Translate

Jumat, 08 November 2013

Suaka Politik Perspektif Hukum Internasional

NAMA           :  ALDI SETIAWAN
NPM               :  1112011026
KELAS          :  D1 (PAK RUDI S.H,LL.M,LL.D)

Suaka (Asylum)
  Asylum adalah sebuah lembaga yang lahir karena kemanusiaan (humanitarian)  dan juga  hukum (legal nature). Asylum merupakan lembaga kemanusiaan karena  dimaksudkan untuk menyelamatkan seseorang dari penuntutan atau kemungkinan  penuntutan. Asylum juga merupakan  instrumen  hukum karena sekali Asylum diberikan  maka seseorang yang mendapatkan status sebagai penerima suaka (asylee) akan melekat padanya hak dan kewajiban yang dapat dijalankan dan dipaksakan oleh Negara pemberi  Asylum berdasarkan hukum nasionalnya ataupun berdasarkan aturan Hukum In ternasional dan atau aturan hukum regional yang mempunyai kekuatan hukum mengikat 5. Sampai saat ini dalam instrumen Hukum Internasional tidak terdapat satu definisi yang diterima secara umum mengenai pengertian Asylum, namun demikian  sebagai langkah  awal Institute of International Law6  dalam sebuah sesi pertemuannya di Bath, tahun 1950,  mencoba mendefinisikan pengertian Asylum sebagai berikut: 
”Asylum is the protection which a State grants on its territory or in some other places under the control of its organs, to a person who comes to seek it”.    
Pengertian yang hampir sama diberikan oleh  Sumaryo Suryokusumo7, sebagai berikut:
”Suaka adalah dimana seorang pengungsi/pelarian politik mencari perlindungan baik di  wilayah suatu negara maupun didalam lingkungan gedung perwakilan diplomatik dari suatu negara. Jika perlindungan diberikan, pencari suaka itu dapat kebal dari proses hukum dari negara dimana dia berasal”.
 Nampak bahwa dari kedua pengertian diatas secara tegas mengandung dua jenis  suaka, yaitu suaka territorial dan diplomatik.  Sedangkan menurut Sulaiman Hamid8:
”Suaka adalah suatu perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada individu yang  memohonnya dan alasan mengapa individu-individu itu diberikan perlindungan adalah berdasarkan alasan prikemanusiaan, agama, diskriminasi ras, politik dan sebagainya”.
Sementara itu J.G. Starke 9 menulis  bahwa konsep Asylum dalam Hukum  Internasional mengandung setidaknya dua elemen, yaitu : a). Tempat perlindungan  (shelter), yang bukan hanya sekedar tempat berlindung sementara; dan b). Sebuah usaha  perlindungan aktif (active protection) sebagai bagian dari kewenangan pemegang  kekuasaan  di wilayah  teritorial dimana Asylum tersebut diberikan. Pemberian Asylum  dapat berupa  territorial (internal), contohnya diberikan oleh sebuah Negara  pemberi  suaka (asylum-granting state) dalam wilayah teritorialnya; atau dapat juga berupa extra – terrotorial,  contohnya diberikan  oleh  utusan  diplomatik/kedutaan, gedung konsuler,  markas besar  organisasi internasional, kapal perang, kapal-kapal dagang kepada  pengungsi (refugee) yang berasal dari Negara yang berkuasa di wilayah teritorial dimana  utusan diplomatik/kedutaan, gedung konsuler, markas besar organisasi internasional,  kapal perang dan kapal-kapal dagang tersebut sedang berada.  Pada prinsipnya setiap  negara mempunyai hak penuh untuk memberikan suaka teritorial (territorial asylum),  kecuali kalau negara dimaksud telah menerima suatu pembatasan tertentu melalui sebuah traktat atau perjanjian Internasional lainnya.  Suaka  teritorial adalah suatu kenyataan  bahwa kekuasaan pemberian suaka teritorial merupakan pelaksanaan kedaulatan wilayah oleh negara penerima suaka. Pemerintah Australia dalam kasus pemberian suaka kepada 42 WNI asal Papua menerapkan prinsip suaka teritorial ini. 
Mengenai pemberian suaka oleh perwakilan diplomatik ini, setidaknya terdapat dua pendapat yang berbeda. Pertama, menyatakan bahwa perwakilan diplomatik merupakan perpanjangan dari wilayah negara yang mengirimkan wakil diplomatik. Jadi, suaka dapat diberikan baik di wilayah territorial maupun wilayah perwakilan diplomatik negara itu dimanapun. Dengan kata lain perwakilan diplomatik memiliki kekebalan mutlak terhadap jurisdiksi negara yang memiliki kekebalan mutlak terhadap jurisdiksi negara tempat ia secara de facto berada. Pendapat kedua menyatakan bahwa kekebalan yang dimiliki oleh suatu perwakilan diplomatik tidaklah bersifat mutlak . Kekebalan-kekebalan dimiliki oleh perwakilan diplomatik bukan karena wilayah perwakilan merupakan bagian dari wilayah negara yang  mengirimkan perwakilan, melainkan karena diberikan oleh negara tempat  perwakilan itu berada semata-mata  supaya perwakilan itu bisa menjalankan fungsinya secara baik. Jadi, menurut pandangan ini, perwakilan diplomatik bukanlah merupakan wilayah yang secara  absolut tidak bisa diganggu gugat (not absolutely inviolable). Sebagai  konsekuensinya, kalau kepentingan negara tempat perwakilan diplomatik  itu berada menghendaki, kekebalan itu pun bisa  diterobos sehingga pada dasarnya suaka tidak bisa diberikan di wilayah perwakilan11
  Dengan  demikian berdasarkan aturan Hukum Internasional serta dalam praktek dan kebiasaan-kebiasaan internasional, apabila ditinjau dari tempat dimana suaka diberikan dapat dibedakan:13
 1. Dalam kasus teritorial asylum tempat pemberian suaka adalah di wilayah teritorial  Negara pemberi suaka (asylum-granting state)
2. Dalam kasus suaka diplomatik tempat pemberian suaka adalah tempat yang digunakan untuk tujuan khusus oleh Negara pemberi suaka yang berada dalam wilayah  teritorial negara lain, tempat tersebut antara lain : a). Gedung misi  diplomatik dan konsuler; b). Tempat tinggal Duta Besar atau Konsulat Jenderal; c).  Tempat lain yang disediakan oleh Negara pemberi suaka dalam hal  kedua tempat diatas tidak mampu menampung penerima suaka dalam jumlah yang besar; d). Basis  atau perkemahan Militer; f). Kapal Laut dan Pesawat milik pemerintah yang bukan  digunakan untuk kepentingan perdagangan.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas jelas bahwa meskipun hak seseorang atas suaka  diakui oleh Hukum Internasional 17, namun hak tersebut bersifat terbatas hanya untuk mencari (to seek) dan untuk  menikmati  (to enjoy) suaka,  bukanlah untuk mendapatkan (to obtain) ataupun untuk menerima (to receive) suaka. Sehingga, dengan demikian tidak terdapat kewajiban bagi Negara untuk memberikan (to grant) suaka kepada seorang pencari suaka.
Hal lain yang sangat jelas dalam ketentuan diatas  adalah pemberian suaka oleh sebuah Negara merupakan tindakan pelaksanaan kedaulatan (in the exercise of its sovereignty) dari negara. Dengan demikian  karena pemberian suaka tersebut merupakan kewenangan mutlak dari sebuah negara, maka Negara pemberi suaka (state-granting asylum) mempunyai kewenangan mutlak pula untuk mengevaluasi atau menilai sendiri alasan-alasan yang dijadikan dasar pemberian suaka, tanpa harus membuka atau menyampaikan alasan tersebut kepada pihak manapun, termasuk kepada negara asal (origin state) dari pencari suaka. 
Indonesia menganut prinsip yang mengatur bahwa pemberian suaka adalah hak prerogatif dari negara sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatannya18. Prinsip ini antara lain secara jelas nampak  dalam paragraf kesembilan dari penjelasan umum Surat  Edaran Perdana Menteri tanggal 7 September 1965 No. 11/R.I./1956 tentang  Perlindungan Pelarian Politik, yang kurang lebih berbunyi sebagai berikut19

”Demikian pula, sebaliknya, pemberian suaka kepada pelaku kejahatan politik bukanlah  merupakan kewajiban internasional dari Negara, melainkan merupakan hak dari negara untuk menentukan apakah akan memberikan atau tidak memberikan suaka kepada seseorang...”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar