Translate

Jumat, 05 April 2013

Tarik Ulur Politik Hukum Otonomi Daerah





BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Menurut Almond “keyakinan politik individu merupakan salah satu faktor penentu bagi perilaku politik individu yang bersangkutan (individualy political belief is one of the determinant factors for individual political conduct) dan lebih lanjut ditegaskan bahwa keyakinan politik (politic belief) yang dimiliki oleh masing-masing individu pada gilirannya akan membentuk political self” [1]. Adanya konstelasi politik dalam setiap pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan seluruh elemen-elemennya juga akan berdampak kepada baik dan buruk tatanan birokrasi dalam pada proses restrukturisasi di dalam pemerintah daerah tersebut. Jika tidak terjadi checks and balances konstelasi politik sebagai salah satu alat pengambilan kebijkan dari pejabat di daerah, maka akan terjadi proses fragmentasi pada golongan-golongan tertentu yang justru akan menimbulkan ketimpangan pada kualitas kebijakan yang dihasilkan. Hukum dan kebijkan merupakan produk dari kepentingan politik maka harus dapar berjalan seimbang.
Politik hukum adalah legal policy atau arahan hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama [2]. Jika kompromi dan tarik ulur politik dapat terkonsep dengan baik maka akan berimplikasi terhadap lahirnya produk hukum yang baik, sebaliknya jika kompromi politik hanya digunakan untuk dimanfaatkan demi kepentingan pribadi dan golongan tertentu justru akan memberikan dampak terhadap lahirnya produk hukum yang buruk.
Otonomi daerah merupakan arah kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk mengurangi sifat pemerintah yang cenderung terpusat dengan tidak melibatkan pemerintah daerah untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Desentralisasi merupakan penyerahan urusan pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan isi pasal 5 ayat 2 undang-undang No.32 tahun 2004 tentang otonomi daerah disebutkan bahwa ”Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Hal senada juga telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 yang berbunyi” Pembagian daerah Indonesia atas derah besar dan kecil dengan bentuk susunaan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”
Peluang digitalisasi pada tingkat pemerintah daerah memang selalu dipertanyakan banyak pihak karena sudah menjadi anggapan umum bahwa tingkatan yang paling ideal untuk menghadapi dampak globalisasi dari pemerintah pusat. Hal ini dapat dipahami karena dengan menyatukan kekuatan pada batas-batas nation-statedianggap memperbesar peluang menghadapi tantangan global persaiangan internasional, tapi kenyataannya tidak akan selalu demikian adanya, karena globalisasi ternyata tidak membatasi semua ruang kehidupan melampaui batas nation state [3].Pemerintah daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan, kecuali urusan pemerintah oleh undang-undang dan otonomi yang seluas-luasnya[4]Dalam beberapa pengecualian tentang kasus-kasus yang terjadi dalam penerapan otonomi daerah telah menunjukkan proses yang sangat baik. Hal ini juga senada dengan konsep tentang desentralisasi yang dinyatkan oleh beberapa pakar. Dengan desentralisasi dan otonomi daerah lebih terbuka peluang partisipasi rakyat dalam pembangunan daerah. Kekhawatiran bahwa otonomi daerah yang kaya sumber daya alam dengan yang miskin kiranya akan berkompetensi kualitas tentang sumber daya alam. Dalam otonomi daerah harus khusus diberikan pada daerah yang tidak cukup sumber daya alamnya[5].
Penyerahan kewajiban dari pusat ke daerah harus disertai dengan biaya yang dapat memungkinkan daerah bekerja, sehingga di atas yang diharapkan dan sumber pendapatan harus dapat menjamin perjalanan rumah tangganya dengan baik dengan demikian pandapatan akan naik turun[6]. Pendanaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat ke daerah dapat dilaksanakan dengan bertanggung jawab, transparan dan akuntabel, sehingga keadilan yang diharapkan dari masing-masing daerah dapat terealisasi dengan baik.
Desentralisasi dan otonomi cenderung menguat ketika sistem politik tampil demokratis, sedangkan dekonsentrasi mengemuka ketika sistem politik tampil otoriter[7]. Pada dasarnya otonomi daerah akan diberikan kepada daerah agar daerah mampu menggali sumber dana dalam rangka membiayai segala kegiatannya. Semakin besar dana yang digali otonomi daerah yang diperlihatkan dengan proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akan makin luas untuk diberi otonomi daerah [8]. Menurut Penulis salah satu bukti kongkrit dari proses penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang tidak tersistematis dan seolah-olah tidak ada peyalahgunaan wewenang jabatan merupakan modus yang digunakakan kepala daerah dengan bekerja sama pihak legislatif di daerah agar dana pemerintah tersebut dapat digunakan untuk kepentingan sendiri. Fenomena yang terjadi di daearah dapat ditunjukan dengan adanya ketidakjelasan yang ditunjukan dalam sistem pengadaan barang dan jasa di daerah dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) belum dapat menunjukan data riil dana alokasi yang diajukan dengan dana yang dikeluarkan dari hal tersebut. Dalam kondisi ini banyak oknum pejabat daerah yang terlibat dan mereka saling bekerja sama demi mendapat keuntungan pribadi. Modus operandi mark upAnggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dilakukan dengan mengatasnamakan untuk pembangunan dearah dan kesejahteraan rakyat dengan melakukan pembelanjaan daerah atas barang dan jasa diluar kebutuhan yang sesungguhnya diperlukan oleh daerah. Proses otonomi daerah telah dijadikan alat dan senjata bagi para pejabat di daerah untuk memanfaatkan dana daerah guna kepentingan pribadinya saja. Kepala daerah yang mempunyai otoritas dan tanggung jawab terbesar dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) banyak memanfaatkan posisi jabatannya dan telah terjadi penyimpangan secara administratif baik secara vertikal maupun horizontal.
Dengan berbagai pertimbangan secara teoretis dan faktual empiris serta pola penyimpangan yang telah dilakukan oleh kepala daerah dengan memanfaatkan celah dari proses pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maka Penulis akan membahas lebih detail dalam sebuah paper dengan judul “Tarik ulur politik hukum terhadap pertanggung jawaban kepala daerah dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia

B. Rumusan masalah
Dari berbagai pemaparan latar belakang diatas terkait problematik dan tarik ulur antara korelasi politik dan hukum dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah,  maka Penulis mengambil rumusan masalah yaitu sebagai berikut?
1.      Bagaimanakah bentuk legal policy dari pemerintah pusat terhadap daerah terkait pengelolan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia?
2.      Bagaimanakah bentuk pertanggung jawaban kepala daerah terkait pengelolan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) agar tidak terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan secara administratif?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Bentuk legal policy dari pemerintah pusat terhadap daerah terkait pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia


1.      Proses perumusan dan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai bentuk implementasi dari otonomi daerah di Indonesia
Teuku Mohammad Radhie menyatakan politik hukum adalah pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah mana hukum hendak dikembangkan [9]. Padmo Wahyono mengatakan politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Politik hukum merupakan kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang didalamnya mencakup pembentukan, penerapan dan penegakan hukum [10]. Para decision maker [11] sangat di dominasi oleh kalangan birokrat. Dalam konteks ini Penulis akan mencoba menelaah lebih lanjut bahwa kekuasaan yang menunjukan korelasi terhadap superioritas kewenangan justru menimbulkan tarik ulur kebijakan dengan pejabat di bawahnya. Jika tidak ada koordinasi secara organisatoris dalam pengambilan kebijakan, maka antara kekuasaan yang satu dengan yang lain akan saling menjatuhkan guna melegalkan kepentingan masing-masing golongan tertentu. Hal lain yang akan terjadi dalam konstelasi politik tersebut adalah adanya kompromi politik dalam pengambilan kebijakan, implikasinya akan memberikan manfaat bagi semua pihak yang mempunyai kepentingan dalam pengambilan kebijakan tersebut
Kemampuan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sangat tergantung pada kemampuan pandangannya. Di berbagai negara sumber keuangan daerah selalu memadai karena ada perbedaan distribusi suatu pendapatan antara daerah pusat dan pemerintah daerah selalu membayakan sumber daya yang dimilikinya. Pendapatan dengan daerah tidak stabil terjadi, maka ada kondisi yang tidak kondusif bagi revitalisasi pemerintah daerah [12]. Dengan adanya perbedaan dalam dalam pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh pemerintah yang satu dengan yang lain telah memberikan sebuah pedoman bagi pemerintah dalam proses penyelenggaraan otonomi daerah. Hal ini juga akan berimplikasi terhadap mekanisme perimbangan antara keuangan pusat dan keuangan daerah. Proses pengelolaan terhadap sumber daya alam yang dimiliki oleh masing-masing daerah juga akan mempengaruhi kepada pengambilan kebijakan yang akan ditetapkan oleh masing-masing daerah guna menambah sumber pemasukan keuangan daerah.
Menurut Parson Desentralisasi adalah “sharing of the governmental power by a central rulling group with other group each hearing authority with a specific areal of the state” [13]. Adanya proses otonomi daerah yang diprogramkan oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dalam rangka ikut menyejahterakan masyarakat di daerah merupakan solusi kongkrit bagi permasalahan birokrasi yang dihadapi oleh setiap daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh daerah selain terkait kesenjangan dalam pengelolaan sumber daya alam yang berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain juga terkait dengan pengelolaan keuangan daerah. Proses desentralisasi merupakan ruang gerak yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam rangka melakukan pengelolaan keuangan daerah. Keuangan daerah yang akan didapatkan oleh pemerintah di daerah selain berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada setiap tahunnya. Dengan demikian dalam rangka mengelola keuangan daerah lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) para pejabat daerah di daerahnya masing-masing diberi kewenangan untuk mengelola keuangannya tersebut.
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diawali dengan penyampaian kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sejalan dengan rencana kerja pemerintah daerah sebagai landasan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk diubah dalam pembiayaan pendahuluan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Berdasarkan kebijkan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang telah disepakati dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pemerintah daerah bersama bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan lain bagi setiap Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD).
Kepala Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) selanjutnya menyusun Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Pemerintah Daerah (RKA-SKPD) yang disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Rencana kerja ini disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun. Rencana kerja dan anggaran ini kemudian disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk dibahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Hasil pembahasan ini disampaikan kepada pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan rancangan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Proses selanjutnya pemerintah daerah mengajukan rancangan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disertai penjelasan dari dokumen-dokomen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk dibahas dan disetujui. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) ini terinci sampai dengan untuk organisasi, fungsi, program, kegiatan dan belanja [14].
Berdasarkan isi pokok dari Pasal 179 Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah disebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai tanggal 31 Desember. Hal ini adalah logis mengingat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disamping Pendapatan Asli Daerah (PAD) ialah berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) yang dianggarkan untuk setiap daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN). Daerah (provinsi, kabupaten dan kota) dapat menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setelah mendapat konfirmasi Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan dengan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Adapun penggunaan Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan oleh daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap daerah yang bersangkutan. Pembiayaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah juga termasuk Dana Alokasi Khusus (DAK) [15]. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional [16]. Anggaran Pendapatan Belanja dan Daerah (APBD) adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan Belanja dan Daerah (APBD) dan merupakan model penganggaran pemerintah daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah [17].
Dengan demikian semua anggaran daerah terkait besar dan kecilnya akan tergantung pada berubah dan tidaknya anggaran melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Perubahan anggaran pada pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memungkinkan adanya pergeseran, penambahan, atau pengurangan anggaran. Khusus terkait pergeseran anggaran tidak akan mengubah peraturan daerah murni seperti pergeseran perincian objek belanja. Kondisi tersebut akan sulit dipantau secara manual karena kompleksitas transaksi dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang memungkinkan terjadinya pergeseran yang tidak terpantau dalam perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun pada dokumen pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

B.     Bentuk pertanggung jawaban kepala daerah terkait pengelolan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) agar tidak terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan secara administratif

1.      Proses penetapan dan perubahan besar kecilnya dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai bentuk penyimpangan dari tanggung jawab kepala daerah
Perubahan dari dana daerah ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran tertentu berakhir. Jangka waktu 3 (tiga) bulan dimaksudkan agar pelaksanaannya dapat selesai pada akhir tahun anggaran tertentu. Dalam Pasal 183 ayat (1) sampai (3) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah diterangkan bahwa perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat dilakukan apabila terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijkan umum Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD), kedaaan yang  menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja serta keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan dalam tahun anggaran berjalan. Hal serupa juga dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No.58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah pada Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, dan Pasal 85 mengenai perubahan Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD) dengan perkembangan dan/ atau perubahan keadaan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan pemerintah daerah dalam rangka penyusunan prakiraann perubahan atas Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggarannya yang bersangkutan, apabila terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijkan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antas unit organisasi, antar kegiatan dan antar jenis belanja, keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk tahun berjalan, keadaan darurat dan keadaan luar biasa. Pelaksanaan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hanya dapat dilakukan satu kali dalam satu tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa yang menyebabkan estimasi penerimaan dan/atau pengeluaran Anggaran Pendapatn dan Belanja Daerah (APBD) mengalami kenaikan atau penurunan lebih besar daripada 50% yaitu selisih (gap) kenaikan antara pendapatan dan belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Perubahan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat dilakukan apabila terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi Kebijakan Umum Anggaran (KUA), keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, antar jenis belanja, keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan dalam tahun berjalan, keadaan darurat dan keadaan luar biasa[18].
Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dimungkinkan jika terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terhadap keadaan yang menyebabkan hambatan dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan dan antar jenis belanja serta terjadi keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih pada anggaran tahun sebelumnya hanya digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan selain itu dalam keadaan darurat. Pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya dan selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan/ atau disamakan dalam Laporan Realisasi Anggaran (LSA) [19]. Dalam proses penetapan dan perubannya melibatkan banya pihak pejabat daerah sebagai pejabat yang memiliki otoritas tertinggi guna mengelola keuangan daerah. Kewenangan yang dimiliki oleh pejabat daerah tersebut juga terdapat landasan yuridis yang dituangkan berupa hukum positif sebagai payung hukum dalam setiap pengambil kebijakannya.

2.      Pola pertanggung jawaban secara administratif kepala daerah terhadap proses pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia
Dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pasal 67:
“Setiap Pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada pengeluaran atas beban APBD, jika anggaran untuk mendanai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia”.
Pada Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah,  proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam Pasal 20 ayat (1) disebutkan
“Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang disusun dengan pendekatan kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memuat: a. sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja; b. standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan; c. bagian pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, belanja modal/pembangunan”. Selanjutnya di ayat (2) disebutkan “Untuk mengukur kinerja keuangan Pemerintah Daerah, dikembangkan standar analisa belanja, tolak ukur kinerja dan standar biaya”.
Dalam Keputusan Mentri Dalam Negeri Nomor : 29 tahun 2002 tanggal 10 Juni 2002 tentang pedoman pengurusan, pertanggung jawaban dan pengawasan keuangan dan belanja daerah, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah
Pasal 49 ayat (1) :
“Pengeluaran kas yang mengakibatkan beban APBD tidak dapat dilakukan sebelum rencana peraturan daerah tentang APBD disahkan dan ditempatkan dalam lembaran daerah”.
Pasal 49 ayat (5) :
“Setiap pengeluaran kas harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih”.
Dalam menentukan besar dan kecilnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus memperhatikan tolak ukur standarisasi agar tidak disalah gunakan sebagai celah terjadinya tindak pidana korupsi. Pada Pasal 26 ayat (1) Keputusan Mentri Dalam Negeri No.29 tahun 2002 tentang pengelolaan keuangan daerah yang menyatakan bahwa perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat dilakukan sehubungan dengan:
a.    Kebijakan pemerintah yang bersifat strategis;
b.    Penyesuaian karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak                      terpenuhi; dan
c.    Terjadinya kebutuhan mendesak.
Substansi yang sama terkait perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) juga disebutkan dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah disebutkan bahwa:
“(1) Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dilakukan sehubungan dengan: a. Kebijaksanaan Pemerintah Pusat dan atau Pemrintah Daerah yang bersifat strategis; b. Penyesuaian akibat tidak tercapainya target Penerimaan Daerah yang ditetapkan; c. Terjadinya kebutuhan mendesak. (2) Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran tertentu berakhir”.
Banyak sekali aksi-aksi masyarakat menentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang tidak adil  yang makin marak di daerah, karena anggaran daerah lebih banyak dialokasikan untuk kepentingan pejabat dari pada untuk pelayanan umum ekonomi rakyat [20]. Sebagai bahan telah analisis dan komparasi Penulis akan mencoba menggali lebih dalam dari Pasal 25 Peraturan Pemerintah No.105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah disebutkan yang pada intinya tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak dapat dilakukan sebelum ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan ditempatkan dalam Lembaran Daerah. Selanjutnya dalam Keputusan Mentri Dalam Negeri No. 29 tahun 2002tentang pengelolaan keuangan daerah Pasal  55  ayat (2) disebutkan adanya larangan mengeluarkan pengeluaran atas beban belanja daerah untuk tujuan lain dari pada yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tersebut. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut David.B.Truman yaitu sebagai berikut: ”any politician whether legislator, administrator or judge whether elected or appointed is obligated to make decision that are guided in part by the relevant knowledge that is available to him”.[21] Bertolak dari berbagai aturan tersebut diatas Penulis berpendapat bahwa dalam tahap penyusunan sampai penetapan peraturan daerah akan melibatkan pihak legislatif yang diwakili oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan pihak eksekutif yang diwakili oleh kepala daerah. Dalam pembahasan dan penetapan tentang besar dan kecilnya dana yang akan digunakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kedua belah pihak sama-sama mempunyai kepentingan untuk menaikan anggaran guna kepentingan pribadi dan golongan tertentu. Kesepakatan tersebut ditetapkan dalam peraturan daerah yang menjadi kesepakatan bersama. Peraturan daerah tersebut telah mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku untuk umum. Selain mengeluarkan peraturan daerah sebagai salah satu legalisasi terhadap setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah, kepala daerah selaku pemegang kekuasaan eksekutif juga berwenang untuk mengeluarkan keputusan kepala daerah. Keputusan kepala daerah tersebut banyak menimbulkan celah guna mengamankan kepentingan pribadi saja jika kebijakan yang diambil tidak melalui tahap musyawarah antara pejabat daerah daerah yang satu dengan yang lain. Dalam proses pembuktian selanjutnya peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tersebut hanya digunakan sebagai payung hukum untuk menutupi kesalahan mereka dari jerat hukumnya. Selain menggunakan adanya aturan peraturan daerah mereka juga menggunakan administrasi dari sekretaris daerah untuk menutupi kesalahannya.

a.      Permainan Peraturan Daerah (Perda) sebagai alat penyimpangan administratif kepala daerah
Kebijakan atau keputusan kepala daerah tidak melaksanakan Peraturan Daerah (Perda) di bidang desentralisasi dan tugas pembantuan dapat bersifat mengatur (regeling) dan ketetapan (beschiking). Kebijakan di bidang dekonsentrasi semestinya tidak mengatur melainkan bersifat peraturan kebijaksanaan (beleidsrege) karena secara hirearki kewenangan pengaturan dibatasi sampai tingkat Peraturan Mentri (Permen) [22]. Tugas pokok dari kepala daerah termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selain mereka sebagai pejabat legislator dalam proses pembentukan peraturan daerah juga sebagai ujung tombak dalam mengawal dan mengontrol sistem administrasi yang ada di daerah. Aturan dan benteng hukum terkait prosedur administrasi penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja dan Dearah (APBD) adalah tanggung jawab utama dari para anggota dewan, karena merekalah yang mempunyai wewenang dalam legalisasi pengesahan ketika mekanisme pengajuan keuangan daerah akan digunakan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Dearah (APBD) tersebut. Sedikit ada kesalahan dalam pengawasan administrasi akan menjadikan celah bagi kebocoran anggaran daerah mengalir pada pihak-pihak yang hendak melakukan modus operandi mark up dana daerah.
Kepala daerah mengatasnamakan pengguanaan dana taktis dan atas nama kepentingan organisasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Kebijakan tersebut diakomodir dengan mengeluarkan keputusan kepala daerah. Penggunaan dana tersebut telah mendapat legalisasi dari pemegang kekuasaan tertinggi yaitu dari kepala daerah dengan kebijakan yang dikeluarkannya. Salah satu modus lain adalah dengan memanfaatkan administrasi daerah sebagai legalisasinya, sehingga seolah-olah penggunaan dana terebut sah berdasarkan hukum. Pola dan karakteristik modus mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menggunakan cara yang telah tersistematis dan terstruktur. “Aturan tertulis adalah payung hukumnya, administrasi daerah adalah tameng hukumnya dan pejabat pemerintah adalah benteng hukumnya”. Ketiganya saling bersinergisitas dengan membentuk pola-pola koordinasi organisasi yang akan digunakan sebagai senjata pamungkas dalam manipulasi keuangan daerah. Fenomena dalam birokrasi publik ini merupakan bentuk dan celah untuk terjadinya tindak kejahatan korupsi lainnya.
Keterkaitan penyusunan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yaitu peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD), Gubernur, Bupati dan Wali kota. Untuk  melaksanakan peraturan daerah dan atas kuasa dari peraturan perundang-undangan kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah atau keputusan kepala daerah [23]. Dengan demikian setiap kebijakan yang dibuat secara bersama-sama antara pejabat daerah yang satu dengan yang lain akan berdampak terhadap pada besar dan kecilnya dana yang akan dikeluarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Beban dana yang dikeluarkan dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akan berpotensi terhadap kerugian keuangan daerah pada khususnya dan kerugian keuangan negara pada umumnya. Para pelaku yang terlibat langsung dalam proses manipulasi dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur, Bupati atau Wali Kota, Sekretaris Daerah dan para pejabat daerah lainnya. Proses mark up Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) titik mulanya berawal dari adanya konstelasi politik dan kompromi dari semua pejabat daerah untuk membuat peraturan dalam bentuk Peraturan Daerah agar dapat mengakomodir kepentingan yang sesuai diinginkan mereka. Penetapan anggaran dan besarnya biaya belanja daerah dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diatur dalam Peraturan Daerah, sehingga semua belanja yang dilakukan sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal yang lebih ironisnya lagi adalah belanja dan pembiayaan yang dilakukan daerah mengkamuflasekan atas nama otonomi daerah dan kesejahteraan rakyat, sehingga besar dana yang dikeluarkan justru menyimpang dari Peraturan Daerah yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

b.      Pertanggung jawaban kepala daerah sebagai bentuk pengingkaran terhadap konstituen

Dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah disebutkan bahwa “Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun”. Hal ini mengindikasikan bahwa seorang kepala daerah secara administratif merupakan wakil dari pemerintah pusat yang ada di daerah dan harus dapat bertanggung jawab terhadap setiap kebijakan yang diambilnya. Secara normatif pertanggung jawaban harus disampaikan kepada presiden selaku kepala pemerintahan, akan tetapi akan berbanding terbalik jika Penulis harmonisasikan dengan konsep Joseph R.Gusfiedtentang development justice atau pembangunan keadilan akan membedakan hukum dalam instrument dan simbolis [24], maka kepala daerah yang telah dipilih rakyat di daerahnya harus mampu bertanggung jawab secara moral mengingat para konstituennya ada di daerah. Dalam konsep pergeseran politik dan hukum hal ini seiring dengan pola bergesernya locus politik dari pemerintah oleh birokrat(government by bureucrat) ke pemerintah oleh politisi (government by politician) [25]. Selain itu juga terdapat pola bottom up planning [26] yang merupakan bentuk birokrasi yang sangat sulit dan selalu merugikan masyarakat. Hal ini juga akan mengiringi pola dan perilaku yang dilakukan oleh kepala daerah terkait kebijakan yang akan diambil. Konsep pertanggung jawaban melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) jelas kurang efektif. Pertanggung jawaban tersebut hanya akan menggugurkan fungsi secara linear administratif sebagai kepala daerah selama kinerjanya karena yang akan mengeksekusi tentang fungsi jabatan secara struktural masih di tangan presiden. Menurut Penulis konsep pertanggung jawaban yang dilakukan oleh kepala daerah di lembaga legislatif tidak hanya memenuhi formalitas belaka akan tetapi harus mampu memberikan sanksi jika memang dirasa kinerja di daerah kurang memenuhi rasa keadilan di dalam masyarakat. Ketika laporan pertanggung jawaban ditolak maka pihak legislatif harus dapat memberikan sanksi tegas sampai pemberhentian kepala daerah. Walaupun secara normatif sangat bertentangan dengan aturan akan tetapi dengan konsep ini akan memberikan terobosan hukum disaat hukum di negeri ini mengalami degradasi politisasi yang lebih mengarah kepada orientasi kepentingan pribadi saja bukan lagi kepentingan rakyat yang diutamakan. Cara lain yang dapat ditempuh adalah sanksi tersebut dituangkan dalam sebuah rekomendasi kepada pusat agar kepala daerah agar dikeluarkan sebuah Peraturan Presiden untuk pemberhentian kepala daerah.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1.      Bahwa konsep politik hukum yang diberikan dari pemerintah pusat kepada daerah merupakan proses implementasi transformasi secara administratif baik dari segi pemberian tugas maupun sampai pelimpahan wewenang. Kepala daerah mempunyai otoritas tertinggi dalam menyikapi transformasi yang diberikan oleh pemerintah pusat baik dari pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun kebijakan yang akan diambilnya.

2.      Kepala daerah mempunyai peranan penting dalam proses Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di daerah. Besar dan kecilnya dapat ditentukan dengan kewengan yang dimiliki. Potensi penyimpangan secara administratif lewat Peraturan Daerah (Perda) akan dapat dimanipulasi ke arah penggunaan dana daerah diluar kebutuhan yang seharusnya dukeluarkan. Konstituen yang telah memilih di daerah telah dikebiri karena pertanggung jawaban secara struktural bukan di daerah akan tetapi kepada pemerintah pusat.

B. Saran
1.      Seharusnya setiap Peraturan Daerah (Perda) yang dikeluarkan oleh kepala daerah mendapat pengawasan yang ketat dari dua (2) jalur yaitu Pertama, dari pihak legislatif di daerah dan Kedua, dari Kementrian Dalam Negeri agar setiap kebijakan yang diambil sebelum mendapat persetujuan dari pusat dapat diawasi dan diteliti secara detail terkait dana yang akan dibutuhkan di daerah dari pengambilan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
2.      Seharusnya kepala daerah walaupun secara administratif bertanggung jawab terhadap presiden secara struktural harus tetap dapat menjalankan tugas dan wewenangnya dengan baik sebagai bentuk kesepaktan bersama terhadap konstituen. Walaupun dari partai politik harus tetap dikesampingkan jika tuntutan rakyat jauh lebih besar untuk segara diambil kebijakan.
3.      Seharusnya pihak legislatif di daerah harus dapat memberikan ketegasan terhadap kepala daerah jika laporan pertanggung jawabannya telah terbukti banyak indikasi pelanggaran dan harus segera memberikan rekomendasi terhadap pemerintah pusat agar segera dikeluarkan surat pemberhentian kepada kepala daerah.





[1] Syarif Hidayat,  Too Much Too Soon Local State Elite’s Perspective On The Puzzle Of  Contemporary Indonesian    
      Regional Autonomy Policy (Jakarta, 2005), hal. 284
[2] Mahfud, MD, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi (Jakarta, 2006), hal.5
[3] M.R. Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintah Daerah (Malang, 2007), hal.99
[4] BN Marbun, DPRD dan Otonomi Daerah  (Jakarta, 2005), hal.9
[5] Mubyarto, Prosperk otonomi daerah dan perekonomian Indonesia Pasca  Krisis Ekonomi(Yogyakarta, 2001), hal.197
[6] Timur Mahardika, Tarik Ulur Relasi Pusat Daerah Perkembangan Pengaturan Pemerintah Daerah dan Catatan Ktitis (Yogyakarta, 2004), hal.404
[7] Mahfud, MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta, 1999), hal. 183

[8] Syaukani dkk, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan (Jakarta, 2002), hal. 204
[9] Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta, 2006), hal.183
[10] Mahfud, MD, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi (Jakarta, 2006), hal.14
[11] Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi (Jakarta, 2007), hal. 86
[12] Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintah Daerah (Malang, 2002), hal. 45
[13] Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara (Jakarta, 2007), hal.29
[14] Adrian Sutedi, Implikasi Hukum Atas Sumber Pembiayaan Daerah Dalam Kerangka  Otonomi Daerah (Jakarta, 2009), hal.78
[15] Marbun, DPRD dan Otonomi Daerah. (Jakarta, 2005), hal. 139
[16] Sony Yuwono dkk, Memahami APBD dan Permasalahannya “Panduan Pengelolaan Daerah” (Malang, 2007),
    hal.51
[17] Hanif Nurcholis, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah (Jakarta, 2005), hal.109
[18] Soni Yuwono dkk, Memahami APBD dan Permasalahannya “Panduan Pengelolaan Daerah” (Malang, 2008) , hal.368
[19] Adrian Sutedi, Implikasi Hukum Atas Sumber Pembiayaan Daerah Dalam Kerangka  Otonomi Daerah (Jakarta, 2009), hal.79)
[20] Teten Masduki, Penuntutan Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintah Daerah (Jakarta, 2002), hal. xxiv
[21] Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia (Jakarta, 1988),  hal. 75
[22] Abdul Latief, Hukum dan Peraturan kebijakan pada pemerintah daerah (Yogyakarta, 2006), hal.12
[23] Marbun, DPRD dan Otonomi Daerah (Jakarta, 2005), hal.63
[24] Anthon F. Susanto, Wajah Peradilan Kita Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan    
    Akuntabilitas Peradilan Pidana (Bandung, 2004), hal.49
[25] Tim Lapera, Otonomi Versi Negara (Yogyakarta, 2000), hal.xxv
[26] Djoko Sudantoko, Dikelola Otonomi Daerah (Yogyakarta, 2005), hal.5


Daftar Pustaka
Abdul Latief. 2006.  Hukum dan Peraturan kebijakan pada pemerintah daerah. Yogyakarta: UI  Press Yogyakarta
Adrian Sutedi. 2009. Implikasi Hukum Atas Sumber Pembiayaan Daerah Dalam Kerangka  Otonomi Daerah. Jakarta: Sinar Grafika
Djoko Sudantoko, 2005. Dikelola Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adi Yogyakarta
Budi Winarno. 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Anggota IKAPI
Hanif Nucholis. 2005. Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Josef Riwu Kaho.1988. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Mahfud, MD.2006. Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
……….1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media
Marbun, BN.2005.DPRD dan Otonomi Daerah.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Muluk, M.R. Khairul.2007. Desentralisasi dan Pemerintah Daerah. Malang: Anggota IKAPI Jatim
Mubyarto.2001.Prosperk otonomi daerah dan perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi.Yogyakarta:Anggota IKAPI
Ni’matul Huda. 2007. Hukum Tata Negara. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta
Sony Yuwono dkk. 2007. Memahami APBD dan Permasalahannya “Panduan Pengelolaan Daerah”. Malang: Bayumedia Publishing
Syarif Hidayat. 2005. Too Much Too Soon Local State Elite’s Perspective On The Puzzle Of  Contemporary Indonesian Regional Autonomy Policy. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Syaukani dkk. 2002. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Jakarta: Pustaka Pelajar
Susanto Anthon F.2004. Wajah Peradilan Kita Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan
Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana.Bandung:Refika Aditama
Timur Mahardika.2000.Tarik Ulur Relasi Pusat Daerah Perkembangan Pengaturan Pemerintah Daerah dan Catatan Ktitis.Yogyakarta:Lapera Pustaka Utama      
Titik Triwulan Tutik. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka
Tim Lapera. 2000. Otonomi Versi Negara. Yogyakarta: Yayasan Lapera Indonesia
Teten Masduki. 2006. Penuntutan Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintah Daerah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar