A. PENDAHULUAN
B.
Latar
Belakang
Perlindungan konsumen
merupakan suatu masalah yang sangat penting bagi masyarakat, yang notabene
tidak pernah lepas dari kegiatan konsumsi. Perlindungan konsumen sangat
dibutuhkan oleh masyarakat dimanapun ia berada. Oleh karena itu perlindungan
konsumen sangat perlu diwujudkan dalam suatu kegiatan ekonomi yang berhubungan
dengan kepentingan konsumen. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan
hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain memiliki keterkaitan dan
ketergantungan antara konsumen, pengusaha dan pemerintah.[1]
Saat ini sering kali
kita dengar tentang maraknya pelanggaran-pelanggaran hak-hak konsumen yang
acapkali diabaikan oleh pihak produsen. Produsen seringkali lebih mementingkan
keuntungan yang akan diperolehnya daripada kesehatan dan hak-hak para
konsumennya. Seperti yang terjadi belakangan ini mengenai bakso dengan bahan
baku daging babi. Dalam hal ini Produsen telah mengesampingkan hak-hak para
konsumen untuk mengkonsumsi daging bakso yang benar-benar daging sapi. Dengan
alasan bahwa daging sapi sulit dan mahal harganya maka para produsen ini
menggunakan campuran dagi babi untuk menekan biaya produksi baksonya. Dalam
permasalahan ini jelas konsumen tidak terlindungi.
Untuk itu maka sangat
diperlukan adanya suatu hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen bagi
masyarakat yang ada dimanapun mereka berada. Dengan adanya hukum perlindungan
konsumen tersebut maka masyarakat akan lebih terjamin hak-haknya sebagai
konsumen dan hal-hal seperti peristiwa bakso daging babi tersebut diatas akan
dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan .Dengan dibuatnya makalah ini maka
diharapkan dapat membantu masyarakat dan para mahasiswa serta akademisi dalam
permasalahan hukum perlindungan konsumen bagi masyarakat.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
yang dimaksud dengan hukum perlindungan konsumen?
2. Apa
prinsip-prinsip hukum perlindungan konsumen?
3. Lembaga/instansi
dan perannya dalam perlindungan konsumen?
4. Bagaimana
penyelesaian sengketa konsumen?
C. PEMBAHASAN
A.
HUKUM
KONSUMEN DAN HUKUM
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Sebelum kita membahas
tentang hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen, kita harus terlebih
dulu mengerti apa yang dimaksud dengan konsumen itu sendiri. Konsumen secara harfiah memiliki arti, orang atau
perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu, atau
sesuatu atau seseorang yang menggunakan
suatu persediaan atau sejumlah barang. Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen konsumen didefinisikan sebagai setiap orang pemakai barang dan atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan konsumen ialah orang
yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa.
Istilah hukum konsumen
dan hukum perlindungan konsumen sudah sangat sering terdengar. Namun, belum
jelas benar apa saja yang masuk kedalam materi keduanya. Juga apakah kedua
cabang hukum itu identik.[2] Karena
posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu
sifat dan tujuan hukum ialah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua
bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.[3]
Az. Nasution berpendapat
bahwa hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat
mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.
Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain
berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.[4]
Sedangkan hukum perlindungan konsumen itu sendiri ialah keseluruhan asas-asas
dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan
dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen.[5]
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum
yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti,
perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme.
Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh
pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan
oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999.
Di Indonesia, dasar
hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
1.
Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21
ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
2.
Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan
lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
3.
Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
4.
Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan
Alternatif Penyelesian Sengketa
5.
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang
Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
6.
Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No.
235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada
Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
7.
Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam
Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen.
B. PRINSIP-PRINSIP HUKUM PERLINDUNGAN
KONSUMEN
1. Prinsip-prinsip Tanggung Jawab
Prinsip tentang
tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan
konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian
dalam menganalisis siapa yang harus bertanggungjawab dan seberapa jauh
tanggungjawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait. Secara umum,
prinsip-prinsip tanggungjawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:
1.
Kesalahan ( liability based on fault)
2.
Praduga selalu bertanggungjawab
(presumption of liability)
3.
Praduga selalu tidak bertanggungjawab
(presumption of nonliability)
4.
Tanggungjawab mutlak (strict liability)
5.
Pembatasan tanggungjawab (limitation of
liability).
Prinsip tanggungjawab
berdasarkan unsur kesalahan (fault liabilty atau liability based on fault)
adalah prinsipyang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Prinsip
ini menyatakan, seseorang baru dapat diminta pertanggungjawabannya secara hukum
jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, yang lazim
dikenal dengan pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengaharuskan
terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:
1.
Adanya perbuatan
2.
Adanya unsur kesalahan
3.
Adanya kerugian yang diderita
4.
Adanya hubungan kausalitas antara
kesalahan dan kerugian.
Latar belakang penerapan prinsip ini
adalah konsumen hanya melihat semua dibalik dinding korperasi itu sebagai satu
kesatuan.. ia tidak dapat membedakan mana yang berhubungan secara organik
dengan korperasi dan mana yang tidak. Doktrin ini disebut ostensible agency.
Maksudnya, jika suatu korporasi memberi kesan kepada masyarakat, orang yang
bekerja disitu adalah karyawan yang tunduk kepada perintah/koordinasi korporasi
tersebut, maka sudah cukup syarat bagi korporasi itu untuk wajib
bertanggungjawab secara vicarious terhadap konsumennya.[6]
2. Product Liability
Kebutuhan-kebutuhan akan reformasi
hukum, khususnya hukum ekonomi dalam perkembangan dewasa ini sangatlah
mendesak. Apalagi dalam era globalisasi seperti sekarang ini, yang ditandai
dengan saling ketergantungan antara negara satu dengan negara lain, pembentukan
hukum nasional yang baru perlu memperhatikan dimensi intenasional, Indonesia
dituntut membentuk hukum nasional yang harus mampu berperan dalm memperlancar
lalu lintas hukum di tingkat internasional.[7]
Salah satu lembaga hukum yang berdimensi internasional yang perlu diperhatikan
dalam revisi maupun pembentukan hukum ekonomi nasional adalah tanggungjawab
produk (product liability).
Secara historis,
product liability lahir karena ada ketidakseimbangan tanggungjawab antara
produsen dan konsumen, diman produsen yang pada awalnya menerapkan strategi
product oriented dalam pemasaran produknya, harus mengubah strateginya menjadi
consumer oriented. Produsen harus berhati-hati dengan produknya, karena
tanggungjawab dalam product liability menganut prinsip tanggung jawab mutlak
(strict liability). Revolusi industri yang melanda Eropa dan kemudian menyebar
kedaratan Amerika Serikat menitikberatkan Pruduction centered development,
dengan basis utamanya adalah industrialisasi. Tujuan pembangunan adalah
pencapaian pertumbuhan ekonomi semaksimal mungkin, dengan memperbesar saving,
sementara capital output ratio ditekan serendah-rendahnya. Orientasi kegiatan
terarah kepada mekanisme pasar, dan optimalisasi penumpukan dan pemanfaatan
capital.[8]
Pruduct Liability
adalah suatu tanggungjawab secara hukum dari orang atau badan hukum yang
menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan
yang bergerak dari suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor,
assembler) atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan
(seller, distributor) produk tersebut.meskipun sistem tanggungjawab dalam
product liability berlaku prinsip strict liability, pihak produsen dapat
membebaskan diri dari tanggungjawabnya, baik untuk seluruhnya maupun untuk
sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan dalam tanggungjawab produsen tersebut
adalah:
1.
Jika produsen tidak mengedarkan
produknya (put into circulation)
2.
Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut
tidak ada pada saat produk diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat
tersebut baru timbul kemudian
3.
Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh
produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dalam
rangka bisnis
4.
Bahwa terjadinya cacat pada produk
tersebut akibat keharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan
pemerintah.
5.
Bahwa secara ilmiah dan teknis pada saat
produk tersebut diedarkan tidak mungkin terjadi cacat.
3. Penyalahgunaan Keadaan
Penyalahgunaan keadaan
menguraikan penerapan lembaga ini dalam sengketa transaksi konsumen yang akan
direkomendasikan untuk diterima menjadi salah satu prinsip penting dalam hukum
positif Indonesia. Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, yang dapat
dikatakan sebagai sumber formal hukum yang utama dalam transaksi konsumen. Sebagaimana dibuat dalam KUH Perdata, salah
satu asas penting dalam perjanjian adalah prinsip kebebasan berkontrak. Asas
ini pertama kali dapat disimpulkan dari pasal 1320 KUH Perdata, yang menetapkan
empat syarat sah suatu perjanjian, yaitu:
1.
Kesepakatan kedua belah pihak,
2.
Kecakapan,
3.
Suatu pokok persoalan tertentu,
4.
Suatu sebab yang halal.
Penyalahgunaan keadaan berkaitan dengan
kondisi yang ada pada saat kesepakatan terjadi. Kondisi tersebut membuat salah
satu pihak berada dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya.
Karena itu , ada beberapa ahli berpendapat penyalahgunaan keadaan sebagai salah
satu bentuk dari cacat kehendak juga.
Enam faktor yang dapat dianggap sebagai
ciri dari penyalahgunaan keadaan yaitu:
1.
Pada waktu menutup perjanjian, salah
satu pihak ada dalam keadaan terjepit,
2.
Karena keadaan ekonomis, kesulitan
keuangan yang mendadak,
3.
Karena hubungan atasan-bawahan
4.
Karena keadaan
5.
Perjanjian itu mengandung hubungan yang
timpang dalam kewajiban timbal balik.
6.
Kerugian yang sangat besar dari salah
satu pihak.
UUPK sendiri secara
umum membuka kemungkinan pengajuan gugatan oleh konsumen kepada pelaku usaha
berdasarkan faktor penyalahgunaan keadaan. Penjelasan pasal 2 UUPK menyebutkan
adanya lima asas perlindungan konsumen, yaitu:
1.
Manfaat,
2.
Keadilan,
3.
Keseimbangan,
4.
Keamanan dan keselamatan,
5.
Kepastian hukum.
C. LEMBAGA/INSTANSI DAN PERANNYA DALAM
PERLINDUNGAN KONSUMEN.
1. Badan Perlindungan Konsumen
Nasional.
Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Hukum
Perlindungan Konsumen disebutkan adanya Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Fungsi BPKN ini hanyalah memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah
dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Untuk menjalankan
fungsi tersebut, badan ini mempunyai tugas:
1.
Memberikan saran dan rekomendasi kepada
pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan
konsumen.
2.
Melakukan penelitian dan pengkajian
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan
konsumen.
3.
Melakukan penilitian terhadap barang
dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen.
4.
Mendorong berkembangya lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
5.
Menyebarluaskan informasi melalui media
mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada
konsumen.
6.
Menrima pengaduan tentang perlindungan
konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat,
atau pelaku usaha.
7.
Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan
konsumen.
2. Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat.
Kian ketatnya
persaingan dalam merebut pangsa pasar melalui bermacam-macam produk barang,
maka perlu keseriusan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
perlu memantau secara serius pelaku usaha/penjual yang hanya mengejar profit
semata dengan mengabaikan kualitas produk barang. Berkaitan dengan implementasi
perlindungan konsumen, UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
mengatur tugas dan wewenang LPKSM sebagaimana tertuang dalam pasal 44, yaitu:
1.
Pemerintah mengakui LPKSM yang memenuhi
syarat,
2.
LPKSM memiliki kesempatan untuk berperan
aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen,
3.
Tugas LPKSM meliputi kegiatan;
a. Menyebarkan
informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan
kehati-hatian konsumen dalam mengonsumsi barang/jasa
b. Memberikan
nasihat kepada konsumen yang memerlukan,
c. Bekerja
sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen,
d. Membantu
konsumen dalam memeperjuangkan haknya
e. Melakukan
pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan
konsumen.
D. PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
1. Penyelesaian Sengketa di Peradilan
Umum
Sengketa konsumen dalam hal ini dibatasi
pada sengketa perdata. Istilah prosedur beperkara didahului dengan
didaftarkannya surat gugatan ke kepaniteraan perkara perdata di pengadilan
negeri. Pasal 45 ayat (1) UUPK menyatakan:
1.
Setiap konsumen yang dirugikan dapat
menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada
dilingkungan peradilan umum,
2.
Penyelesaian sengketa konsumen dapat
ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela
para pihak yang bersengketa,
3.
Peneyelesaian diluar pengadilan seperti
yang dimaksud dalam ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jwab pidana
sebagaimana diatur dalam undang-undang,
4.
Apabila telah dipilih upaya penyelesaian
sengketa konsumen diluar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabilaupaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh
pihak yang bersengketa.
2. Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan
Dengan maraknya
kegiatan bisnis, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa
(dispute/difference) antara para pihak yang terlibat, dimana penyelesaiannya
dilakukan melalui proses peradilan (litigasi). Proses ini membutuhkan waktu
yang lama, namun alasan yang selalu mengemuka dipilihnya penyelesaian
alternatif karena ingin memangkas birokrasi perkara, biaya dan waktu, sehingga
relatif cepat dengan biaya relatif lebih ringan, lebih dapat menjaga harmoni
sosial dengan mengembangkan budaya musyawarah dan budaya nonkonfrontatif.
Lembaga alternatif
penyelesaian sengketa telah diatur dalam undang-undang nomor 30 Tahun 1999
tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Pasal 1 ayat (1) UU NO.
30 Tahun 1999 berbunyi “arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata
diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Adapun alternatif
penyelasaian sengketa menurut pasal 1 ayat (10) UU No. 30 Tahun 1999 yaitu
“alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian
diluar pengadilan denga cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau
penilaian ahli”.
Dalam sengketa
konsumen, pada umunya korban bersifat massal (mass accident). Secara teknis
konsumen yang dirugikan mengalami kesulitan apabila akan mengajukan gugatan,
karena harus membuat surat kuasa khusus kepada pengacara, sementara kasusnya
adalah sama. Dengan gugatan class action terhadap kasus yang sama, cukup
diwakili oleh beberapa korban yang menuntut secara perdata ke pengadilan.
Kriteria untuk menentukan suatu perkara dapat tidaknya menjadi class action
yaitu:
1.
Orang yang terlibat sangat banyak dengan
kelompok yang jelas,
2.
Adanya kesamaan tuntutan dari suatu
fakta dan hukum yang sama dan sejenis,
3.
Tidak memerlukan kehadiran setiap orang
yang dirugikan,
4.
Upaya class action lebih baik dari
gugatan individual,
5.
Perwakilan harus jujur, layak, dan dapat
melindungi kepentingan orang yang diwakili,
6.
Disahkan oleh pengadilan.
D. KESIMPULAN
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen konsumen
didefinisikan sebagai setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Hukum
konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit
dipisahkan dan ditarik batasnya. prinsip-prinsip tanggungjawab dalam hukum
dapat dibedakan sebagai berikut:
1.
Kesalahan ( liability based on fault)
2.
Praduga selalu bertanggungjawab
(presumption of liability)
3.
Praduga selalu tidak bertanggungjawab
(presumption of nonliability)
4.
Tanggungjawab mutlak (strict liability)
5.
Pembatasan tanggungjawab (limitation of
liability).
Fungsi
Badan Perlindungan Konsumen Nasional ini hanyalah memberikan saran dan pertimbangan
kepada Pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
Penyelesaian sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui dua jalur yaitu:
1. Melalui
jalan litigasi (proses peradilan),
2. Melalui
penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Kriteria untuk menentukan suatu perkara
dapat tidaknya menjadi class action yaitu:
1.
Orang yang terlibat sangat banyak dengan
kelompok yang jelas,
2.
Adanya kesamaan tuntutan dari suatu
fakta dan hukum yang sama dan sejenis,
3.
Tidak memerlukan kehadiran setiap orang
yang dirugikan,
4.
Upaya class action lebih baik dari
gugatan individual,
5.
Perwakilan harus jujur, layak, dan dapat
melindungi kepentingan orang yang diwakili,
6.
Disahkan oleh pengadilan.
E. DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Husni Syawali, 2008, Hukum
Perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar
Maju.
Shidarta,
2008. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo.
Celina
Tri Siwi Kristiyanti, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:
Sinar
Grafika.
J.
Widijantoro, 2007, Product Liability dan Perlindungan Konsumen di
Indonesia, Justitia Et Pax.
John
Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, 2007, Negara Hukum dan Perlindungan
Konsumen terhadap produk pangan
kedaluarsa, Jakarta: Pelangi
Cendekia.
INTERNET
konsumen.html, pada hari
minggu tanggal 23 Desember 2012. Pukul
15:39.
[1]
Husni Syawali, Hukum Perlindungan Konsumen,
(Bandung : Mandar Maju, 2008), hal 7
[2]
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm 9.
[3] Celina
Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), hlm 13.
[4]
Shidarta, ibid., hlm 9-10.
[5] http://mudasembalun.blogspot.com/2011/12/makalah-tentang-perlindungan-konsumen.html,
pada hari minggu tanggal 23 Desember 2012. Pukul 15:39.
[6] Celina
Tri Siwi Kristiyanti, ibid. Hlm 93-94.
[7] J.
Widijantoro, Product Liability dan Perlindungan Konsumen di Indonesia, Justitia
Et Pax. 2007. Hlm 5.
[8] John
Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen terhadap
produk pangan kedaluarsa, (Jakarta: Pelangi Cendekia, 2007), hlm 86.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar