NAMA :
ALDI SETIAWAN
NPM :
1112011026
KELAS :
D1 (PAK RUDI S.H,LL.M,LL.D)
Suaka
(Asylum)
Asylum adalah sebuah lembaga yang lahir karena
kemanusiaan (humanitarian) dan juga hukum (legal nature).
Asylum merupakan lembaga kemanusiaan karena dimaksudkan untuk
menyelamatkan seseorang dari penuntutan atau kemungkinan penuntutan. Asylum
juga merupakan instrumen hukum karena sekali Asylum
diberikan maka seseorang yang mendapatkan status sebagai penerima suaka (asylee)
akan melekat padanya hak dan kewajiban yang dapat dijalankan dan dipaksakan
oleh Negara pemberi Asylum berdasarkan hukum nasionalnya ataupun
berdasarkan aturan Hukum In ternasional dan atau aturan hukum regional yang
mempunyai kekuatan hukum mengikat 5. Sampai saat ini dalam instrumen
Hukum Internasional tidak terdapat satu definisi yang diterima secara umum
mengenai pengertian Asylum, namun demikian sebagai langkah
awal Institute of International Law6 dalam sebuah
sesi pertemuannya di Bath, tahun 1950, mencoba mendefinisikan pengertian Asylum
sebagai berikut:
”Asylum is the protection which a State grants on its
territory or in some other places under the control of its organs, to a person
who comes to seek it”.
Pengertian yang hampir sama diberikan oleh Sumaryo
Suryokusumo7, sebagai berikut:
”Suaka adalah dimana seorang pengungsi/pelarian politik
mencari perlindungan baik di wilayah suatu negara maupun didalam
lingkungan gedung perwakilan diplomatik dari suatu negara. Jika perlindungan
diberikan, pencari suaka itu dapat kebal dari proses hukum dari negara dimana
dia berasal”.
Nampak bahwa dari kedua pengertian diatas secara tegas
mengandung dua jenis suaka, yaitu suaka territorial dan diplomatik.
Sedangkan menurut Sulaiman Hamid8:
”Suaka adalah suatu perlindungan yang diberikan oleh suatu
negara kepada individu yang memohonnya dan alasan mengapa
individu-individu itu diberikan perlindungan adalah berdasarkan alasan
prikemanusiaan, agama, diskriminasi ras, politik dan sebagainya”.
Sementara itu J.G. Starke 9 menulis
bahwa konsep Asylum dalam Hukum Internasional mengandung
setidaknya dua elemen, yaitu : a). Tempat perlindungan (shelter), yang
bukan hanya sekedar tempat berlindung sementara; dan b). Sebuah usaha
perlindungan aktif (active protection) sebagai bagian dari kewenangan
pemegang kekuasaan di wilayah teritorial dimana Asylum
tersebut diberikan. Pemberian Asylum dapat berupa territorial
(internal), contohnya diberikan oleh sebuah Negara pemberi suaka
(asylum-granting state) dalam wilayah teritorialnya; atau dapat juga berupa extra
– terrotorial, contohnya diberikan oleh utusan
diplomatik/kedutaan, gedung konsuler, markas besar organisasi
internasional, kapal perang, kapal-kapal dagang kepada pengungsi
(refugee) yang berasal dari Negara yang berkuasa di wilayah teritorial dimana
utusan diplomatik/kedutaan, gedung konsuler, markas besar organisasi
internasional, kapal perang dan kapal-kapal dagang tersebut sedang
berada. Pada prinsipnya setiap negara mempunyai hak penuh untuk
memberikan suaka teritorial (territorial asylum), kecuali kalau
negara dimaksud telah menerima suatu pembatasan tertentu melalui sebuah traktat
atau perjanjian Internasional lainnya. Suaka teritorial adalah
suatu kenyataan bahwa kekuasaan pemberian suaka teritorial merupakan pelaksanaan
kedaulatan wilayah oleh negara penerima suaka. Pemerintah Australia dalam kasus
pemberian suaka kepada 42 WNI asal Papua menerapkan prinsip suaka teritorial
ini.
Mengenai pemberian suaka oleh perwakilan diplomatik ini,
setidaknya terdapat dua pendapat yang berbeda. Pertama, menyatakan bahwa
perwakilan diplomatik merupakan perpanjangan dari wilayah negara yang
mengirimkan wakil diplomatik. Jadi, suaka dapat diberikan baik di wilayah
territorial maupun wilayah perwakilan diplomatik negara itu dimanapun. Dengan
kata lain perwakilan diplomatik memiliki kekebalan mutlak terhadap jurisdiksi
negara yang memiliki kekebalan mutlak terhadap jurisdiksi negara tempat ia
secara de facto berada. Pendapat kedua menyatakan bahwa kekebalan yang dimiliki
oleh suatu perwakilan diplomatik tidaklah bersifat mutlak . Kekebalan-kekebalan
dimiliki oleh perwakilan diplomatik bukan karena wilayah perwakilan merupakan
bagian dari wilayah negara yang mengirimkan perwakilan, melainkan karena
diberikan oleh negara tempat perwakilan itu berada semata-mata
supaya perwakilan itu bisa menjalankan fungsinya secara baik. Jadi,
menurut pandangan ini, perwakilan diplomatik bukanlah merupakan wilayah yang
secara absolut tidak bisa diganggu gugat (not absolutely inviolable).
Sebagai konsekuensinya, kalau kepentingan negara tempat perwakilan
diplomatik itu berada menghendaki, kekebalan itu pun bisa diterobos
sehingga pada dasarnya suaka tidak bisa diberikan di wilayah perwakilan11
Dengan demikian berdasarkan aturan Hukum
Internasional serta dalam praktek dan kebiasaan-kebiasaan internasional,
apabila ditinjau dari tempat dimana suaka diberikan dapat dibedakan:13
1. Dalam kasus teritorial asylum tempat
pemberian suaka adalah di wilayah teritorial Negara pemberi suaka (asylum-granting
state)
2. Dalam kasus suaka diplomatik tempat pemberian suaka
adalah tempat yang digunakan untuk tujuan khusus oleh Negara pemberi suaka yang
berada dalam wilayah teritorial negara lain, tempat tersebut antara lain
: a). Gedung misi diplomatik dan konsuler; b). Tempat tinggal Duta Besar
atau Konsulat Jenderal; c). Tempat lain yang disediakan oleh Negara
pemberi suaka dalam hal kedua tempat diatas tidak mampu menampung
penerima suaka dalam jumlah yang besar; d). Basis atau perkemahan
Militer; f). Kapal Laut dan Pesawat milik pemerintah yang bukan digunakan
untuk kepentingan perdagangan.
Berdasarkan
ketentuan-ketentuan diatas jelas bahwa meskipun hak seseorang atas suaka
diakui oleh Hukum Internasional 17, namun hak
tersebut bersifat terbatas hanya untuk mencari (to seek) dan untuk
menikmati (to enjoy) suaka, bukanlah untuk mendapatkan (to
obtain) ataupun untuk menerima (to receive) suaka. Sehingga, dengan
demikian tidak terdapat kewajiban bagi Negara untuk memberikan (to grant) suaka
kepada seorang pencari suaka.
Hal
lain yang sangat jelas dalam ketentuan diatas adalah pemberian suaka oleh
sebuah Negara merupakan tindakan pelaksanaan kedaulatan (in the exercise of
its sovereignty) dari negara. Dengan demikian karena pemberian suaka
tersebut merupakan kewenangan mutlak dari sebuah negara, maka Negara pemberi
suaka (state-granting asylum) mempunyai kewenangan mutlak pula untuk
mengevaluasi atau menilai sendiri alasan-alasan yang dijadikan dasar pemberian
suaka, tanpa harus membuka atau menyampaikan alasan tersebut kepada pihak
manapun, termasuk kepada negara asal (origin state) dari pencari
suaka.
Indonesia
menganut prinsip yang mengatur bahwa pemberian suaka adalah hak prerogatif dari
negara sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatannya18.
Prinsip ini antara lain secara jelas nampak dalam paragraf kesembilan
dari penjelasan umum Surat Edaran Perdana Menteri tanggal 7 September
1965 No. 11/R.I./1956 tentang Perlindungan Pelarian Politik, yang kurang
lebih berbunyi sebagai berikut19 :
”Demikian
pula, sebaliknya, pemberian suaka kepada pelaku kejahatan politik bukanlah
merupakan kewajiban internasional dari Negara, melainkan merupakan hak
dari negara untuk menentukan apakah akan memberikan atau tidak memberikan suaka
kepada seseorang...”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar