Translate

Jumat, 03 Mei 2013

PENTINGNYA HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN


A. PENDAHULUAN

B.     Latar Belakang
Perlindungan konsumen merupakan suatu masalah yang sangat penting bagi masyarakat, yang notabene tidak pernah lepas dari kegiatan konsumsi. Perlindungan konsumen sangat dibutuhkan oleh masyarakat dimanapun ia berada. Oleh karena itu perlindungan konsumen sangat perlu diwujudkan dalam suatu kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan kepentingan konsumen. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain memiliki keterkaitan dan ketergantungan antara konsumen, pengusaha dan pemerintah.[1]
Saat ini sering kali kita dengar tentang maraknya pelanggaran-pelanggaran hak-hak konsumen yang acapkali diabaikan oleh pihak produsen. Produsen seringkali lebih mementingkan keuntungan yang akan diperolehnya daripada kesehatan dan hak-hak para konsumennya. Seperti yang terjadi belakangan ini mengenai bakso dengan bahan baku daging babi. Dalam hal ini Produsen telah mengesampingkan hak-hak para konsumen untuk mengkonsumsi daging bakso yang benar-benar daging sapi. Dengan alasan bahwa daging sapi sulit dan mahal harganya maka para produsen ini menggunakan campuran dagi babi untuk menekan biaya produksi baksonya. Dalam permasalahan ini jelas konsumen tidak terlindungi.
Untuk itu maka sangat diperlukan adanya suatu hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen bagi masyarakat yang ada dimanapun mereka berada. Dengan adanya hukum perlindungan konsumen tersebut maka masyarakat akan lebih terjamin hak-haknya sebagai konsumen dan hal-hal seperti peristiwa bakso daging babi tersebut diatas akan dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan .Dengan dibuatnya makalah ini maka diharapkan dapat membantu masyarakat dan para mahasiswa serta akademisi dalam permasalahan hukum perlindungan konsumen bagi masyarakat.






















B. RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan hukum perlindungan konsumen?
2.      Apa prinsip-prinsip hukum perlindungan konsumen?
3.      Lembaga/instansi dan perannya dalam perlindungan konsumen?
4.      Bagaimana penyelesaian sengketa konsumen?




















C. PEMBAHASAN

A.    HUKUM  KONSUMEN  DAN  HUKUM  PERLINDUNGAN  KONSUMEN
Sebelum kita membahas tentang hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen, kita harus terlebih dulu mengerti apa yang dimaksud dengan konsumen itu sendiri. Konsumen secara harfiah memiliki arti, orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu, atau sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang. Menurut  Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen konsumen didefinisikan sebagai setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan konsumen ialah orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa.
Istilah hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen sudah sangat sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk kedalam materi keduanya. Juga apakah kedua cabang hukum itu identik.[2] Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat dan tujuan hukum ialah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.[3]
Az. Nasution berpendapat bahwa hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.[4] Sedangkan hukum perlindungan konsumen itu sendiri ialah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen.[5]
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
1.         Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
2.         Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
3.         Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
4.         Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
5.         Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
6.         Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
7.         Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen.

B.     PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
1.      Prinsip-prinsip Tanggung Jawab
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggungjawab dan seberapa jauh tanggungjawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. Secara umum, prinsip-prinsip tanggungjawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:
1.      Kesalahan ( liability based on fault)
2.      Praduga selalu bertanggungjawab (presumption of liability)
3.      Praduga selalu tidak bertanggungjawab (presumption of nonliability)
4.      Tanggungjawab mutlak (strict liability)
5.      Pembatasan tanggungjawab (limitation of liability).

Prinsip tanggungjawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liabilty atau liability based on fault) adalah prinsipyang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat diminta pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, yang lazim dikenal dengan pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengaharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:
1.      Adanya perbuatan
2.      Adanya unsur kesalahan
3.      Adanya kerugian yang diderita
4.      Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Latar belakang penerapan prinsip ini adalah konsumen hanya melihat semua dibalik dinding korperasi itu sebagai satu kesatuan.. ia tidak dapat membedakan mana yang berhubungan secara organik dengan korperasi dan mana yang tidak. Doktrin ini disebut ostensible agency. Maksudnya, jika suatu korporasi memberi kesan kepada masyarakat, orang yang bekerja disitu adalah karyawan yang tunduk kepada perintah/koordinasi korporasi tersebut, maka sudah cukup syarat bagi korporasi itu untuk wajib bertanggungjawab secara vicarious terhadap konsumennya.[6]
2.      Product Liability
Kebutuhan-kebutuhan akan reformasi hukum, khususnya hukum ekonomi dalam perkembangan dewasa ini sangatlah mendesak. Apalagi dalam era globalisasi seperti sekarang ini, yang ditandai dengan saling ketergantungan antara negara satu dengan negara lain, pembentukan hukum nasional yang baru perlu memperhatikan dimensi intenasional, Indonesia dituntut membentuk hukum nasional yang harus mampu berperan dalm memperlancar lalu lintas hukum di tingkat internasional.[7] Salah satu lembaga hukum yang berdimensi internasional yang perlu diperhatikan dalam revisi maupun pembentukan hukum ekonomi nasional adalah tanggungjawab produk (product liability).
Secara historis, product liability lahir karena ada ketidakseimbangan tanggungjawab antara produsen dan konsumen, diman produsen yang pada awalnya menerapkan strategi product oriented dalam pemasaran produknya, harus mengubah strateginya menjadi consumer oriented. Produsen harus berhati-hati dengan produknya, karena tanggungjawab dalam product liability menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability). Revolusi industri yang melanda Eropa dan kemudian menyebar kedaratan Amerika Serikat menitikberatkan Pruduction centered development, dengan basis utamanya adalah industrialisasi. Tujuan pembangunan adalah pencapaian pertumbuhan ekonomi semaksimal mungkin, dengan memperbesar saving, sementara capital output ratio ditekan serendah-rendahnya. Orientasi kegiatan terarah kepada mekanisme pasar, dan optimalisasi penumpukan dan pemanfaatan capital.[8]
Pruduct Liability adalah suatu tanggungjawab secara hukum dari orang atau badan hukum yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dari suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut.meskipun sistem tanggungjawab dalam product liability berlaku prinsip strict liability, pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggungjawabnya, baik untuk seluruhnya maupun untuk sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan dalam tanggungjawab produsen tersebut adalah:
1.      Jika produsen tidak mengedarkan produknya (put into circulation)
2.      Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian
3.      Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dalam rangka bisnis
4.      Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan pemerintah.
5.      Bahwa secara ilmiah dan teknis pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin terjadi cacat.
3.      Penyalahgunaan Keadaan
Penyalahgunaan keadaan menguraikan penerapan lembaga ini dalam sengketa transaksi konsumen yang akan direkomendasikan untuk diterima menjadi salah satu prinsip penting dalam hukum positif Indonesia. Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, yang dapat dikatakan sebagai sumber formal hukum yang utama dalam transaksi konsumen.  Sebagaimana dibuat dalam KUH Perdata, salah satu asas penting dalam perjanjian adalah prinsip kebebasan berkontrak. Asas ini pertama kali dapat disimpulkan dari pasal 1320 KUH Perdata, yang menetapkan empat syarat sah suatu perjanjian, yaitu:
1.      Kesepakatan kedua belah pihak,
2.      Kecakapan,
3.      Suatu pokok persoalan tertentu,
4.      Suatu sebab yang halal.
Penyalahgunaan keadaan berkaitan dengan kondisi yang ada pada saat kesepakatan terjadi. Kondisi tersebut membuat salah satu pihak berada dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Karena itu , ada beberapa ahli berpendapat penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu bentuk dari cacat kehendak juga.
Enam faktor yang dapat dianggap sebagai ciri dari penyalahgunaan keadaan yaitu:
1.      Pada waktu menutup perjanjian, salah satu pihak ada dalam keadaan terjepit,
2.      Karena keadaan ekonomis, kesulitan keuangan yang mendadak,
3.      Karena hubungan atasan-bawahan
4.      Karena keadaan
5.      Perjanjian itu mengandung hubungan yang timpang dalam kewajiban timbal balik.
6.      Kerugian yang sangat besar dari salah satu pihak.
UUPK sendiri secara umum membuka kemungkinan pengajuan gugatan oleh konsumen kepada pelaku usaha berdasarkan faktor penyalahgunaan keadaan. Penjelasan pasal 2 UUPK menyebutkan adanya lima asas perlindungan konsumen, yaitu:
1.      Manfaat,
2.      Keadilan,
3.      Keseimbangan,
4.      Keamanan dan keselamatan,
5.      Kepastian hukum.

C.    LEMBAGA/INSTANSI DAN PERANNYA DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN.

1.      Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Hukum Perlindungan Konsumen disebutkan adanya Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Fungsi BPKN ini hanyalah memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Untuk menjalankan fungsi tersebut, badan ini mempunyai tugas:
1.      Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen.
2.      Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen.
3.      Melakukan penilitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen.
4.      Mendorong berkembangya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
5.      Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen.
6.      Menrima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha.
7.      Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.

2.      Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
Kian ketatnya persaingan dalam merebut pangsa pasar melalui bermacam-macam produk barang, maka perlu keseriusan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) perlu memantau secara serius pelaku usaha/penjual yang hanya mengejar profit semata dengan mengabaikan kualitas produk barang. Berkaitan dengan implementasi perlindungan konsumen, UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen mengatur tugas dan wewenang LPKSM sebagaimana tertuang dalam pasal 44, yaitu:
1.      Pemerintah mengakui LPKSM yang memenuhi syarat,
2.      LPKSM memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen,
3.      Tugas LPKSM meliputi kegiatan;
a.       Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengonsumsi barang/jasa
b.      Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan,
c.       Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen,
d.      Membantu konsumen dalam memeperjuangkan haknya
e.       Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
D.    PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
1.      Penyelesaian Sengketa di Peradilan Umum
Sengketa konsumen dalam hal ini dibatasi pada sengketa perdata. Istilah prosedur beperkara didahului dengan didaftarkannya surat gugatan ke kepaniteraan perkara perdata di pengadilan negeri. Pasal 45 ayat (1) UUPK menyatakan:
1.      Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum,
2.      Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa,
3.      Peneyelesaian diluar pengadilan seperti yang dimaksud dalam ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jwab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang,
4.      Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabilaupaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh pihak yang bersengketa.
2.      Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Dengan maraknya kegiatan bisnis, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/difference) antara para pihak yang terlibat, dimana penyelesaiannya dilakukan melalui proses peradilan (litigasi). Proses ini membutuhkan waktu yang lama, namun alasan yang selalu mengemuka dipilihnya penyelesaian alternatif karena ingin memangkas birokrasi perkara, biaya dan waktu, sehingga relatif cepat dengan biaya relatif lebih ringan, lebih dapat menjaga harmoni sosial dengan mengembangkan budaya musyawarah dan budaya nonkonfrontatif.
Lembaga alternatif penyelesaian sengketa telah diatur dalam undang-undang nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Pasal 1 ayat (1) UU NO. 30 Tahun 1999 berbunyi “arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Adapun alternatif penyelasaian sengketa menurut pasal 1 ayat (10) UU No. 30 Tahun 1999 yaitu “alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan denga cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli”.
Dalam sengketa konsumen, pada umunya korban bersifat massal (mass accident). Secara teknis konsumen yang dirugikan mengalami kesulitan apabila akan mengajukan gugatan, karena harus membuat surat kuasa khusus kepada pengacara, sementara kasusnya adalah sama. Dengan gugatan class action terhadap kasus yang sama, cukup diwakili oleh beberapa korban yang menuntut secara perdata ke pengadilan. Kriteria untuk menentukan suatu perkara dapat tidaknya menjadi class action yaitu:
1.      Orang yang terlibat sangat banyak dengan kelompok yang jelas,
2.      Adanya kesamaan tuntutan dari suatu fakta dan hukum yang sama dan sejenis,
3.      Tidak memerlukan kehadiran setiap orang yang dirugikan,
4.      Upaya class action lebih baik dari gugatan individual,
5.      Perwakilan harus jujur, layak, dan dapat melindungi kepentingan orang yang diwakili,
6.      Disahkan oleh pengadilan.






D. KESIMPULAN
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen konsumen didefinisikan sebagai setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya. prinsip-prinsip tanggungjawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:
1.      Kesalahan ( liability based on fault)
2.      Praduga selalu bertanggungjawab (presumption of liability)
3.      Praduga selalu tidak bertanggungjawab (presumption of nonliability)
4.      Tanggungjawab mutlak (strict liability)
5.      Pembatasan tanggungjawab (limitation of liability).
Fungsi Badan Perlindungan Konsumen Nasional ini hanyalah memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Penyelesaian sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui dua jalur yaitu:
1.      Melalui jalan litigasi (proses peradilan),
2.      Melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Kriteria untuk menentukan suatu perkara dapat tidaknya menjadi class action yaitu:
1.      Orang yang terlibat sangat banyak dengan kelompok yang jelas,
2.      Adanya kesamaan tuntutan dari suatu fakta dan hukum yang sama dan sejenis,
3.      Tidak memerlukan kehadiran setiap orang yang dirugikan,
4.      Upaya class action lebih baik dari gugatan individual,
5.      Perwakilan harus jujur, layak, dan dapat melindungi kepentingan orang yang diwakili,
6.      Disahkan oleh pengadilan.

E. DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Husni Syawali, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar
Maju.

Shidarta, 2008. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo.

Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:
Sinar Grafika.


J. Widijantoro, 2007, Product Liability dan Perlindungan Konsumen di
Indonesia, Justitia Et Pax.

John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, 2007, Negara Hukum dan Perlindungan
Konsumen terhadap produk pangan kedaluarsa, Jakarta: Pelangi
Cendekia.

INTERNET
konsumen.html, pada hari minggu tanggal 23 Desember 2012. Pukul
15:39.



[1] Husni Syawali, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung : Mandar Maju, 2008), hal 7  
[2] Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm 9.
[3] Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm 13.
[4] Shidarta, ibid., hlm 9-10.
[5] http://mudasembalun.blogspot.com/2011/12/makalah-tentang-perlindungan-konsumen.html, pada hari minggu tanggal 23 Desember 2012. Pukul 15:39.
[6] Celina Tri Siwi Kristiyanti, ibid. Hlm 93-94.
[7] J. Widijantoro, Product Liability dan Perlindungan Konsumen di Indonesia, Justitia Et Pax. 2007. Hlm 5.
[8] John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen terhadap produk pangan kedaluarsa, (Jakarta: Pelangi Cendekia, 2007), hlm 86.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar