ketimpangan pada kualitas kebijakan yang dihasilkan.
Hukum dan kebijkan merupakan produk dari kepentingan politik maka harus dapar
berjalan seimbang.
Politik
hukum adalah legal policy atau arahan hukum yang akan
diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat
berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama [2].
Jika kompromi dan tarik ulur politik dapat terkonsep dengan baik maka akan
berimplikasi terhadap lahirnya produk hukum yang baik, sebaliknya jika kompromi
politik hanya digunakan untuk dimanfaatkan demi kepentingan pribadi dan
golongan tertentu justru akan memberikan dampak terhadap lahirnya produk hukum
yang buruk.
Otonomi daerah merupakan arah kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk
mengurangi sifat pemerintah yang cenderung terpusat dengan tidak melibatkan
pemerintah daerah untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Desentralisasi
merupakan penyerahan urusan pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah
otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan isi pasal
5 ayat 2 undang-undang No.32 tahun 2004 tentang otonomi daerah disebutkan bahwa
”Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah
tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia”. Hal senada juga telah diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 yang
berbunyi” Pembagian daerah Indonesia atas derah besar dan kecil dengan
bentuk susunaan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan
memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara
dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”
Peluang digitalisasi pada tingkat pemerintah daerah memang selalu
dipertanyakan banyak pihak karena sudah menjadi anggapan umum bahwa tingkatan
yang paling ideal untuk menghadapi dampak globalisasi dari pemerintah pusat.
Hal ini dapat dipahami karena dengan menyatukan kekuatan pada batas-batas nation-statedianggap
memperbesar peluang menghadapi tantangan global persaiangan internasional, tapi
kenyataannya tidak akan selalu demikian adanya, karena globalisasi ternyata
tidak membatasi semua ruang kehidupan melampaui batas nation state [3].Pemerintah daerah yang menyelenggarakan
urusan pemerintah yang menjadi kewenangan, kecuali urusan pemerintah oleh
undang-undang dan otonomi yang seluas-luasnya[4]. Dalam beberapa pengecualian tentang kasus-kasus yang terjadi dalam
penerapan otonomi daerah telah menunjukkan proses yang sangat baik. Hal ini
juga senada dengan konsep tentang desentralisasi yang dinyatkan oleh beberapa
pakar. Dengan desentralisasi dan otonomi daerah lebih terbuka peluang
partisipasi rakyat dalam pembangunan daerah. Kekhawatiran bahwa otonomi daerah
yang kaya sumber daya alam dengan yang miskin kiranya akan berkompetensi
kualitas tentang sumber daya alam. Dalam otonomi daerah harus khusus diberikan
pada daerah yang tidak cukup sumber daya alamnya[5].
Penyerahan
kewajiban dari pusat ke daerah harus disertai dengan biaya yang dapat
memungkinkan daerah bekerja, sehingga di atas yang diharapkan dan sumber
pendapatan harus dapat menjamin perjalanan rumah tangganya dengan baik dengan
demikian pandapatan akan naik turun[6].
Pendanaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat ke daerah dapat dilaksanakan
dengan bertanggung jawab, transparan dan akuntabel, sehingga keadilan yang
diharapkan dari masing-masing daerah dapat terealisasi dengan baik.
Desentralisasi
dan otonomi cenderung menguat ketika sistem politik tampil demokratis,
sedangkan dekonsentrasi mengemuka ketika sistem politik tampil otoriter[7].
Pada dasarnya otonomi daerah akan diberikan kepada daerah agar daerah mampu
menggali sumber dana dalam rangka membiayai segala kegiatannya. Semakin besar
dana yang digali otonomi daerah yang diperlihatkan dengan proporsi Pendapatan
Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akan
makin luas untuk diberi otonomi daerah [8].
Menurut Penulis salah satu bukti kongkrit dari proses penggunaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang tidak tersistematis dan seolah-olah
tidak ada peyalahgunaan wewenang jabatan merupakan modus yang digunakakan
kepala daerah dengan bekerja sama pihak legislatif di daerah agar dana
pemerintah tersebut dapat digunakan untuk kepentingan sendiri. Fenomena yang
terjadi di daearah dapat ditunjukan dengan adanya ketidakjelasan yang
ditunjukan dalam sistem pengadaan barang dan jasa di daerah dengan dana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) belum dapat menunjukan data riil
dana alokasi yang diajukan dengan dana yang dikeluarkan dari hal tersebut.
Dalam kondisi ini banyak oknum pejabat daerah yang terlibat dan mereka saling
bekerja sama demi mendapat keuntungan pribadi. Modus operandi mark upAnggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dilakukan dengan mengatasnamakan untuk
pembangunan dearah dan kesejahteraan rakyat dengan melakukan pembelanjaan
daerah atas barang dan jasa diluar kebutuhan yang sesungguhnya diperlukan oleh
daerah. Proses otonomi daerah telah dijadikan alat dan senjata bagi para pejabat
di daerah untuk memanfaatkan dana daerah guna kepentingan pribadinya saja.
Kepala daerah yang mempunyai otoritas dan tanggung jawab terbesar dalam
pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) banyak memanfaatkan
posisi jabatannya dan telah terjadi penyimpangan secara administratif baik
secara vertikal maupun horizontal.
Dengan
berbagai pertimbangan secara teoretis dan faktual empiris serta pola
penyimpangan yang telah dilakukan oleh kepala daerah dengan memanfaatkan celah
dari proses pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maka
Penulis akan membahas lebih detail dalam sebuah paper dengan judul “Tarik
ulur politik hukum terhadap pertanggung jawaban kepala daerah dalam pengelolaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia”
B. Rumusan masalah
Dari
berbagai pemaparan latar belakang diatas terkait problematik dan tarik ulur
antara korelasi politik dan hukum dari pemerintah pusat terhadap pemerintah
daerah, maka Penulis mengambil rumusan masalah yaitu sebagai berikut?
1. Bagaimanakah bentuk legal policy dari
pemerintah pusat terhadap daerah terkait pengelolan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) di Indonesia?
2. Bagaimanakah bentuk pertanggung
jawaban kepala daerah terkait pengelolan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) agar tidak terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan secara administratif?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bentuk legal policy dari pemerintah
pusat terhadap daerah terkait pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) di Indonesia
1. Proses perumusan dan penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai bentuk implementasi dari
otonomi daerah di Indonesia
Teuku
Mohammad Radhie menyatakan politik hukum adalah pernyataan kehendak penguasa
negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah mana hukum
hendak dikembangkan [9].
Padmo Wahyono mengatakan politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan
arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Politik hukum merupakan
kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk
menghukumkan sesuatu yang didalamnya mencakup pembentukan, penerapan dan
penegakan hukum [10].
Para decision maker [11] sangat
di dominasi oleh kalangan birokrat. Dalam konteks ini Penulis akan mencoba
menelaah lebih lanjut bahwa kekuasaan yang menunjukan korelasi terhadap
superioritas kewenangan justru menimbulkan tarik ulur kebijakan dengan pejabat
di bawahnya. Jika tidak ada koordinasi secara organisatoris dalam pengambilan
kebijakan, maka antara kekuasaan yang satu dengan yang lain akan saling
menjatuhkan guna melegalkan kepentingan masing-masing golongan tertentu. Hal
lain yang akan terjadi dalam konstelasi politik tersebut adalah adanya kompromi
politik dalam pengambilan kebijakan, implikasinya akan memberikan manfaat bagi
semua pihak yang mempunyai kepentingan dalam pengambilan kebijakan tersebut
Kemampuan
daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sangat tergantung pada
kemampuan pandangannya. Di berbagai negara sumber keuangan daerah selalu
memadai karena ada perbedaan distribusi suatu pendapatan antara daerah pusat
dan pemerintah daerah selalu membayakan sumber daya yang dimilikinya.
Pendapatan dengan daerah tidak stabil terjadi, maka ada kondisi yang tidak
kondusif bagi revitalisasi pemerintah daerah [12].
Dengan adanya perbedaan dalam dalam pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan
oleh pemerintah yang satu dengan yang lain telah memberikan sebuah pedoman bagi
pemerintah dalam proses penyelenggaraan otonomi daerah. Hal ini juga akan
berimplikasi terhadap mekanisme perimbangan antara keuangan pusat dan keuangan
daerah. Proses pengelolaan terhadap sumber daya alam yang dimiliki oleh
masing-masing daerah juga akan mempengaruhi kepada pengambilan kebijakan yang
akan ditetapkan oleh masing-masing daerah guna menambah sumber pemasukan
keuangan daerah.
Menurut
Parson Desentralisasi adalah “sharing of the governmental power by a
central rulling group with other group each hearing authority with a specific
areal of the state” [13].
Adanya proses otonomi daerah yang diprogramkan oleh pemerintah pusat terhadap
pemerintah daerah dalam rangka ikut menyejahterakan masyarakat di daerah
merupakan solusi kongkrit bagi permasalahan birokrasi yang dihadapi oleh setiap
daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh daerah selain terkait kesenjangan dalam
pengelolaan sumber daya alam yang berbeda antara daerah yang satu dengan yang
lain juga terkait dengan pengelolaan keuangan daerah. Proses desentralisasi
merupakan ruang gerak yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah dalam rangka melakukan pengelolaan keuangan daerah. Keuangan daerah yang
akan didapatkan oleh pemerintah di daerah selain berasal dari Pendapatan Asli
Daerah (PAD) juga berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
pada setiap tahunnya. Dengan demikian dalam rangka mengelola keuangan daerah
lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) para pejabat daerah di
daerahnya masing-masing diberi kewenangan untuk mengelola keuangannya tersebut.
Penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diawali dengan penyampaian
kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sejalan dengan rencana
kerja pemerintah daerah sebagai landasan penyusunan Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
untuk diubah dalam pembiayaan pendahuluan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (RAPBD). Berdasarkan kebijkan umum Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) yang telah disepakati dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) pemerintah daerah bersama bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan
lain bagi setiap Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD).
Kepala
Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) selanjutnya menyusun Rencana Kerja
Anggaran Satuan Kerja Pemerintah Daerah (RKA-SKPD) yang disusun berdasarkan
prestasi kerja yang akan dicapai. Rencana kerja ini disertai dengan prakiraan
belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun.
Rencana kerja dan anggaran ini kemudian disampaikan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) untuk dibahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (RAPBD). Hasil pembahasan ini disampaikan kepada pengelola keuangan
daerah sebagai bahan penyusunan rancangan peraturan daerah tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Proses selanjutnya pemerintah daerah
mengajukan rancangan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) disertai penjelasan dari dokumen-dokomen pendukungnya kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk dibahas dan disetujui. Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
ini terinci sampai dengan untuk organisasi, fungsi, program, kegiatan dan
belanja [14].
Berdasarkan
isi pokok dari Pasal 179 Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah disebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan
dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung
mulai 1 Januari sampai tanggal 31 Desember. Hal ini adalah logis mengingat
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disamping Pendapatan Asli Daerah
(PAD) ialah berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) yang dianggarkan untuk setiap
daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN). Daerah (provinsi,
kabupaten dan kota) dapat menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) setelah mendapat konfirmasi Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan dengan
dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai
kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Adapun
penggunaan Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan oleh daerah dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) setiap daerah yang bersangkutan. Pembiayaan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah juga termasuk Dana Alokasi Khusus
(DAK) [15].
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan kepada daerah tertentu
dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan
daerah sesuai dengan prioritas nasional [16].
Anggaran Pendapatan Belanja dan Daerah (APBD) adalah suatu
rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah
tentang Anggaran Pendapatan Belanja dan Daerah (APBD) dan
merupakan model penganggaran pemerintah daerah yang ditetapkan dengan peraturan
daerah [17].
Dengan demikian
semua anggaran daerah terkait besar dan kecilnya akan tergantung pada berubah
dan tidaknya anggaran melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Perubahan anggaran pada pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) memungkinkan adanya pergeseran, penambahan, atau pengurangan anggaran.
Khusus terkait pergeseran anggaran tidak akan mengubah peraturan daerah murni
seperti pergeseran perincian objek belanja. Kondisi tersebut akan sulit
dipantau secara manual karena kompleksitas transaksi dalam pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang memungkinkan terjadinya pergeseran
yang tidak terpantau dalam perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) maupun pada dokumen pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
B. Bentuk pertanggung jawaban kepala
daerah terkait pengelolan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) agar
tidak terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan secara administratif
1. Proses penetapan dan perubahan besar
kecilnya dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai
bentuk penyimpangan dari tanggung jawab kepala daerah
Perubahan
dari dana daerah ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran
tertentu berakhir. Jangka waktu 3 (tiga) bulan dimaksudkan agar pelaksanaannya
dapat selesai pada akhir tahun anggaran tertentu. Dalam Pasal 183 ayat (1)
sampai (3) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah diterangkan
bahwa perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat dilakukan
apabila terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijkan umum
Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD), kedaaan
yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit
organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja serta keadaan yang
menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya harus digunakan
untuk pembiayaan dalam tahun anggaran berjalan. Hal serupa juga dijelaskan
dalam Peraturan Pemerintah No.58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah
pada Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, dan Pasal 85 mengenai perubahan
Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD) dengan perkembangan dan/ atau
perubahan keadaan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan
pemerintah daerah dalam rangka penyusunan prakiraann perubahan atas Anggaran
Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggarannya yang bersangkutan,
apabila terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijkan umum
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), keadaan yang menyebabkan harus
dilakukan pergeseran anggaran antas unit organisasi, antar kegiatan dan antar
jenis belanja, keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya
harus digunakan untuk tahun berjalan, keadaan darurat dan keadaan luar biasa.
Pelaksanaan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hanya dapat
dilakukan satu kali dalam satu tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa
yang menyebabkan estimasi penerimaan dan/atau pengeluaran Anggaran Pendapatn
dan Belanja Daerah (APBD) mengalami kenaikan atau penurunan lebih besar
daripada 50% yaitu selisih (gap) kenaikan antara pendapatan dan belanja dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Perubahan peraturan daerah
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat dilakukan apabila
terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi Kebijakan Umum Anggaran
(KUA), keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit
organisasi, antar kegiatan, antar jenis belanja, keadaan yang menyebabkan saldo
anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan dalam tahun berjalan, keadaan
darurat dan keadaan luar biasa[18].
Perubahan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dimungkinkan jika terjadi
perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) terhadap keadaan yang menyebabkan hambatan dilakukan
pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan dan antar jenis
belanja serta terjadi keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih pada
anggaran tahun sebelumnya hanya digunakan untuk pembiayaan anggaran yang
berjalan selain itu dalam keadaan darurat. Pemerintah daerah dapat melakukan
pengeluaran yang belum tersedia anggarannya dan selanjutnya diusulkan dalam
rancangan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan/ atau
disamakan dalam Laporan Realisasi Anggaran (LSA) [19].
Dalam proses penetapan dan perubannya melibatkan banya pihak pejabat daerah
sebagai pejabat yang memiliki otoritas tertinggi guna mengelola keuangan
daerah. Kewenangan yang dimiliki oleh pejabat daerah tersebut juga terdapat
landasan yuridis yang dituangkan berupa hukum positif sebagai payung hukum
dalam setiap pengambil kebijakannya.
2. Pola pertanggung jawaban secara
administratif kepala daerah terhadap proses pengelolaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) di Indonesia
Dalam
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pasal 67:
“Setiap Pejabat dilarang melakukan
tindakan yang berakibat pada pengeluaran atas beban APBD, jika anggaran untuk
mendanai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia”.
Pada
Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, proses penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam Pasal 20 ayat (1) disebutkan
“Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) yang disusun dengan pendekatan kinerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 memuat: a. sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja; b. standar
pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang
bersangkutan; c. bagian pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) yang membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan
pemeliharaan, belanja modal/pembangunan”. Selanjutnya di ayat (2) disebutkan “Untuk
mengukur kinerja keuangan Pemerintah Daerah, dikembangkan standar analisa
belanja, tolak ukur kinerja dan standar biaya”.
Dalam
Keputusan Mentri Dalam Negeri Nomor : 29 tahun 2002 tanggal 10 Juni 2002
tentang pedoman pengurusan, pertanggung jawaban dan pengawasan keuangan dan
belanja daerah, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan
perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah
Pasal 49 ayat (1) :
“Pengeluaran kas yang mengakibatkan
beban APBD tidak dapat dilakukan sebelum rencana peraturan daerah tentang APBD
disahkan dan ditempatkan dalam lembaran daerah”.
Pasal 49 ayat (5) :
“Setiap pengeluaran kas harus
didukung oleh bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak
yang menagih”.
Dalam
menentukan besar dan kecilnya Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) harus memperhatikan tolak ukur standarisasi agar tidak
disalah gunakan sebagai celah terjadinya tindak pidana korupsi. Pada Pasal 26
ayat (1) Keputusan Mentri Dalam
Negeri No.29 tahun 2002 tentang pengelolaan keuangan daerah yang
menyatakan bahwa perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) dapat dilakukan sehubungan dengan:
a. Kebijakan
pemerintah yang bersifat strategis;
b. Penyesuaian karena Pendapatan
Asli Daerah (PAD) tidak terpenuhi;
dan
c. Terjadinya
kebutuhan mendesak.
Substansi
yang sama terkait perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) juga
disebutkan dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah disebutkan bahwa:
“(1) Perubahan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) dilakukan sehubungan dengan: a. Kebijaksanaan
Pemerintah Pusat dan atau Pemrintah Daerah yang bersifat strategis; b.
Penyesuaian akibat tidak tercapainya target Penerimaan Daerah yang ditetapkan;
c. Terjadinya kebutuhan mendesak. (2) Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran
tertentu berakhir”.
Banyak
sekali aksi-aksi masyarakat menentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) yang tidak adil yang makin marak di daerah, karena anggaran
daerah lebih banyak dialokasikan untuk kepentingan pejabat dari pada untuk
pelayanan umum ekonomi rakyat [20].
Sebagai bahan telah analisis dan komparasi Penulis akan mencoba menggali lebih
dalam dari Pasal 25 Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan
dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah disebutkan yang pada intinya tindakan
yang mengakibatkan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) tidak dapat dilakukan sebelum ditetapkan dalam Peraturan Daerah
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan ditempatkan dalam
Lembaran Daerah. Selanjutnya dalam Keputusan Mentri Dalam
Negeri No. 29 tahun 2002tentang pengelolaan keuangan
daerah Pasal 55 ayat (2) disebutkan adanya
larangan mengeluarkan pengeluaran atas beban belanja daerah untuk tujuan
lain dari pada yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) tersebut. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
menurut David.B.Truman yaitu sebagai berikut: ”any
politician whether legislator, administrator or judge whether elected or
appointed is obligated to make decision that are guided in part by the relevant
knowledge that is available to him”.[21] Bertolak
dari berbagai aturan tersebut diatas Penulis berpendapat bahwa dalam tahap
penyusunan sampai penetapan peraturan daerah akan melibatkan pihak legislatif
yang diwakili oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan
pihak eksekutif yang diwakili oleh kepala daerah. Dalam pembahasan dan
penetapan tentang besar dan kecilnya dana yang akan digunakan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kedua belah pihak sama-sama mempunyai
kepentingan untuk menaikan anggaran guna kepentingan pribadi dan golongan tertentu.
Kesepakatan tersebut ditetapkan dalam peraturan daerah yang menjadi kesepakatan
bersama. Peraturan daerah tersebut telah mempunyai kekuatan hukum mengikat dan
berlaku untuk umum. Selain mengeluarkan peraturan daerah sebagai salah satu
legalisasi terhadap setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah,
kepala daerah selaku pemegang kekuasaan eksekutif juga berwenang untuk
mengeluarkan keputusan kepala daerah. Keputusan kepala daerah tersebut banyak
menimbulkan celah guna mengamankan kepentingan pribadi saja jika kebijakan yang
diambil tidak melalui tahap musyawarah antara pejabat daerah daerah yang satu
dengan yang lain. Dalam proses pembuktian selanjutnya peraturan daerah dan
keputusan kepala daerah tersebut hanya digunakan sebagai payung hukum untuk
menutupi kesalahan mereka dari jerat hukumnya. Selain menggunakan adanya aturan
peraturan daerah mereka juga menggunakan administrasi dari sekretaris daerah
untuk menutupi kesalahannya.
a. Permainan Peraturan Daerah (Perda)
sebagai alat penyimpangan administratif kepala daerah
Kebijakan
atau keputusan kepala daerah tidak melaksanakan Peraturan Daerah (Perda) di
bidang desentralisasi dan tugas pembantuan dapat bersifat mengatur (regeling)
dan ketetapan (beschiking). Kebijakan di bidang dekonsentrasi semestinya
tidak mengatur melainkan bersifat peraturan kebijaksanaan (beleidsrege)
karena secara hirearki kewenangan pengaturan dibatasi sampai tingkat Peraturan
Mentri (Permen) [22].
Tugas pokok dari kepala daerah termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) selain mereka sebagai pejabat legislator dalam proses pembentukan
peraturan daerah juga sebagai ujung tombak dalam mengawal dan mengontrol sistem
administrasi yang ada di daerah. Aturan dan benteng hukum terkait prosedur
administrasi penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja dan Dearah (APBD) adalah
tanggung jawab utama dari para anggota dewan, karena merekalah yang mempunyai
wewenang dalam legalisasi pengesahan ketika mekanisme pengajuan keuangan daerah
akan digunakan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Dearah (APBD) tersebut.
Sedikit ada kesalahan dalam pengawasan administrasi akan menjadikan celah bagi
kebocoran anggaran daerah mengalir pada pihak-pihak yang hendak melakukan modus
operandi mark up dana daerah.
Kepala
daerah mengatasnamakan pengguanaan dana taktis dan atas nama kepentingan
organisasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Kebijakan tersebut diakomodir
dengan mengeluarkan keputusan kepala daerah. Penggunaan dana tersebut telah
mendapat legalisasi dari pemegang kekuasaan tertinggi yaitu dari kepala daerah
dengan kebijakan yang dikeluarkannya. Salah satu modus lain adalah dengan
memanfaatkan administrasi daerah sebagai legalisasinya, sehingga seolah-olah
penggunaan dana terebut sah berdasarkan hukum. Pola dan karakteristik
modus mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
menggunakan cara yang telah tersistematis dan terstruktur. “Aturan tertulis
adalah payung hukumnya, administrasi daerah adalah tameng hukumnya dan pejabat
pemerintah adalah benteng hukumnya”. Ketiganya saling bersinergisitas
dengan membentuk pola-pola koordinasi organisasi yang akan digunakan sebagai
senjata pamungkas dalam manipulasi keuangan daerah. Fenomena dalam birokrasi
publik ini merupakan bentuk dan celah untuk terjadinya tindak kejahatan korupsi
lainnya.
Keterkaitan
penyusunan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yaitu peraturan daerah
ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama dari Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari
Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD), Gubernur, Bupati dan Wali kota.
Untuk melaksanakan peraturan daerah dan atas kuasa dari peraturan
perundang-undangan kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah atau
keputusan kepala daerah [23].
Dengan demikian setiap kebijakan yang dibuat secara bersama-sama antara pejabat
daerah yang satu dengan yang lain akan berdampak terhadap pada besar dan
kecilnya dana yang akan dikeluarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Beban dana yang dikeluarkan dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akan berpotensi terhadap kerugian
keuangan daerah pada khususnya dan kerugian keuangan negara pada umumnya. Para
pelaku yang terlibat langsung dalam proses manipulasi dalam pengelolaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur, Bupati atau Wali Kota, Sekretaris Daerah dan
para pejabat daerah lainnya. Proses mark up Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) titik mulanya berawal dari adanya
konstelasi politik dan kompromi dari semua pejabat daerah untuk membuat
peraturan dalam bentuk Peraturan Daerah agar dapat mengakomodir kepentingan
yang sesuai diinginkan mereka. Penetapan anggaran dan besarnya biaya belanja
daerah dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diatur dalam
Peraturan Daerah, sehingga semua belanja yang dilakukan sudah sesuai dengan
aturan yang berlaku. Hal yang lebih ironisnya lagi adalah belanja dan
pembiayaan yang dilakukan daerah mengkamuflasekan atas nama otonomi daerah dan
kesejahteraan rakyat, sehingga besar dana yang dikeluarkan justru menyimpang
dari Peraturan Daerah yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD).
b. Pertanggung jawaban kepala daerah
sebagai bentuk pengingkaran terhadap konstituen
Dalam Pasal
27 ayat (3) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah disebutkan
bahwa “Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden melalui Menteri
Dalam Negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur
untuk Bupati/Walikota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun”. Hal ini
mengindikasikan bahwa seorang kepala daerah secara administratif merupakan
wakil dari pemerintah pusat yang ada di daerah dan harus dapat bertanggung
jawab terhadap setiap kebijakan yang diambilnya. Secara normatif pertanggung
jawaban harus disampaikan kepada presiden selaku kepala pemerintahan, akan
tetapi akan berbanding terbalik jika Penulis harmonisasikan dengan konsep Joseph
R.Gusfiedtentang development justice atau pembangunan keadilan
akan membedakan hukum dalam instrument dan simbolis [24],
maka kepala daerah yang telah dipilih rakyat di daerahnya harus mampu
bertanggung jawab secara moral mengingat para konstituennya ada di daerah.
Dalam konsep pergeseran politik dan hukum hal ini seiring dengan pola
bergesernya locus politik dari pemerintah oleh birokrat(government
by bureucrat) ke pemerintah oleh politisi (government by
politician) [25].
Selain itu juga terdapat pola bottom up planning [26] yang
merupakan bentuk birokrasi yang sangat sulit dan selalu merugikan masyarakat.
Hal ini juga akan mengiringi pola dan perilaku yang dilakukan oleh kepala
daerah terkait kebijakan yang akan diambil. Konsep pertanggung jawaban melalui
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) jelas kurang efektif. Pertanggung jawaban
tersebut hanya akan menggugurkan fungsi secara linear administratif sebagai
kepala daerah selama kinerjanya karena yang akan mengeksekusi tentang fungsi
jabatan secara struktural masih di tangan presiden. Menurut Penulis konsep
pertanggung jawaban yang dilakukan oleh kepala daerah di lembaga legislatif
tidak hanya memenuhi formalitas belaka akan tetapi harus mampu memberikan
sanksi jika memang dirasa kinerja di daerah kurang memenuhi rasa keadilan di
dalam masyarakat. Ketika laporan pertanggung jawaban ditolak maka pihak
legislatif harus dapat memberikan sanksi tegas sampai pemberhentian kepala
daerah. Walaupun secara normatif sangat bertentangan dengan aturan akan tetapi
dengan konsep ini akan memberikan terobosan hukum disaat hukum di negeri ini
mengalami degradasi politisasi yang lebih mengarah kepada orientasi kepentingan
pribadi saja bukan lagi kepentingan rakyat yang diutamakan. Cara lain yang
dapat ditempuh adalah sanksi tersebut dituangkan dalam sebuah rekomendasi
kepada pusat agar kepala daerah agar dikeluarkan sebuah Peraturan Presiden
untuk pemberhentian kepala daerah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bahwa konsep politik hukum yang diberikan dari
pemerintah pusat kepada daerah merupakan proses implementasi transformasi
secara administratif baik dari segi pemberian tugas maupun sampai pelimpahan
wewenang. Kepala daerah mempunyai otoritas tertinggi dalam menyikapi
transformasi yang diberikan oleh pemerintah pusat baik dari pengelolaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun kebijakan yang akan
diambilnya.
2. Kepala daerah mempunyai peranan
penting dalam proses Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di daerah.
Besar dan kecilnya dapat ditentukan dengan kewengan yang dimiliki. Potensi
penyimpangan secara administratif lewat Peraturan Daerah (Perda) akan dapat
dimanipulasi ke arah penggunaan dana daerah diluar kebutuhan yang seharusnya
dukeluarkan. Konstituen yang telah memilih di daerah telah dikebiri karena pertanggung
jawaban secara struktural bukan di daerah akan tetapi kepada pemerintah pusat.
B. Saran
1. Seharusnya setiap Peraturan Daerah (Perda) yang
dikeluarkan oleh kepala daerah mendapat pengawasan yang ketat dari dua (2)
jalur yaitu Pertama, dari pihak legislatif di daerah dan Kedua, dari
Kementrian Dalam Negeri agar setiap kebijakan yang diambil sebelum mendapat
persetujuan dari pusat dapat diawasi dan diteliti secara detail terkait dana
yang akan dibutuhkan di daerah dari pengambilan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).
2. Seharusnya kepala daerah walaupun secara administratif
bertanggung jawab terhadap presiden secara struktural harus tetap dapat
menjalankan tugas dan wewenangnya dengan baik sebagai bentuk kesepaktan bersama
terhadap konstituen. Walaupun dari partai politik harus tetap dikesampingkan
jika tuntutan rakyat jauh lebih besar untuk segara diambil kebijakan.
3. Seharusnya pihak legislatif di
daerah harus dapat memberikan ketegasan terhadap kepala daerah jika laporan
pertanggung jawabannya telah terbukti banyak indikasi pelanggaran dan harus
segera memberikan rekomendasi terhadap pemerintah pusat agar segera dikeluarkan
surat pemberhentian kepada kepala daerah.
[1] Syarif Hidayat, Too
Much Too Soon Local State Elite’s Perspective On The Puzzle Of Contemporary Indonesian
Regional Autonomy Policy (Jakarta, 2005), hal. 284
[5] Mubyarto, Prosperk
otonomi daerah dan perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi(Yogyakarta, 2001), hal.197
[6] Timur Mahardika, Tarik Ulur Relasi Pusat Daerah
Perkembangan Pengaturan Pemerintah Daerah dan Catatan Ktitis (Yogyakarta, 2004), hal.404
[14] Adrian Sutedi, Implikasi Hukum Atas Sumber
Pembiayaan Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah (Jakarta, 2009), hal.78
[16] Sony Yuwono dkk, Memahami APBD dan Permasalahannya
“Panduan Pengelolaan Daerah” (Malang, 2007),
hal.51
[18] Soni Yuwono dkk, Memahami APBD dan Permasalahannya
“Panduan Pengelolaan Daerah” (Malang, 2008) , hal.368
[19] Adrian Sutedi, Implikasi Hukum Atas Sumber
Pembiayaan Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah (Jakarta, 2009), hal.79)
[20] Teten Masduki, Penuntutan Pemberantasan Korupsi
Dalam Pemerintah Daerah (Jakarta, 2002), hal. xxiv
[24] Anthon F. Susanto, Wajah Peradilan Kita Konstruksi
Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan
Akuntabilitas Peradilan Pidana (Bandung, 2004), hal.49
Daftar Pustaka
Abdul Latief. 2006. Hukum dan Peraturan
kebijakan pada pemerintah daerah. Yogyakarta: UI Press
Yogyakarta
Adrian Sutedi. 2009. Implikasi Hukum Atas
Sumber Pembiayaan Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah. Jakarta:
Sinar Grafika
Djoko Sudantoko, 2005. Dikelola Otonomi
Daerah. Yogyakarta: Adi Yogyakarta
Budi Winarno. 2007. Sistem Politik Indonesia
Era Reformasi. Jakarta: Anggota IKAPI
Hanif Nucholis. 2005. Teori dan Praktek
Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Josef Riwu Kaho.1988. Prospek Otonomi Daerah
di Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Mahfud, MD.2006. Membangun Politik Hukum Menegakan
Konstitusi. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
……….1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia.
Yogyakarta: Gama Media
Marbun, BN.2005.DPRD dan Otonomi Daerah.Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Muluk, M.R. Khairul.2007. Desentralisasi dan
Pemerintah Daerah. Malang: Anggota IKAPI Jatim
Mubyarto.2001.Prosperk otonomi daerah dan
perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi.Yogyakarta:Anggota IKAPI
Ni’matul Huda. 2007. Hukum Tata Negara. PT
Raja Grafindo Persada: Jakarta
Sony Yuwono dkk. 2007. Memahami APBD dan
Permasalahannya “Panduan Pengelolaan Daerah”. Malang: Bayumedia Publishing
Syarif Hidayat. 2005. Too Much Too Soon Local
State Elite’s Perspective On The Puzzle Of Contemporary Indonesian
Regional Autonomy Policy. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Syaukani dkk. 2002. Otonomi Daerah Dalam
Negara Kesatuan. Jakarta: Pustaka Pelajar
Susanto Anthon F.2004. Wajah Peradilan Kita
Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan
Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana.Bandung:Refika Aditama
Timur Mahardika.2000.Tarik Ulur Relasi Pusat Daerah
Perkembangan Pengaturan Pemerintah Daerah dan Catatan Ktitis.Yogyakarta:Lapera Pustaka
Utama
Titik Triwulan Tutik. 2006. Pengantar Ilmu
Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka
Tim Lapera. 2000. Otonomi Versi Negara.
Yogyakarta: Yayasan Lapera Indonesia
Teten Masduki. 2006. Penuntutan Pemberantasan
Korupsi Dalam Pemerintah Daerah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia