Translate

Jumat, 08 November 2013

Kewenangan MK dalam menyelesaikan Sengketa Pilkada

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga peradilan sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah Agung (MA), yang dibentuk melalui Perubahan Ketiga UUD 1945. Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk MK. Pembentukan MK sendiri merupakan fenomena negara modern abad ke-20.([1])
Ide pembentukan MK di Indonesia muncul dan menguat di era reformasi pada saat dilakukan perubahan terhadap UUD 1945. Namun demikian, dari sisi gagasan judicial review sebenarnya telah ada sejak pembahasan UUD 1945 oleh BPUPK pada tahun 1945. Anggota BPUPK, Prof. Muhammad Yamin, telah mengemukakan pendapat bahwa “Balai Agung” (MA) perlu diberi kewenangan untuk membanding Undang-Undang. Namun Prof. Soepomo menolak pendapat tersebut karena memandang bahwa UUD yang sedang disusun pada saat itu tidak menganut paham trias politika dan kondisi saat itu belum banyak sarjana hukum dan belum memiliki pengalaman judicial review.([2])
Pada masa berlakunya Konstitusi RIS, judicial review pernah menjadi salah satu wewenang MA, tetapi terbatas untuk menguji Undang-Undang Negara Bagian terhadap konstitusi. Hal itu diatur dalam Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158 Konstitusi RIS. Sedangkan di dalam UUDS 1950, tidak ada lembaga pengujian undang-undang karena undang-undang dipandang sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dijalankan oleh pemerintah bersama DPR. ([3])
Ide perlunya judicial review, khususnya pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, kembali muncul pada saat pembahasan RUU Kekuasaan Kehakiman yang selanjutnya ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Saat itu Ikatan Hakim Indonesia yang mengusulkan agar MA diberikan wewenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Namun karena ketentuan tersebut dipandang merupakan materi muatan konstitusi sedangkan dalam UUD 1945 tidak diatur sehingga usul itu tidak disetujui oleh pembentuk undang-undang. MA ditetapkan memiliki wewenang judicial review secara terbatas, yaitu menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, itupun dengan ketentuan harus dalam pemeriksaan tingkat kasasi yang mustahil dilaksanakan.[4] Ketentuan ini juga dituangkan dalam Tap MPR Nomor VI/MPR/1973 dan Tap MPR Nomor III/MPR/1978.([5])
Kewenangan Mahkamah Konstitusi telah diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003([6]) tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut: (1) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, (2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, (3) Memutus pembubaran partai politik, dan (4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta satu kewajibannya adalah Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.([7])
Saat ini Mahkamah Konstitusi sedang menjadi sorotan masyarakat karena dinilai banyak melakukan kontroversi dalam memutus sengketa Pilkada, dan juga oleh pengamat hukum disebabkan kurangnya independensi dan transparansi dalam menyelesaikan sengketa Pilkada, diperparah lagi adanya dugaan bahwa Hakim Konstitusi terlibat suap dalam penyelesaian sengketa Pilkada. Jika tidak segera diperbaiki sistem dan SDM yang dimiliki oleh Pejabat yang terkait di MK, bukan tidak mungkin, ini menjadi awal keterpurukan MK itu sendiri.([8])


1.2 Rumusan Masalah
Dari sedikit gambaran diatas, tentu akan memunculkan beberapa pertanyaan antara lain sebagai berikut:
1.      Pengertian Mahkamah Konstitusi dan Karakteristik Peradilan MK.
2.      Kewenangan MK dalam Menyelesaikan Sengketa Pilkada.
3.      Bagaimana Proses penyelesaian Sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi ?











BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian MK dan Karakteristik Peradilan MK.
MK adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam lingkup wewenang yang dimiliki. Kedudukan MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sejajar dengan pelaku kekuasaan kehakiman lain, yaitu MA, serta sejajar pula dengan lembaga negara lain dari cabang kekuasaan yang berbeda sebagai konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi dan pemisahan atau pembagian kekuasaan. Lembaga-lembaga negara lainnya meliputi Presiden, MPR, DPR, DPD dan BPK. Setiap lembaga negara menjalankan penyelenggaraan negara sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat berdasarkan dan di bawah naungan konstitusi.([9])
Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, fungsi konstitusional yang dimiliki oleh MK adalah fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Namun fungsi tersebut belum bersifat spesifik yang berbeda dengan fungsi yang dijalankan oleh MA. Fungsi MK dapat ditelusuri dari latar belakang pembentukannya, yaitu untuk menegakkan supremasi konstitusi. Oleh karena itu ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan MK adalah konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak hanya sekadar sebagai sekumpulan norma dasar, melainkan juga dari sisi prinsip dan moral konstitusi, antara lain prinsip negara hukum dan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan hak konstitusional warga negara.([10])

Karakteristik Hukum Acara MK([11]) :
  Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapai sehari-hari oleh peradilan biasa
  Putusan yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial review)
  Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara semacam itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang pada umumnya menyangkut kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri inilah yang akan membedakan penerapan hukum acara di Mahkamah Konstitusi dengan hukum acara di pengadilan-pengadilan lainnya
  Praktek hukum acara yang merujuk pada undang-undang hukum acara yang lain timbul karena kebutuhan yang kadang-kadang dihadapkan kepada Mahkamah Konstitusi, maka ketentuan yang memberlakukan aturan Hukum Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan aturan dimaksud dalam praktek hukum acaranya
  Jika terjadi pertentangan dalam praktek hukum acara pidana, acara TUN dan acara perdata maka secara mutatis mutandis tidak akan diberlakukan
  Aturan ini meskipun tidak dimuat dalam UU Mahkamah Konstitusi, akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), baik sebelum maupun sesudah praktek yang merujuk undang-undang hukum acara lain itu digunakan dalam praktek.([12])

2.2 Kewenangan MK dalam Memutus Sengketa Pilkada
Tugas dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Sebagai Bagian Dari Kekuasaan Kehakiman. Sesuai ketentun Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersipat final untuk menguji Undang-undang  terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, selain itu  Pasal 24 ayat (2) menambahkan pula bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden  menurut Undang-Undang Dasar”. Kedudukan dan Susunan Mahkamah Konstitusi.([13])
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi mempunyai 9   (Sembilan) orang hakim konstitusi yang ditetapkan dengan keputusan presiden. Landasan Yuridis Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Perselisihan Pemilukada.([14])
Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diamanatkan oleh UUD 1945,  adalah menguji undang-undang (UU) terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD;  memutus pembubaran partai politik;  dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu,  Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.[15]
Dalam menjalankan kewenangan ini khususnya pengujian UU dan mengadili perselisihan hasil pemilu, Mahkamah Kontitusi  menegaskan diri tidak hanya bersandarkan legalitas formal Undang-undang dalam mengadili, akan tetapi juga memiliki tanggung jawab mewujudkan tujuan hukum itu sendiri, yakni keadilan, kepastian,  dan kemanfaatan. Keadilan Mahkamah Konstitusi yang ingin dicapai  tidak semata-mata sebuah keadilan prosedural, yakni keadilan sebagaimana sesuai rumusan bunyi Undang-undang,  tapi di sisi lain mengabaikan keadilan dan kepastian hukum. [16]

2.3 Proses Penyelesaian Sengketa Pilkada

Perselisihan hasil pemilihan umum adalah perselisihan antara peserta pemilihan dengan penyelenggara pemilihan umum. Menurut ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 106, perselisihan hasil pemilihan kepala daerah adalah sengketa keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dengan penyelenggara pemilihan kepala daerah (KPU/KIP), yang pelaksanaannya diatur sebagai berikut([17]) :
1.                Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
2.                Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
3.                Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota.
4.                  Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/ Mahkamah Agung.
5.                  Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat.
6.                  Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota.
7.                  Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final.([18])

Berkaitan dengan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada angka (1) ternyata kewenangan itu ada pada Mahkamah  Agung. Dalam pelaksanaanya Mahkamah Agung dapat mendelegasikan kewenangan itu kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupeten dan kota.  Setelah    ditetapkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua terhadap Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,  dalam Pasal 236C menyebutkan([19]) :

“Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan.”

Ketentuan ini menegaskan bahwa kewenangan Mahkamah Agung dalam memutus sengketa perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, telah dialihkan ke Mahkamah Konstitusi. Sebagai tindak lanjut dari pengalihan kewenangan tersebut, Mahkamah Konstitusi menetapkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.
Hal ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu.  Pasal 1 ayat (4)  menyebutkan([20]) :

“ Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.”

Permasalahan-permasalahan dalam perselisihan hasil pemilu dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok  besar,  yakni :  permasalahan yang bersifat kualitatif dan masalah kuantitatif. Masalah-masalah kualitatif karena banyak hal-hal yang seharusnya selesai sebelum diperkarakan di MK,. Misalkan pelanggaran pidana, administrasi, dan kesalahan penafsiran terhadap UU. Untuk masalah-masalah bersifat kuantitatif itu sehingga memunculkan sebuah putusan terkait penafsiran atas Pasal 205 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, dan putusan sela yang memerintahkan dilakukannya penghitungan suara dan penghitungan suara ulang di beberapa daerah. Sedangkan masalah yang menyangkut murni kesalahan penghitungan suara oleh KPU, MK menyatakan mengabulkan atau  menolak permohonan dengan menetapkan perolehan suara yang  benar. Hal ini dilakukan semata-mata karena MK tidak dapat membiarkan pelanggaran-pelanggaran itu terjadi sehingga terdapat pihak-pihak yang diuntungkan dengan ketidakadilan tersebut.[21]



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Dalam menjalankan kewenangan ini khususnya pengujian UU dan mengadili perselisihan hasil pemilu, Mahkamah Kontitusi  menegaskan diri tidak hanya bersandarkan legalitas formal Undang-undang dalam mengadili, akan tetapi juga memiliki tanggung jawab mewujudkan tujuan hukum itu sendiri, yakni keadilan, kepastian,  dan kemanfaatan. Keadilan Mahkamah Konstitusi yang ingin dicapai  tidak semata-mata sebuah keadilan prosedural, yakni keadilan sebagaimana sesuai rumusan bunyi Undang-undang,  tapi di sisi lain mengabaikan keadilan dan kepastian hukum.
2. Saat ini Mahkamah Konstitusi sedang menjadi sorotan masyarakat karena dinilai banyak melakukan kontroversi dalam memutus sengketa Pilkada, dan juga oleh pengamat hukum disebabkan kurangnya independensi dan transparansi dalam menyelesaikan sengketa Pilkada, diperparah lagi adanya dugaan bahwa Hakim Konstitusi terlibat suap dalam penyelesaian sengketa Pilkada. Jika tidak segera diperbaiki sistem dan SDM yang dimiliki oleh Pejabat yang terkait di MK, bukan tidak mungkin, ini menjadi awal keterpurukan MK itu sendiri.

3.2 Saran
Diharapkan kepada Mahasiswa agar banyak membaca atau mengikuti perkembangan yang sedang terjadi tentang MK, banyak kasus-kasus yang mungkin dapat kita telaah lebih dalam mengenai sengketa Pilkada.



DAFTAR PUSTAKA

M. Gaffar, Janedjri dkk, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Yamin , Muhammad, 1959Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, Jakarta: Yayasan Prapanca.

Soemantri , Sri, 1986, Hak Menguji Material di Indonesia,Bandung: Alumni,

Mahfud MD ,Moh, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: LP3ES.
Assiddiqie, Jimly,2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta .
Maruarar, Siahaan, 2011.Hukum Acara Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta:Sinar Grafika.





[1] Janedjri M. Gaffar (et.al) dkk, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010, hlm 23.
[2] Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), hal. 341 – 342.
[3] Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 25.
[4] Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2007), hal. 96.
[5] Lihat TAP MPR Nomor VI/MPR/1973 dan Tap MPR Nomor III/MPR/1978
[6] Lihat Pasal 10, UU NO 24 Tahun 2003.
[7] Janedjri M. Gaffar, Op.Cit, hal 6.
[8] Pendapat Penulis.
[9] Janedjri M. Gaffar , Op.Cit, hlm 9-10
[10] Ibid.                                                     
[11] Disampaikan pada Kuliah Umum , Universitas Narotama Surabaya.
[12] Ibid.
[13] Janedjri M. Gaffar , Op.Cit, hlm 29.
[14]Jimly Assiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta Tahun 2007. Hal 237.
[15] Lihat UUD 1945.
[16] Jimly Assiddiqie, Op.Cit, hal 240.
[17] Lihat Pasal 106 , UU No 32 tahun 2004
[18] Ibid.
[19] Lihat Pasal 236C, UU No 12 Tahun 2008.
[20]  Lihat Pasal 1 Ayat (4),  Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007
[21] Maruarar Siahaan,.Hukum Acara Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta:Sinar Grafika. 2011, hal 211.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar