Translate

Jumat, 21 Desember 2012

Pentingnya Organisasi Internasional(Regional) dalam Penyelesaian Sengketa Internasional



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pada dasarnya, peran utama hukum di segala level masyarakat adalah untuk mengatasi sengketa, baik berupa upaya antisipasi atas sengketa tersebut maupun berupa upaya penyelesaiannya. Begitu pula halnya dengan Hukum Internasional yang memang pada akar sejarahnya, titik perannya banyak terfokus pada pengatasan sengketa internasional. Disiniliah diperlukannya subjek Hukum Internasional sebagai pendukung para Negara untuk bisa menyelesaikan sengketa Internasional.
Sengketa Internasional tidak hanya mencakup persengketaan antar negara, tapi juga mencakup segala kasus lain yang berada dalam lingkup pengaturan internasional, seperti sengketa antara satu pihak negara tertentu dengan individu misalkan, atau antara satu pihak negara dengan suatu badan korporasi atau badan non-negara. Contoh gamblangnya adalah persengketaan-persengketaan penanaman modal antara negara penerima modal dan investor swasta asing, yang termasuk dalam yurisdiksi Hukum Internasional dan penyelesaiannya diatur menurut Konvensi 18 Maret 1965.
Pertama-tama, seperti fungsi suatu negara modern dengan hak, kewajiban, dan kekuasaan yang dimiliki berbagai alat perlengkapannya, itu semuanya diatur oleh hokum nasional, yang dinamakan Hukum Tata Negara ( State Constitutional Law ) sehingga dengan demikian organisasi internasional yang ada, sama halnya dengan alat perlengkapan Negara modern yang diatur oleh semacam Hukum Tata Negara. Dengan demikian maksud Starke itu ialah bahwa lembaga internasional ini mempunyai beberapa persamaan dengan Negara modern,meskipun tidak selalu mengikuti garis yang sama dengan konstitusi Negara modern.[1]
Ada beberapa analogi, misalnya ada beberapa organ dengan fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif, dimana organ lembaga tersebut melaksanakan fungsinya masing-masing. Pada umumnya organisasi internasional ini didirikan berdasarkan perjanjian internasional yang diadakan oleh Negara  Dalam Hukum Internasional Positif, tidak ada satu pasal pun yang memberikan batasan tentang apa yang dimaksud dengan organisasi internasional itu. Sebagaimana halnya dalam semua cabang ilmu hokum, untuk memperoleh definisi yang tepat yang dapat diterima secara umum.[2]





1.2 Rumusan Masalah
Dari sedikit gambaran diatas, tentu akan memunculkan beberapa pertanyaan antara lain sebagai berikut:
1.                  Bagaimana perkembangan Hukum Internasional  berdasarkan sejarah dan teori-teori, subjek dan sumber pendukung ?
2.                  Peran aktif Asean dalam menyelesaikan sengketa internasional khususnya Regional Asia Tenggara.`
3.                  Bagaimana dan apa saja proses penyelesaian sengketa Internasional?



















BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Sejarah Perkembangan Hukum Internasional dan Teori-teori Pendukung
Hukum dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hokum untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya Negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain[3] dan yang meliputi juga :
a.       Kaidah-kaidah hokum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan hubungan mereka dengan Negara-negara dan individu-individu; dan
b.      Kaidah-kaidah hokum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional.
Definisi ini melampaui batasan tradisional hukum internasional sebagai suatu sistem yang semata-mata terdiri dari kaidah-kaidah yang mengatur`hubungan-hubungan antara-antara Negara-negara saja. Definisi tradisional mengenai pokok permasalahan ini, yaitu dengan pembatasan pada perilaku Negara-negara inter se, dapat dijumpai dalam sebagian besar karya standar hukum internasional yang lebih tua usianya, tetapi mengingat perkembangan-perkembangan yang terjadi selama empat decade yang lampau, definisi tersebut tidak dapat bertahan sebagai suatu deskripsi komprehensif mengenai semua kaidah yang saat ini diakui merupakan bagian dari hokum internasional.[4]   
General Principles constitute a crucial element of international law, without which its effective functioning would be jeopardized. Without general principles, also progress and responsiveness of international law to modern challenges would be considerably constrained”[5]
Salah seorang dari penulis awal hokum internasional Emmerich de Vattel (1714-1767)[6] mengatakan bahwa hokum internasional adalah ilmu pengetahuan tentang hak-hak yang terdapat diantara bangsa-bangsa atau Negara-negara dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan hak-hak tersebut. ( The Law of Nations is the science of the rights which exist between Nations or States, and of the obligations corresponding to these rights.)
Hackworth[7] mengatakan bahwa hokum internasional adalah sekumpulan aturan-aturan yang mengatur hubungan antara Negara-negara ( International Law consist of a body of rules governing the relations between states.) Penulis lainya Jessup mengatakan bahwa hokum Intenasional atau hokum bangsa-bangsa adalah istilah yang telah dipergunakan selama tiga ratus tahun untuk mencatat penyanderaan tertentu dari tingkah laku manusia yang dikelompokkan di dalam apa yang disebut negara[8]
International law is sometimes called public international law to distinguish it from private international law, though, as already explained, even this can lead to misunderstandings”[9]
“hukum internasional terkadang disebut hukum internasional public untuk membedakan dari hukum internasional privat, meskipun sudah publikasikan namun ini sering terjadi kesalahpahaman dalam menentukannya”.
Jadi menurut saya bahwa hukum internasional ini masinh sering diperdebatkan apakah masuk ke hukum privat ataupun public meskipun hal ini sering dibicarakan dalam forum-forum internasional bahwa hukum internasional adalah hukum public yang mengatur hukum umum yang berkembang dalam dunia internasional.
Brierly[10] mengatakan bahwa hukum internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan aturan-aturan dan asas-asas untuk berbuat sesuatu yang mengikat Negara-negara beradab di dalam hubungan mereka satu sama lainnya ( The Law of Nations or International Law may be defined as the body of rules and principles of actions which are binding upon civilized states in their relations with one another.)
International Law is the universal system of rules and principles concerning the relations between sovereign states, and relations between states and internasional organizations such as the United Nations”[11]  
“Hukum Internasional adalah pengaturan sistem universal dan berprinsip yang mengarah pada hubungan antara negara-negara, dan hubungan antara negara dan organisasi internasional seperto PBB”.
Jadi menurut pendapat saya bahwa hukum internasional itu dibuat untuk pengaturan bagaimana untuk berhubungan dengan negara-negara maupun dengan organisasi internasional , karena sistemnya universal membuat hukum internasional dijadikan acuan untuk melakukan hubungan internasional.                                     
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja S.H., LLM[12] memberikan definisi hokum internasional sebagai berikut : Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas Negara antara:                                                                                                                                                       1. Negara dengan Negara;                                                                                                2. Negara dengan subjek hokum lain bukan Negara                                      3. Subjek hokum bukan Negara satu sama lain.         
L. Oppenheim[13] (juga penulis hokum internasional tertua) memberikan definisi sebagai berikut (1952: 4) : “Law of Nations or international law (droit de gens, volkenrechts) is the name for the body of customary and conventional rules which are considered legally binding civilized states In their intercourse with each other” (Hukum bangsa-bangsa atau hokum internasional adalah sebutan untuk sekumpulan aturan-aturan kebiasaan atau konvensi yang dianggap mengikat secara hokum Negara-negara yang beradab di dalam hubungan mereka satu sama lain).
R.C Hingorani[14] ( termasuk penulis hokum internasional abad XX ), memberikan definisi sebagai berikut (1984 : 9) : “International Law may be defined as a body of rules which nations states consider as legally binding upon them in their relations interse” (Hukum Internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan aturan-aturan yang dianggap mengikat Negara bangsa-bangsa di dalam hubungan mereka satu sama lain).
Definisi yang mendekati berbagai pendapat sebagian besar penulis hokum internasional dapatlah dikemukakan sebagai berikut: Hukum internasional adalah sekumpulan asas-asas, kebiasaan dan aturan-aturan yang dipatuhi sebagai kewajiban yang mengikat oleh Negara-negara berdaulat dan badan-badan internasional di dalam hubungan mereka satu sama lain dalam pergaulan masyarakat bangsa-bangsa yang beradab[15]   
 “A legal system is a system of law or laws, or a system serving the law. It doesn’t have to be the same thing as law. A legal system can contain law and other elements that are not but that serve law in the system”[16]
“Sistem yang sah menurut hukum adalah system dari hukum atau banyak hukum, or sebuah system yang menjalankan hukum. Itu tidak sama halnya dengan hukum. Sistem hukum yang sah bisa terkontaminasi dengan hukum atau element lain artinya menjalankan hukum dengan system yang baik.
Jadi menurut saya bahwa system hukum yang sah adalah system hukum yang saling berkesinambungan dan saling mengisi antara system dengan hukum jika hal itu terjadi maka sebuah negara atau subjek hukum internasional dapat melakukan hubungan yang sehat satu sama lain.
Perkembangan-perkembangan yang penting ini adalah; (i) pembentukan sejumlah besar lembaga-lembaga atau organisasi internasional permanen seperti, misalnya Perserikatan Bangsa-bangsa dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang dipandangmemiliki personalitas hokum internasional dan mampu menjalinhubungan satu sama lain dan dengan Negara-negara ; dan (ii) gerakan yang terjadi sekarang ini (yang disponsori oleh Perserikatan Bangsa-bangsa dan Council of Europe) guna melindungi hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan asasi individu-individu[17], pembentukan kaidah-kaidah baru untuk menghukum orang-orang yang melakukan kejahatan internasional Genoside atau pemusnahan ras[18], dan pembebanan kewajiban terhadap individu-individu berdasarkan keputusan bersejarah tahun 1946 yang dekeluarkan oleh Pengadilan Militer Internasional.
Kaidah-kaidah Hukum Internasional umum dan Regional; Hukum Komunitas, diakui adanya perbedaan antara kaidah-kaidah hokum internasional umum (general) dan regional, yaitu antara kaidah-kaidah yang dikatakan secara praktis, berlaku universal di satu pihak dan di lain pihak kaidah-kaidah yang berkembang dalam suati wilayah dunia tertentu di antara Negara-negara yang ada wilayah tersebut, yang tidak merupakan kaidah dengan karakter universal. Ilustrasi yang sangat tepat untuk kaidah-kaidah regional tersebut adalah kaidah khusus mengenai suaka diplomatic (diplomatic asylum). Apa yang dinamakan “Hukum Internasional Amerika Latin” dan sifat hakikat kaidah-kaidah regional ini telah dibahas oleh International Court of Justice dalam Colombian Peruvian Asylum Case (1950)[19]; menurut keputusan perkara ini :                                        
a.       Kaidah-kaidah regional tidak perlu tunduk kepada kaidah hukum internasional umum tetapi mungkin saja dalam pengertian “saling mengisi” atau “saling berkaitan”; dan
b.      Suatu pengadilan internasional harus, sepanjang menyangkut Negara-negara dalam wilayah khusus terkait, memberlakukan kaidah-kaidah regional tersebut sepanjang benar-benar terbukti memenuhi syarat dari pengadilan.           
“According to the policy-oriented jurisprudence school, therefore, international law is nothing other than international communication, under the first argument I made it on this part the prevalence of legal language in international communication indicates that nations are talking about, and believe they are talking about,’law’ in the positions they take vis-vis each other”[20].

Menurut polisi yang berorientasi pada sekolah jurisprudensi, oleh karena itu bahwa hukum internasional tidak lain dari komunikasi internasional, dibawah pendapat pertama dibuat dibagian ini ada indikasi meratanya bahasa yang sah dalam komunikasi internasional bahwa apa yang dibicarakan negara-negara dan percayalah bahwa merka berbicara tentang hukum dalam posisi mereka masing-masing”

Jadi menurut saya bahwa terbentuknya hukum internasional karena adanya komunikasi yang berkesinambungan antara negara-negara didunia untuk dibuat pengaturan agar dalam proses hubungan internasional adanya suatu kepastian agar terjalin komunikasi yang lancer dalam dunia internasional.
Tujuan utama hukum internasional lebih mengarah kepada upaya menciptakan ketertiban daripada sekedar menciptakan system hubungan-hubungan internasional yang adil, akan tetapi dalam perkembangan-perkembangan selanjutnya (sebagai contoh, dalam kaidah-kaidah tanggung jawab Negara mengenai penyelewengan keadilan serta praktek-praktek mengenai arbitrase internasional) telah terbukti adanya suatu upaya untuk menjamin, secara objektif, adanya keadilan diantara Negara-negara. Lagipula, selain mengingat bahwa Negara-negara memperoleh perlakuan adil, hukum bangsa-bangsa modern bertujuan untuk menjamin keadilan bagi umat manusia. Selanjutnya, perlu sekali diingat bahwa kata “justice” (keadilan) dipakai pada nama Permanent Court of International Justice dan penggantinya, International Court of Justice, keduanya itu merupakan pengadilan-pengadilan yudisial yang didirikan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa antara Negara-negara dan memberikan opini nasihat menurut hukum internasional[21] bahwa keadilan merupakan tujuan utama hukum bangsa-bangsa menekankan pertaliannya pada hukum negara[22].
A.    Perkembangan Hukum Internasional
Hukum Internasional adalah lapangan hukum yang baru. Walaupun demikian dasar-dasar proses hukum internasional telah dikenal orang sejak lama. Berkembangnya system Negara kota di Yunani serta peranan hukum romawi di Eropa pada abad keenam belas, telah memberikan dorongan yang penting terhadap perkembangan hukum internasional.[23]
Konsepsi ahli-ahl pikir Yunani yang digabungkan dengan perkembangan hukum romawi, keduanya memberikan sumbangan yang penting bagi berkembangnya hukum internasional. Kemudian terlihat bahwa penulis-penulis awal dari hukum internasional memperkembangkan karyanya dari konsepsi hukum alam.[24]
Pada masa jaya kerajaan Roma yang menguasai dunia barat hukum romawi lah yang diperlakukan, yang asasnya didasarkan kepada Kekuasaan Meja Dua Belas, yang merupakan suatu konsep yurisprudensi prinitif dan hanya cocok untuk Negara kecil yang terpencil. Namun kemudian dalam kerajaan romawi berkembang konsep tertentu yang mempunyai pengaruh yang menentukan bagi perkembangan hukum internasional selanjutnya. Perkembangan tersebut bersifat tidak langsung dan melalui hukum romawi itu sendiri.[25]
Sewaktu Romawi berkembang menjadi pusat kerajaan, ternyatalah bahwa hukum romawi lama yang dipergunakan orang-orang romawi untuk keperluanmereka dan tidak dapat dipergunakan untuk orang-orang bukan romawi, walupun mereka tunduk kepada hukum romawi. Teranglah bahwa orang-orang ini harus mempunyai hukum yang dapat diperlakukan kepada mereka. Ditunjukkan pejabat romawi yang disebut Praeter Peregrinus, yang bertindak sebagai pejabat resmi untuk orang asing.[26]
Sementara itu hukum yang didasarkan pada konsensus dari hukum-hukum yang berlaku dalam berbagai bagian dari kerajaan romawi, dikembangkan untuk diberlakukan bagi orang asing. Hukum ini dikenal Jus Gentium (hukum orang banyak). Jus        Gentium adalah sekumpulan peraturan yang mengatur perbuatan dan transaksi dari individu, dan bukanlah hukum yang mengatur hubungan antar Negara, sehingga jus gentium adalah hukum dalam negeri romawi . Jus Gentium ini kemudian berangsur-angsur diadopsi ke dalam Jus civile yang menjadi basis dari hukum dalam negeri orang-orang romawi dan orang asing.[27]
Penulis-penulis hukum romawi kemudian mulai membedakan kedua jenis hukum ini, jus civile sebagai hukum yang diciptakan masing-masing Negara untuk mereka sendiri, sedangkan jus gentium adalah sekumpulan aturan yang diciptakan untuk orang-orang dan dipatuhi semua negara-negara, sehingga merupakan elemen-elemen umum dari suatu system hukum negara-negara beradab. Dalam perkembangan selanjutnya, didalam abad ke-7, istilah jus gentium mempunyai arti yang khusus dan diartikan sebagai asas-asas yang diperkirakan berlaku dalam hubungan antara negara-negara merdeka dan diterjemahkan menjadi Droit de Gens (Hukum bangsa-bangsa).[28]
B.     Teori-teori pendukung Hukum Internasional
1.      Teori Hukum alam
Teori Hukum alam (natural law) merupakan teori tertua. Ajaran ini memilki pengaruh yang sangat besar atas hukum internasional sejak pertumbuhannya. Ajaran ini semula memiliki cirri keagamaan (semi teologis) yang kuat yang kemudian disekularisasi hubungannya dengan keagamaan itu oleh sarjana berkebangsaan Belanda Hugo Grotius.[29]
Pada bentuknya yang telah disekularisasi , hukum alam diartikan sebagai”hukum ideal yang didasarkan atas sifat hakikat manusia sebagai makhluk yang berfikir, yaitu sebagai serangkaian kaidah yang diturunkan oleh alam kepada akal budi manusia”[30] Menurut para penganut ajaran hukum alam, hukum internasional itu mengikat karena:
(a)    Hukum intenasional itu tidak lain daripada “hukum alam” yang diterapkan pada kehidupan bangsa-bangsa; atau dengan kata lain,
(b)   Negara itu terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam hubungan antara mereka satu sama lain, karena hukum internasional itu merupakan bagian dari hukum yang tertinggi yaitu hukum alam.[31]
Pada perkembangan selanjutnya konsep hukum alam ini pada abad ke XVIII disempurnakan lagi antara lain Emmerich Vattel (1714-1767) seorang ahli hukum dan diplomat berkebangsaan Swiss yang menulis buku dengan judul Droit de Gens, yang substansinya antara lain mengusulkan pemakaian istilah “hukum bangsa-bangsa” yang mana hukum tersebut berasal dari penerapan hukum alam terhadap bangsa-bangsa.[32] Terhadap teori hukum alam mengenai daya mengikat hukum internasional ini dapat diajukan keberatan-keberatan, yaitu karena masing-masing teoritikus mempergunakan suatu konsepsi yang konkrit sebagai suatu kiasan, seperti nalar, keadilan, kemanfaatan, kepentingan masyarakat internasional, kebutuhan atau perintah-perintah agama. Hal ini banyak menimbulkan kebingungan, karena penafsiran hukum alam sangat berlainan dan sangat bergantung pada pendapat subjektif dari para teoritisi yang bersangkutan.[33]
Teori hukum alam yang dominan pada abad ke 17 dan 18, mengalami kejenuhan pada abad ke 19, namun pada abad ke 20 teori hukum ala mini bangkit kembali sebagai latar depan filsafat social dan hukum. Deklarasi hak-hak asasi manusia yang dihasilkan siding majelis PBB pada tahun 1948; Draft Declaration on the Rights and Duties of States tahun 1949 yang dipersiapkan oleh Komisi Hukum Internasional PBB; Covenant on Ekonomic, Social and Cultural Rights; dan Covenant on Civil and Political Rights yang dihasilkan oleh sidang Majelis Umum PBB tanggal 16 Desember 1966 (mulai berlaku tahun 1976), pembentukannya dilandasi oleh filsafat hukum alam, hukum alam juga dikemukakan untuk membenarkan penghukuman pelaku-pelaku tindak pidana/kejahatan perang selama perang dunia II yang dilakukan oleh tentara Jepang dan Jerman. [34]
2.      Teori Positivisme
Teori yang dikenal dengan sebutan “positivisme” mendapay dukungan luas, dan telah dianut oleh sejumlah penulis terkemuka. Aliran ini mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional atas kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional. Menurut penganut positivis,” pada dasarnya negaralah yang merupakan sumber segala hukum, dan hukum internasional itu mengikat karna negara atas kemauan sendiri mau tunduk pada hukum internasional “ . Pengertian kehendak negara (state will) ini berasal dari ahli filsafat Jerman yang terkenal yaitu Hegel.
Adapun pemuka-pemuka aliran kehendak ini adalah :
(a)    George Jellinek yang terkenal dengan “selbst-limitation theorie” (pembatasan secara sukarela)
(b)   Zorn, berpendapat bahwa hukum internasional tidak lain adalah “hukum tata negara yang mengatur hubungan luar suatu negara (auszeres staatrecht)”. Menurutnya hukum internasional bukan sesuatu yang lebih tinggi yang mempunyai kekuatan mengikat di luar kemauan negara.[35]
Teori kehendak/kemauaan negara ini juga memiliki kelemahan-kelemahan, yaitu :
(a)    Mereka tidak dapat menerangkan dengan memuaskan bagaimana caranya hukum internasional yang tergantung dari kehendak negara itu dapat mengikat negara-negara.
(b)   Bagaimana apabila suatu negara secara sepihak membatalkab niatnya untuk mau terikat pada hukum tersebut.
(c)    Teori ini tidak dapat menjawab pertanyaan, mengapa suatu negara yang baru merdeka dan berdiri di tengah-tengah masyarakat internasional sudah terikat oleh hukum internasional, terlepas dari mau atau tidaknya tunduk pada hukum tersebut ?
(d)   Teori ini juga tidak dapat menerangkan adanya hukum kebiasaan yang mengikat negara.[36]
Teori-teori yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kehendak negara (dinamakan pula teori voluntaris) merupakan pencerminan dari teori kedaulatan dan aliran positivism yang menguasai alam fikiran dunia ilmu pengetahuan di benua eropa, terutama Jerman pada bagian kedua abad ke-19. Teori-teori yang mendasarkan kekuatan mengikat/ berlakunya hukum internasional atas kehendak/persetujuan negara, pada dasarnya memandang hukum internasional itu sebagai hukum perjanjian antar negara-negara.
Teori positif lain yang mengupas daya mengikat hukum internasional adalah aliran objektivitas. Menurut aliran ini teori yang menerangkan hakikat hukum (kekuatan dasar mengikatnya hukum) berdasarkan kehendak negara, tidak dapat diterima. Sebab dapat saja subjek hukum itu melepaskan dirinya dari kekuatan mengikatnya dengan cara menarik kembali persetujuannya untuk tunduk pada hukum tersebut. Menurut aliran objektivitas, persetujua negara untuk tunduk pada hukum internasional menghendaki adanya suatu hukum atau norma hukum sebagai seseuatu yang telah ada terlebih dahulu, dan berlakunya terlepas dari kehendak negara. Salah satu aliran yang masuk dalam aliran objektif adalah mazhab Vienna (Wina) penganutnya adalah Hans Kelsen.[37]
Menurut mazhab ini “bukan kehendak negara, melainkan suatu norma hukumlah yamg merupakan dasar terakhir kekuatan mengikat hukum internasional”. Dikatakan bahwa”kekuatan mengikat suatu kaidah hukum internasional didasarkan pada suatu kaidah yang lebih tinggi lagi dan seterusnya, hingga sampailah pada puncak piramida kaidah hukum dimana terdapat kaidah dasar (grundnorm) yang tidak dapat lagi dikembalikkan pada suatu kaidah yang lebih tinggi, melainkan harus diterima adanya suatu hipotesa asal (ursprunghypothese) yang tidak dapat diterangkan secara hukum”. Adapun yang dianggap sebagai kaidah dasar adalah asas “pacta sunt servanda” sebagai kaidah dasar hukum internasional, khususnya hukum perjanjian internasional.
3.      Teori Kenyataan Sosial
Teori lain yang berusaha menerangkan kekuatan mengikatnya hukum internasional terhadap negara-negara adalah teori yang menghubungkannya dengan “kenyataan hidup manusia” yang disebut mazhab Perancis. Pemuka Mazhab ini antara lain Fauchile, Scelle dan Duguit yang mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional (juga hukum pada umumnya) pada factor biologis, social, dan sejarah kehidupan manusia yang mereka namakan fakta kemasyarakatan (Fait Social).
Menurut pendapat mazhab ini persoalanya dapat dikembalikan kepada sifat alami manusia sebagai makhluk social, hasratnya untuk bergabung dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. Kebutuhan dan naluri social manusia sebagai orang perorangan, menurut mereka juga dimiliki bangsa-bangsa. Dengan demikian dasar kekuatan mengikat hukum internasional terdapat dalam kenyataan social, bahwa hukum itu mutlak perlu untuk dapat terpenuhinya kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat.[38]
2.2  Subjek dan Sumber Hukum Internasional
Ketentuan hukum internasional terutama berkenaan dengan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan kepentingan negara-negara. Biasanya ketentuan-ketentuan hukum internasional itu merupakan ketentuan yang harus ditaati negara-negara, dan dalam hal yang sama traktat-traktat dapat membebankan kewajiban-kewajiban yang disetujui sendiri untuk dilaksanakan oleh negara-negara penandatangan. Akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa tidak ada badan atau person-person, baik orang maupun badan hukum lain, yang dapat tercakup dalam penguasaan atau kelimpahan hukum internasional.[39]
“A Subject of International law (also called an international legal person) is a body or entity recognized or accepted as being capable or exercising international right and duties”[40].
“Subjek hukum Internasional yang biasa disebut badan hukum internasional adalah organ atau sesuatu yang sungguh-sungguh ada dan diakui atau diterima sebagai organ cakap atau untuk melatih hak dan kewajiban internasional”
Jadi menurut saya bahwa subjek hukum internasional merupakan organ atau badan hukum yang menjadi subjek atau badan dalam pengaturan hukum internasional bahwa organ tersebut mempunyai hak dan kewajiban dalam dunia internasional dan dijadikan fasilitator dalam proses berkesinambungan kepentingan subjek hukum internasional.
A.    Jenis-jenis Subjek Hukum Internasional
Berdasarkan pengertian diatas, maka yang menjadi subjek hukum internasional adalah:
(1)   Negara;
(2)   Tahta Suci Vatican;
(3)   Palang Merah Internasional;
(4)   Organisasi Internatsional;
(5)   Pihak berperang (belligerent);
(6)   Organisasi Pembebasan/Bangsa-bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan;
(7)   Individu;
(8)   Perusahaan yang merupakan badan hukum internasional Otorita;[41]
1.      Negara
Secara Tradisional serta menurut teori-teori yang berlaku hukum internasional memandangf negara sebagai subjek utama dari hukum internasional. Dengan demikian negaralah merupakan pengembang hak dan kewajiban internasional, mempunyai hak untuk mengikatakan diri dalam suatu perjanjian internasional, mengajukan tuntutan-tuntutan apabila terjadi suatu pelanggaran terhadap suatu perjanjian internasionalserta menikmati hak-hak khusus (previlige) dan kekebalan diplomatic.
Kedudukan negara sebagai subjek utama hukum internasional di gambarkan friedman sebagai berikut:[42]
Seperti dikemukakan oleh Friedman diatas yang juga mengacu kepada pandangan Jessup, bahwa dunia sekarang ini diorganisir atas dasar kehadiran negara-negara, dan perobahan-perobahan penting hanya berlangsungmelalui tindakan negara, baik positif maupun negatif. Negara adalah pemegang kekuasaan yang syah atas rakyat dan wilayahnya. Hanya melalui kekuasaan negaralah dapat ditetapkan hak-hak prerogatif, batasan-batasan yurisdiksi, pertanggung-jawaban terhadap perbuatan-perbuatan pejabat, dan masalh-masalah co-existensi.
Setelah kita membahas tentang persoalan mengenai siapa yang menjadi subjek utama hukum internasional, selanjutnya kita akan membahas tentang negara sebagai subjuk hukum internasional secara umum. Dalam hal ini yang menjadi persoalan dan perhatian hukum internasional adalah syarat-syarat apa yang harus dimiliki oleh suatu masyarakat politik sehingga dapat disebut sebagai”negara” dan diakui oleh masyarakat internasional menjadi subjek hukum internasional.
Menurut Oppenheim-Lauterpacht (1961 :118) Unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu masyarakat politik agar ia dapat dianggap sebagai negara, yaitu :
(a)    Harus ada rakyat                                                                                                    Yang dimaksud dengan rakyat adalah kumpulan manusia dari kedua jenis kelamin yang hidup bersama dalam suatu kelompok, walaupun mereka mungkin berasal dari keturunan yang berlainan, menganut kepercayaan yang berlainan, ataupun memiliki warna kulit yang berlainan.
(b)   Harus ada daerah (territorial) dimana rakyat itu menetap.                                Rakyat yang hidup berkeliaran dari suatu daerah ke daerah lainnya ( a wandering people) bukanlah negara, tetapi tidaklah penting apakah wilayah yang didiami secara tetap itu besar atau kecil; dapat saja ia hanya terdiri atas suatu kota saja, sebagaimana halnya dengan suatu negara kota.
(c)    Harus ada pemerintah, yaitu seorangatau beberapa orang yang mewakili rakyat yang diangkat/ditetapkan sesuai dengan konstitusi dan menyelenggarakan pemerintahan menurut hukum yang berlaku di negaranya. Suatu masyarakat yang anarkis bukanlah negara.
(d)   Pemerintah itu harus berdaulat, adapun yang dimaksud kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi, yang merdeka dari pengaruh suatu kekuasaan lainya di muka bumi. Kedaulatan dalam arti sempit berarti kemerdekaan sepenuhnya, baik ke dalam maupun keluar batas-batas negara.
2.      Tahkta Suci Vatikan
Berdasarkan Perjanjian Internasional Lateran tahun 1969, diakuilah kedaulatam dan yurisdiksi Paus, sebagai kepala dari agama Roma Katolik atas kota Vatikan.[43] Sebagai negara merdeka dan berdaulat Vatikan mempunyai perwakilan-perwakilan diplomatic di sejumlah negara-negara serta dari pengakuan yang diberikan oleh beberapa negara, Vatikan telah menambah jumlah jumlah anggota masyarakat bangsa-bangsa. Vatikan merupakan negara dengan wilayah dan penduduk yang kecil serta merupakan subjek hukum internasional yang unik dan senantiasa netral dan damai.
3.      Palang Merah Internasional
Palang Merah Internasional yang berkedudukan di Jenewa (Austria) memiliki tempat tersendiri (unik) dalam sejarah hukum Internasional. Bahkan dapat dikatakan bahwa Palang Merah Internasional sebagai subjek hukum (arti terbatas) lahir karena sejarah[44] walaupun pada akhirnya badan ini keberadaanya dan statusnya dikukuhkan dengan suatu perjanjian internasional (konvensi) yang sekarang adalah Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan korban perang ,      berdasarkan kepada konvensi-konvensi Jenewa 1949 ini Palang Merah Internasional memiliki kedudukan sebagai subjek hukum internasional, sekalipun dengan ruang lingkup terbatas.

4.      Organisasi Internasional
Berdasarkan aspek historis keberadaan organisasi internasional sudah timbul sejak beberapa negara mengadakan hubungan hubungan internasional yang secara umum melibatkan banyak negara, dimana masing-masing negara itu memiliki kepantingan, Dalam membentuk organisasi internasional, negara-negara melalui organisasi itu akan berusaha mencapai tujuan yang menjadi kepentingan bersama, yang mana kepentingan ini menyangkut bidang kehidupan internasional yang luas.[45]
Organisasi internasional dalam arti luas pada hakikatnya meliputi tidak saja organisasi internasional public tetapi juga organisasi internasional privat. Organisasi semacam itu meliputi juga organisasi regional dan organisasi sub-regional.[46]
a.       Organisasi internasional public disebut juga sebagai organisasi antar-pemerintah, tetapi karena keanggotannya adalah negara maka organisasi tersebut lazim disebut hanya organisasi internasional.
b.      Organisasi Internasional Privat merupakan organisasi yang dibentuk atas dasar non-pemerintah, karena itu sering disebut Organisasi non-pemerintah atau yang biasa kita sebut LSM.
c.       Organisasi Regional atau sub-regional , pembentukan organisasi regional maupun sub regional anggotanya didasarkan atas prinsip kedekatan wilayah seperti South Pacific Forum, South Asian Regional Cooperation, Gulf Cooperation Council, Union Arab Maghreb, ASEAN dll.
d.      Organisasi yang bersifat Universal, lebih memberikan kesempatankepada anggotanya seluas mungkin tidak peduli apakah negara itu besar atau kecil, kuat lemah, karena itu prinsip persamaan kedaulatan merupakan factor penting dengan menggukan hak suara yang sama. PBB termasuk badan-badan khusus yang dapat digolongkan dalam organisasi ini. Prof. Henry G. Schremer[47]) telah memberikan 3 ciri umum bagi organisasi jenis ini :
                                                                       i.      Universality, suatu organisasi biasanya bergerak dengan kegiatan yang luas. Organisasi dengan cirri ini seharusnya tidak memberikan prasyarat yang berat bagi keanggotannya.
                                                                     ii.      Ultimate Necessity, menyangkut berbagai aspek kehidupan internasional yang sangat luas yang diperlukan oleh semua negara
                                                                   iii.      Heterogenity, karena keanggotannya yang luas maka akan mempunyai perbedaan pandangan, baik di bidang politik maupun tingkat perekonomian serta budaya yang berbeda-beda.
Dari beberapa pendapat diatas, kita masih belum mendapatkan batasan yang tegas mengenai organisasi internasional. Oleh karena itu sebagai pegangan, ada baiknya kita kemukakan pula pendapat sarjana lain, yaitu Boer Mauna yang dalam tulisannya Hukum Organisasi Internasional , menegaskan, bahwa[48]
“Organisasi internasional adalah suatu perhimpunan negara-negara yang merdeka dan berdaulat yang bertujuan untuk mencapai kepentingan bersama melalui organ dari perhimpunan itu sendiri”
Bila ditinjau dari sudut pertumbuhannya , organisasi internasional itu tumbuh dan berkembang untuk pertama kalinya disebabkan oleh dua hal penting, Pertama, karena pesatnya perkembangan teknologi dan komunikasi, sehingga timbul pula keinginan mengatur kegunaan secara kolektif . Kedua, karena meluasnya hubungan internasional di seluruh permukaan planet bumi ini, sehingga menimbulkan berbagai kesulitan dari kekomplekan hubungan tersebut.[49]
Kepribadian internasional yang dimiliki oleh suatu organisasi internasional akan membawa konsekwensi berupa wewenang , hak dan kewajiban, yaitu :
(1)   Wewenang untuk membuat perjanjian.
(2)   Memiliki hak-hak istimewa dan immunitas di negara-negara anggotanya;
(3)   Wewenang mengajukan perkara-perkara ke pengadilan (nasional/internasional)
(4)   Memikul tanggung jawab atas tindakan-tindakan yang illegal. [50]
5.      Pihak-pihak berperang (Belligerent)
Eksistensi pihak berperang dalam suatu wilayah tidak muncul tiba-tiba melainkan didahului oleh pemberontakan yang terjadi pada suatu bagian wilayah negara.
Mengenai syarat-syarat yang mendahului adanya pengakuan terhadap pihak berperang ini, Hurwitz (1951 : 64) dalam “Diplomatic Year Book” mengatakan bahwa pasukan-pasukan pemberontak sendiri harus memenuhi syarat yaitu :
(a)    Harus diorganisir secara teratur dibawah pimpinan yang bertanggung jawab
(b)   Harus memakai tanda-tanda yang jelas dapat dilihat;
(c)    Harus membawa senjata secara terang-terangan , dan
(d)   Harus mengindahkan cara peperangan yang lazim.
6.      Organisasi Pembebasan/ Bangsa-bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan.
Pada akhir-akhir ini timbul perkembangan baru yang agak mirip dengan pengakuan status pihak yang bersengketa dalam perang, memiliki cirri lain yang khas, yakni pengakuan terhadap gerakan pembebasan seperti Gerakan Pembebasan Palestina. Pengakuan terhadap gerakan pembebasan ini merupakan penjelmaan suatu konsepsi baru yang terutama dianut negara-negara dunia ketiga yang mendasarkan pada pengertian bahwa bangsa-bangsa dianggap mempunyai beberapa hak asasi , seperti (a) hak menentukan nasib sendiri; (b) hak secara bebas memilih system ekonomi, politik, dan social sendiri, dan (c) hak menguasai sumber alam dari wilayah yang didudukinya.[51]
7.      Individu
Individu biasanya tersangkut secara tidak langsung dalam hukum internasional. Hubungan individu dengan hukum internasional biasanya dilakukan melalui negara dimana individu tersebut manjadi warga negara.tetapi walaupun pada umumnya negaralah yang dipandang sebagai pengemban hak dan kewajiban dalam hukum internasional, kadang-kadang individu pun dapat dipandang sebagai subjek hukum internasional dalam berbagai hal.[52]
8.      Perusahaan sebagai badan hukum internasional otorita.
Pada hakikatnya perusahaan multinasional itu merupakan badan hukum (nasional) yang terdaftar di suatu negara, maka sebenarnya perusahaan multinasional hanya merupakan subjek hukum nasional, dan bukan subjek hukum internasional.
Lain halnya dengan perusahaan yang merupakan badan hukum internasional otorita, ia merupakan subjek hukum internasional (dalam arti terbatas) adapun landasan hukumnya diatur dalam pasal 170 Konvensi PBB tentang Hukum Laut (KHL 1982) yang menentukan sebagai berikut :
(1)   Perusahaan adalah badan otorita yang harus melaksanakan kegiatan-kegiatan di kawasan secara langsung, sesuai dengan pasal 153 ayat 2(a), maupun pengangkutan, pengolahan dan pemasaran mineral-mineral yang dihasilkan dari kawasan.
(2)   Perusahaan dalam rangka bertindak sebagai badan hukum internasional otorita memiliki kewenangan hykym sebagaimana diterapkan dalam statute seperti diatur dalam Lampiran IV, perusahaan bertindak sesuai dengan konvensi ini dan ketentuan-ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur otorita maupun kebijaksanaan-kebijaksanaan umum yang ditetapkan majelis dan tunduk pada pengarahan dan pengawasan dewan.
B.Sumber-sumber Hukum Internasional.
Adapum sumber hukum formal hukum internasional dapat ditemukan pada statute Mahkamah Internasional Pasal 38 ayat (1) yang menentukan bahwa “ dalam mengadili perkara yang diajukan kepadanya, mahkamah internasional akan mempergunakan :
(1)   Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa ;
(2)   Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum;
(3)   Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab;
(4)   Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi penetapan kaidah hukum (Kantor penerangan PBB)
(5)   Putusan organisasi Internasional
1.      Perjanjian Internasional
The reference in to international conventions is to bilateral and multilateral treaties. For the moment it is enough to say that, as with domestic legislation, treaties now play a crucial role in international law, important areas of customary international law having now been codified in widely accepted treaties. In consecuence, custom and the other sources of international law are no longer as important as they used to be”[53]
“Referensi dalam kebiasaan internasional apakah perjanjian bilateral atau multilateral. Suatu saat hanya cukup bilang itu , dalam legislasi domestic, perjanjian sekarang memainkan peran krusial dalam hukum internasional, area penting dari kebiasaan internasional yang sudah dikodifikasi dan diterima sebagai perjanjian, konsekwensinya adalah kebiasaan dan bermacam-macam hukum internasional lainnya tidak selamanya penting untuk digunakan”
Jadi menurut saya bahwa perjanjian sangat penting dalam hukum internasional karena itu memberikan kepastian hukum antara dua negara yang melakukan perjanjian karena dalam perjanjian disebutkan sangsi dan denda yang dikenakan negara yang melanggar perjanjian tersebut , namun itu bukan berarti kebiasaan internasional tidak penting, semua itu ada waktunya apakah perjanjian yang dilakukan ataukah kebiasaan yang diterapkan antara negara-negara .
Perjanjian internasional merupakan suatu pernyataan dari persetujuan antara negara-negara yang mengikatkan dirinya di dalam suatu perjanjian, oleh karena itu perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional yang penting. Tidak semua perjanjian internasional dapat menciptakan suatu aturan hukum internasional. Perjanjian Internasional dapat dipandang Law Making Treaty[54] Law making Treaty ialah perjanjian antar negara yang disetujui olehsejumlah negara atas dasar kepentingan bersama . Melalui Law Making Treaty sebagian besar negara menyatakan persetujuannya atas suatu aturan khusus hukum internasional, yang dapat memuat ketentuan-ketentuan yang menyederhanakan atau menghapuskan suatu aturan hukum internasionalyang sudah ada ataupun ketentuan untuk mendirikan suatu badan internasional yang baru.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut diatas, perihal perjanjian internasional dapat disimpulkan sebagai berikut[55] :
1.      Perjanjian internasional hakikatnya adalah suatu persetujuan.
2.      Subjek perjanjian adalah negara, organisasi internasional;perusahaan, dan dalam batas-batas tertentu subjek lain hukum internasional dapat menjadi subjek perjanjian internasional seperti belligerent.
3.      Objek perjanjian adalah semua kepentingan yang menyangkut kehidupan masyarakat internasional, terutama kepentingan-kepenntingan ekonomi, social budaya, politik dan pertahanan.
4.      Bentuk perjanjian internasional pada umumnya bentuk tertulis.
5.      Hukum yang mengatur perjanjian internasional adalah hukum internasional(konvensi Wina 1969 tentang hukum perjanjian, Konvensi Wina 1986, dan hukum kebiasaan internasional.
6.      Banyak terdapat istilah atau sebutan perjanjian internasional.
Prosedur pembuatan perjanjian internasional, adapun langkah-langkah atau prosedur yang umum dan biasa dilakukan dalam membuat perjanjian internasional sebagai berikut [56]:
(1)   Menunjuk orang-orang yang akan melakukan negosiasi atas nama peserta perjanjian.
(2)   Negosiasi-negosiasi dan adopsi.
(3)   Pengesahan, penandatanganan dan pertukaran instrument-instrumen.
(4)   Ratifikasi.
(5)   Aksesi dan adhesi
(6)   Pemberlakuan perjanjian
(7)   Pendaftaran dan publikasi;
(8)   Penerapandan pelaksanaanperjanjian.
2.      Kebiasaan Internasional
Kebiasaan Internasional adalah kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. Berdasarkan rumusan tersebut jelas bahwa tidak setiap kebiasaan internasional itu merupakan sumber hukum. Untuk dapat dikatakan bahwa kebiasaan itu merupakan sumber hukum , harus memenuhi unsure-unsur sebagai berikut[57].
(1)   Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum; itu dinamakan sebagai unsur materiil.
(2)   Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum; ini dinamakan unsure pshikologis.
“The Concept of opinion juris is arguably the centerpiece of customary international law. It is the most disputed, least comprehended component of the workings of customary international law”.[58]

”Konsep dari opinio juris adalah perdebatan tujuan atau arah dari kebiasaan hukum internasional. Opini itu dibantah, dan dipahami oleh komponen dari pekerjaan dari kebiasaan hukum internasional”
Jadi menurut saya adalah bahwa tujuan dari kebiasaan internasional tersebut adalah sebagai fasilitator dalam proses hubungan internasional subjek hukum internasional dan dijadikan acuan agar terciptanya keadilan dalam menerapkan kebiasaan internasional dalam lingkup global.
Adapun contoh hukum internasional yang terbentuk melalui proses kebiasaan internasional, antara lain[59] :
(a)    Hubungan diplomatic dan hubungan konsuler, pada mulanya terbentuk melalui kebiasaan internasional akan tetapi hal tersebut pada masa sekarang sudah dikodifikasi dalam konvensi wina tahun 1961 tentang hubungan diplomatic, dan konvensi wina tahun 1963 tentang hubungan konsuler.
(b)   Dalam hukum perang, yakni penggunaan bendera putih sebagai bendera parlementer, yang memberikan perlindungan kepada utusan yang dikirim untuk mengadakan hubungan dengan pihak musuh.
(c)    Hukum mengenai perlakuan terhadap tawanan perang menurut asas kemanusiaan, pertama-tama timbul karena kebiasaan perlakuan demikian sering terjadi dalam peperangan dan dianggap memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan, mengenai hal ini selanjutnya telah dikodifikasi dalam Konvensi Den Haag 1907 dan disempurnakan dalam Konvensi Jenewa 1949.
“The best balance between the justifications of descriptive accuracy and normative appeal depends on the facilitative or moral content of custom involved international laws are ranged on spectrum between fasilitative and moral rules”[60]
“Keseimbangan terbaik antara pembenaran dari keakuratan penggambaran dan banding normative tergantung pada pemfasilitasan atau nilai moral dari kebiasaan internasional yang rumit adalah barisan spectrum antara pemfasilitasan dan aturan moral.
Jadi menurut saya kebiasaan yang rumit adalah jejeran spectrum antara pemfasilitasan dengan pengaturan moral, hal ini perlu diseimbangkan agar pembenaran dan keakuratan penggambaran masalah dapat diselesaikan dengan baik.
3.      Prinsip Hukum Umum.
Asas hukum umum adalah asas hukum yang mendasari system hukum modern . Sedangkan yang dimaksud system hukum modern adalah system hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga-lembaga negara barat yang untuk sebagian besar didasarkan atas asas dan lembaga hukum romawi.[61].
Dalam pasal 38 ayat (1) dinyatakan “asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab “ dan oleh karena bangsa didunia memiliki system hukum positif masing-masing, maka berdasarkan pemikiran tersebut yang menjadi sumber hukum bukan hanya asas-asas hukum internasional, melainkan asas hukum perdata, asas hukum pidana/acara pidana dan lain-lain. Adapun contoh-contoh asas hukum ini antara lain : “pacta sunt servanda”,bonafides”(itikad baik),”abus de droit”(penyalahgunaan hak),”adimplenti non est adimplendum” (ini merupakan asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian/perdata). Asas ”Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”. Asas “legalitas”, asas “oportunis”, asas “nebis in idem” (hukum pidan); asas “presumption of innocent”(hukum acara pidana), asas “non-intervensi”,asas “kelangsungan hidup negara-negara”, asas “par in paremnon habet imperium” (suatu negara berdaulay tidak boleh melaksanakan kedaulatannya pada wilayah negara lain) (hukum internasional)[62]
4.      Keputusan Pengadilan dan pendapat para sarjana terkemuka.
Keputusan pengadilan merupakan sumber subsider (tambahan). Artinya keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan pada sumber hukum primer [63] Adapun yang dimaksud dengan keputusan pengadilan sebagaimana ditentukan dalam pasal 38 ayat 1 (d), ialah pengadilan dalam arti luas yang meliputi keputusan mahkamah internasional , keputusan pengadilan arbitrase dan keputusan pengadilan nasional.
“The Constitutional Court made it plain that comparative human rights jurisprudence would provide the necessary guidance while an indigenous jurisprudence was being constructed. However, foreign case law would not necessarily provide a safe guide to interpretation of our bill of rights[64].
“Pengadilan Konstitusional dibuat untuk membandingkan dengan keputusan pengadilan HAM akan menyediakan kebutuhan memandu ketika keputusan pengadilan ( yurisprudensi) dibuat , Bagaimanapun kasus hukum asing tidak dapat menyediakan perlindungan untuk perjanjian HAM
Jadi menurut saya pengadilan konstitusional disini dijadikan alat perbandingan dengan pengadilan HAM untuk memandu keputusan Pengadilan.
5.      Keputusan Organisasi Internasional
Munculnya berbagai organisasi internasional antar pemerintah baik yang bersifat universal maupun regional memiliki pengaruh besar dalam perkembangan hukum internasional. Hal ini disebabkan organisasi-organisasi ini melalui badan legislative, eksekutif, maupun yudikatif memiliki kewenangan untuk mengeluarkan berbagai keputusan-keputusan, yang berlaku bagi oraganisasi sendiri, maupun yang berlaku terhadap angota-anggotanya, walaupun putusan organisasi tersebut belum dapat dikatakan sebagai sumber hukum internasional.
Contohnya dalam hal ini adalah PBB, yang memiliki badan-badan perlengkapan antara lain majelis umum dan dewan keamanan. Majelis umum melalui sidangnya baik yang membahas hal yang berkaitan dengan internal organisasi maupun yang berkaitan dengan masyarakat internasional (hukum, HAM, sengketa internasional) dapat mengeluarkan putusan. Putusan yang dikeluarkan oleh Majelis umum atau Dewan Keamanan PBB disebut dengan resolusi.
(1)   Resolusi yang berisi kewajiban anggota untuk membayar iuran sebagai anggota PBB
(2)   Resolusi yang isinya memuat anjuran-anjuran (pasal 10 piagam PBB) Resolusi demikian diputuskan oleh majelis umum dalam upaya menyelesaikan sengketa antar negara.
(3)   Resolusi yang substansinya memuat ketentuan-ketentuan hukum internasional. Contohnya Resolusi MU PBB  tanggal 10 Desember 1948 tentang Deklarasi Umum HAM.
2.3  Peran ASEAN dalam Penyelesaian Sengketa Internasional.
Kepentingan serta kebutuhan negara berdaulat dan merdeka tidak cukup hanya diselesaikan maupun dikordinasi oleh lembaga atau organisasi internasional yang bersifat universal saja. Ruang lingkup bidang yang harus diatur organisasi internasional demikian luasnya, sehingga pengaturannya sering sulit diselesaikan. Akan lebih mudah jika semua hubungan internasional dalam belahan dunia tertentu diatur secara terbatas (tidak menyeluruh), yaitu dengan k[65]erjasama secara regional, bukan secara world wide. Kerjasama demikian lebih mudah dicapai karena secara geografis letak negara-negara tersebut berdekatanKerjasama demikian lebih mudah dicapai karena secara geografis letak negara-negara tersebut berdekatan . Kerjasama demikian lebih mudah dicapai karena secara geografis letak negara-negara tersebut berdekatan serta kebutuhan ekonomi dan kebudayaan tidak terlalu jauh berbeda.

Peran Organisasi Regional Khususnya (ASEAN)  Dalam Menyelesaikan Sengketa :
(1)   Dalam menyelesaikan sengketa internal kawasan, salah satu peran utama Organisasi Regional adalah untuk menjadi wadah konsultasi, menyelenggarakan dan menyediakan suatu forum negosiasi bagi negara-negara anggota baik dalam situasi konflik maupun dalam kondisi yang berpotensi menimbulkan konflik.
(2)   Organisasi Regional juga kadang berperan sebagai mediator dalam konflik-konflik internal kawasan. Dengan wewenangnya, Organisasi Regional merancang sebuah prosedur resolusi konflik untuk menyelesaikan perselisihan antara negara-negara anggota.
(3)   Organisasi regional juga dapat melakukan penyelidikan terhadap konflik yang terjadi antara negara-negara anggotanya. Nantinya, hasil penyelidikan ini akan digunakan untuk merumuskan resolusi konflik yang dianggap paling efektif untuk diterapkan. 
(4)   Pengiriman Pasukan Penjaga Perdamaian merupakan peran lain yang juga dimainkan oleh Organisasi Regional. 
A.    Sejarah Singkat
ASEAN adalah singkatan dari “ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS” atau Persatuan Negara-negara Asia Tenggara. ASEAN didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok. ASEAN didirikan oleh lima negara pemrakarsa melalui Deklarasi Bangkok. Menteri luar negeri penandatangan Deklarasi Bangkok kala itu adalah Adam Malik (Indonesia), Tun Abdul Razak (Malaysia), Narciso R. Ramos (Filiphina), S. Rajaratnam (Singapura) dan Thanat Khoman (Thailand).
(a)    Faktor internal yaitu adanya tekad bersatu untuk memperjuangkan kepentingan bersama dan sama-sama sebagai bekas negara jajahan barat.
(b)   Faktor eksternal yaitu adanya perang Vietnam (Indo-Cina) dan sikap RRC ingin mendominasi Asia Tenggara.[66]
B.     Asas ASEAN
ASEAN sebagai organisasi kerja sama regional di Asia Tenggara menganut asas keanggotaan terbuka. Ini berarti bahwa ASEAN memberi kesempatan kerja sama kepada negara-negara lain yang berada di kawasan Asia Tenggara, sepeti Timor Leste dan Papua Nugini.
C.     Dasar atau Prinsip utama ASEAN
(1)   Saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesamaan, integritas wilayah nasional dan identtas nasional setiap negara,
(2)   Mengakui hak setiap bangsa untuk penghidupan nasional yang bebas dari campur tangan luar, subversi dan intervensi dari luar,
(3)   Tidak saling turut campur urusan dalam negeri masing-masing;
(4)   Penyelesaian perbedaan atau pertengkaran dan persengketaan secara damai,
(5)   Tidak mempergunakan ancaman (menolak penggunaan kekuatan) militer;
(6)   Menjalankan kerja sama secara efektif antara anggota.[67]

D.    Tujuan ASEAN
(1)   Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan kebudayaan di kawasan Asia Tenggara,
(2)   Meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional dengan jalan menghormati keadilan dan tertib hukum,
(3)   Meningkatkan kerja sama yang aktif dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi,
(4)   Saling memberikan bantuan dalam bentuk sarana-sarana latihan dan penelitian,
(5)   Meningkatkan penggunaan pertanian, industri, perdagangan, jasa dan meningkatkan taraf hidup,
(6)   Memelihara kerja sama yang erat dan bermanfaat dengan organisasi-organisasi internasional dan regional.[68]
2.4              Proses Penyelesaian Sengketa Internasional.
Upaya - upaya penyelesaian telah menjadi perhatian yang cukup penting di masyartakat international sejak abad ke 20. upaya - upaya ini ditujukan untuk menciptakan hubungan antar negara yang lebih baik demi tercapainya perdamaian dunia. Adapun beberapa langkah yang di tempuh dalam penyelesaian sengketa international adalah:
(1)   Negosiasi.
Negosiasi merupakan teknik penyelesaian sengketa yang paling tradisional dan paling sederhana. Teknik negosiasi tidak melibatkan pihak ketiga, hanya berpusat pada diskusi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait. Perbedaan persepsi yang dimiliki oleh kedua belah pihak akan diperoleh jalan keluar dan menyebabkan pemahaman atas inti persoalan menjadi lebih mudah untuk dipecahkan. Karena itu, dalam salah satu pihak bersikap menolak kemungkinan negosiasi sebagai salah satu cara penyelesaian akan mengalami jalan buntu.
(2)   Mediasi dan jasa-jasa baik (Mediation and good offices).
Mediasi merupakan bentuk lain dari negosiasi, sedangkan yang membedakannya adalah keterlibatan pihak ketiga. Pihak ketiga hanya bertindak sebagai pelaku mediasi (mediator), komunikasi bagi pihak ketiga disebut good offices. Seorang mediator merupakan pihak ketiga yang memiliki peran aktif untuk mencari solusi yang tepat guna melancarkan terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai. Mediasi hanya dapat terlaksana dalam hal para pihak bersepakat dan mediator menerima syarat-syarat yang diberikan oleh pihak yang bersengketa.
Perbedaan antara jasa-jasa baik dan mediasi adalah persoalan tingkat. Kasus jasa-jasa baik, pihak ketiga menawarkan jasa untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa dan mengusulkan (dalam bentuk syarat umum) dilakukannya penyelesaian, tanpa secara nyata ikut serta dalam negosiasi-negosiasi atau melakukan suatu penyelidikan secara seksama atas beberapa aspek dari sengketa tersebut. Mediasi, sebaliknya pihak yang melakukan mediasi memiliki suatu peran yang lebih aktif dan ikut serta dalam negosiasi-negosiasi serta mengarahkan pihak-pihak yang bersengketa sedemikian rupa sehingga jalan penyelesaiannya dapat tercapai, meskipun usulan-usulan yang diajukannya tidak berlaku terhadap para pihak.
(3)   Konsiliasi  (Conciliation)
Menurut the Institute of International Law melalui the Regulations the Procedur of International Conciliation yang diadopsinya pada tahun 1961 dalam Pasal 1 disebutkan sebagai suatu metode penyelesaian pertikaian bersifat internasional dalam suatu komisi yang dibentuk oleh pihak-pihak, baik sifatnya permanen atau sementara berkaitan dengan proses penyelesaian pertikaian. Istilah konsiliasi (conciliation) mempunyai arti yang luas dan sempit. Pengertian luas konsiliasi mencakup berbagai ragam metode di mana suatu sengketa diselesaikan secara damai dengan bantuan negara-negara lain atau badan-badan penyelidik dan komite-komite penasehat yang tidak berpihak. Pengertian sempit, konsiliasi berarti penyerahan suatu sengketa kepada sebuah komite untuk membuat laporan beserta usul-usul kepada para pihak bagi penyelesaian sengketa tersebut.
Menurut Shaw[69], laporan dari konsiliasi hanya sebagai proposal atau permintaan dan bukan merupakan konstitusi yang sifatnya mengikat. Proses konsiliasi pada umumnya diberikan kepada sebuah komisi yang terdiri dari beberapa orang anggota, tapi terdapat juga yang hanya dilakukan oleh seorang konsiliator.
(4)   Penyelidikan         (Inquiry)
Metode penyelidikan digunakan untuk mencapai penyelesaian sebuah sengketa dengan cara mendirikan sebuah komisi atau badan untuk mencari dan mendengarkan semua bukti-bukti yang bersifat internasional, yang relevan dengan permasalahan. Dengan dasar bukti-bukti dan permasalahan yang timbul, badan ini akan dapat mengeluarkan sebuah fakta yang disertai dengan penyelesaiannya.
(5)   Penyelesaian di bawah naungan organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
yaitu PBB ditempatkan sebagai mediator bagi pihak-pihak yang berperkara.














BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Jadi menurut pendapat saya bahwa peran organisasi regional lebih efektif dalam menyelesaikan sengketa yang ada di setiap regional/kawasan karena ruang lingkup organisasi internasional yang bersifat universal sudah sedemikian luasnya sehingga pengaturannya sulit untuk diselesaikan hal inilah yang mendorong organisasi regional untuk berperan aktif dalam menyelesaikan sengketa kawasannya khususnya ASEAN , dibutuhkahkan konsolidasi yang erat agar semua permasalahan yang ada di regiomal dapat terselesaikan dengan cara damai. Hadirnya lembaga-lembaga atau mekanisme penyelesaian sengketa yang diciptakan oleh masyarakat internasional pada umumnya ditujukan untuk suatu maksud utama, yakni memberi cara mengenai bagaimana seyogyanya senqketa internasional diselesaikan secara damai. Disinilah diperlukan peran hukum internasional dalam penyelesaian sengketa ini cukup penting. Hukum internasional tidak semata-mata mewajibkan penyelesaian secara damai, hukum internasional ternyata pula memberi kebebasan seluas-luasnya kepada negara-negara untuk menerapkan atau memanfaatkan mekanisme penyelesaian sengketa yang ada baik yang terdapat dalam Piagam PBB, perjanjian atau konvensi internasional yang negara-negara yang bersengketa telah mengikatkan dirinya.
3.1 Saran
Kepada Mediator khususnya Organisasi Internasional dapat menegakkan keadilan yang seadil-adilnya agar terciptanya perdamaian dan terciptanya kerukunan antar bangsa dan negara , dan jangan jadikan perbedaan sebagai pemicu permusuhan .








DAFTAR PUSTAKA

Buku
A.K, Syahmin. 1985. Pokok-pokok Hukum Organisasi Internasional, Palembang : Bina Cipta
Starke J.G. 1988. Pengantar Hukum Internasional, edisi 10. Jakarta: Sinar Grafika,

Anwar,Chairul. 1988, Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Jakarta: Djambatan.

Brierly, J.L. 1996, Hukum Bangsa-Bangsa. edisi 10 ,Jakarta: Bhratara.

Kusumaatmadja ,Mochtar. 1997, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Binacipta

Tahar,Abdul Muthalib. 2012, Hukum Internasional dan Perkembangannya, Bandar Lampung : Unila.

Suryokusumo, Sumaryo. 1993, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional. Bandung: Alumni.

Scremer, Henry G. 1980, international Institutional Law, Sijthoff & Noordhoff, Netherlands.

Mauna, Boer. (1980-1982),  Hukum Organisasi Internasional., (Diktat kuliah untuk mahasiswa pasca sarjana Hukum Internasional Unpad.

Bowett, D.W. 1992, Hukum Organisasi Internasional, Cetakan I, terjemahan: Bambang Iriana Djajaatmadja,Jakarta: Sinar Grafika.

Gayo, Iwan . 2001, Buku Pintar seri senior,Jakarta :Pustaka Warga Negara.


Adolf, Huala. 1990, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada.



Jurnal
Voigt, Cristina. 2008”The role of general principles in international law and their relationship to treaty law”,Retfaerd ArgangVol 31.
Aust, Anthony. 2008, International Law Overview, Cambridge Press..

Stratton, Jane. 2009, Hot Topics: Legal Issue in Plain Language Vol. 69

Yunusov, Pulat. 2009, ”Is International Law a Legal System ?”,Canada Journal International Law.

D’Amato, Anthony. 2000,”Is International Law  Really Law ?”, NorthWestern Law Review 1293.

Kammerhofer, Jorg. 2004,”Uncertainty in The Formal Sources of International Law: Customary International Law and Some its Problems”, Europe Journal International Law Vol 15 no. 3.

Robert,Anthea Elizabeth. 2001, ”Traditional and Modern Approaches to Customary International Law: a Reconciliation” The American Journal of International LawVol.95.

Moseneke, Dikgang. 2010, The Role of Comparative and Public International Law Vol 23,Deputi chief  Justice of South Africa.









 



























[1] J G Starke, “Introduction to International Law”, dalam : Syahmin A.K, (eds.), Pokok-pokok Hukum Organisasi Internasional, Palembang : Bina Cipta, 1985, hlm 4.
[2] Ibid.
[3] J G Starke, Pengantar Hukum Internasional edisi 10, Jakarta: Sinar Grafika, 1988, hlm 3
[4] Ibid.
[5] Cristina Voigt,”The role of general principles in international lawand their relationship to treaty law”,Retfaerd ArgangVol 31, 2008, hlm 5.
[6] E. de Vattel,”Le Droit de Gens”, dalam: Chairul Anwar,(eds), Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Jakarta: Djambatan, 1988, hlm 1
[7] Hackworth,”Digest of International Law”, dalam: Ibid.
[8] Philip C. Jessup,”A Modern Law of  Nations”, dalam: Ibid.
[9]  Anthony Aust, International Law Overview, Cambridge Press,2008.hlm 2.
[10]  J.L Brierly, Hukum Bangsa-Bangsa edisi 10,terjemahan Mohd. Radjab,Jakarta: Bhratara, 1996, hlm 1 .
[11] Jane Stratton, Hot Topics: Legal Issue in Plain Language Vol. 69 (2009) hlm 1.
[12] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional,Bandung: Binacipta,1997, hlm 3
[13] Oppenheim,”International Law”, dalam : Abdul Muthalib Tahar,(eds),Hukum Internasional dan Perkembangannya, Bandar Lampung : Unila, 2012, hlm 2.
[14] R.C. Hingorani,”Modern International Law”,dalam :Ibid.
[15] Chairul Anwar,Op.Cit., hlm 2.
[16] Pulat Yunusov,”Is International Law a Legal Sysytem ?”,Canada Journal International Law,2009, hlm 5.
[17] J G Starke,Op.Cit.,hlm 4
[18] Menurut Genocide Convention yang dikeluarkan oleh Majelis Umum  PBB pada tahun 1948 dan mulai berlaku pada tanggal 12 Januari 1951.
[19] J G Starke,Op.Cit.,. hlm 6.
[20] Anthony D’Amato,”Is International Law  Really Law ?”, NorthWestern Law Review 1293 (2000) hlm 7.
[21] Ada di samping itu beberapa referensi pada “keadilan” dalam Charter PBB yang ditandatangani di San Fransisco pada tanggal 26 Juni 1945; lihat, misalnya, Mukadimah, Pasal 1, Pasal 2, ayat 3 dan Pasal 76. Pertimbangan kemanusiaan tidak dengan sendirinya cukup untuk menimbulkan hak-hak dan kewajiban –kewajibanhukum internasional: South West Africa Case , 2nd Phase, ICJ 1966,6 hal 34.
[22] J G Starke,Op.Cit,. hlm 6.
[23] J.L Brierly,Op.Cit,. hlm 19.
[24] Chairul Anwar, Op.Cit,. hlm 19.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid, hlm 20.
[28] Ibid.
[29] Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit,.hlm 33.
[30] J G Starke, Op.Cit, hlm 24.
[31] Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit,. hlm 33.
[32] Abdul Muthalib Tahar, Op.Cit,. hlm 9.
[33] Ibid.
[34] J G Starke, Op.Cit,. hlm 24-25.
[35] Mochtar Kusumaatmadja,Op.Cit,.hlm 35.
[36] Abdul Muthalib Tahar,Op.Cit,.hlm 10-11.
[37] Ibid.
[38] Mochtar Kusumaatmadja,Op.Cit,.hlm 38
[39] Lihat Oppenheim, International Law Vol. 1 (edisi ke-8, 1955) hal, 19-22; W. Paul Gormley, The Procedural Status of the individual Before International and Supranational Tribunals (1966); Norgard, The Position of the Individual in International Law (1962); Rousseau, Droit International Public Vol. II (1974), Les Sujets de Droit; H. Mosler “ Subject of International Law” dalam Ensyclopedia of Public International Law Vol. 7 (1984), hal 442-459; D.H. Ott, Public International Law in the Modern World (1987) hal 81-83.
[40] Jane Stratton,Loc.Cit, hlm 2.
[41] Abdul Muthalib Tahar,Op.Cit,.hlm 37.
[42] Friedman,”The Changing Structure of International Law”, dalam : Chairul Anwar,Op.Cit,.hlm 26-27.
[43] Status kota Vatikan diatur dalam Lateran Treaty tanggal 11 Februari 1929 antara tahta suci dan Italia. Teks dapat dilihat dalam 23 AJIL (1929) Supp. H. 187-195.
[44] Henry Dunant,”The Souvenir of Selvorino”, dalam :Abdul Muthalib Tahar,Op.Cit., hlm 40-41.
[45] Abdul Muthalib Tahar, Op.Cit., hlm 41.
[46] Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional. Bandung: Alumni, 1993, hlm 45-46.
[47] Henry G. Scremer, international Institutional Law, Sijthoff & Noordhoff, Netherlands, 1980 hlm 21-22.
[48] Boer Mauna, Hukum Organisasi Internasional., (Diktat kuliah untuk mahasiswa pasca sarjana Hukum Internasional Unpad, (1980-1982), hal. 4.
[49] Syahmin A.K, Op.Cit,hlm 5.
[50] D.W Bowett, Hukum Organisasi Internasional Cetakan I, terjemahan: Bambang Iriana Djajaatmadja,Jakarta: Sinar Grafika, 1992, hlm 431.
[51] Mochtar Kusumaatmadja,Op.Cit, hlm 79.
[52] Chairul Anwar, Op.Cit,. hlm 28.
[53] Anthony Aust, Loc.Cit.hlm 6.
[54] J.L Brierly, Op,Cit., hlm 58.
[55] Abdul Muthalib Tahar, Op.Cit., hlm 22.
[56] J G Starke, Op.Cit,. hlm 593.
[57] Mochtar Kusumaatmadja,Op.Cit, hlm 102.
[58] Jorg Kammerhofer,”Uncertainty in The Formal Sources of International Law: Customary International Law and Some its Problems”, Europe Journal International Law Vol 15 no. 3,2004, hlm 532.
[59] Abdul Muthalib Tahar, Op.Cit., hlm 30-31.
[60] Anthea Elizabeth Robert,”Traditional and Modern Approaches to Customary International Law: a Reconciliation” The American Journal of International LawVol 95,2001, hlm 764.
[61] Mochtar Kusumaatmadja,Op.Cit, hlm 105.
[62] Abdul Muthalib Tahar, Op.Cit., hlm 31.
[63] Ibid. hlm 32
[64] Dikgang Moseneke,The Role of Comparative and Public International Law Vol 23,Deputi chief  Justice of South Africa, 2010, hlm 63.
[65] Syahmin A.K, Op.Cit,hlm 77.
[66] Iwan Gayo,Buku Pintar seri senior,Jakarta :Pustaka Warga Negara, 2001, hlm 607-610.
[67] Ibid.
[68] Ibid.
[69] Shaw, “International Law”, dalam : Huala Adolf, (eds.), Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990, hlm 214.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar