Pengaturan tentang delik kesusilaan dalam KUHP menggolongkan jenis tindakan pidana kesusilaan sebagai berikut, yakni:
1. Tindak pidana kesusilaan dengan jenis kejahatan, yaitu pasal 281 s.d 303 Bab XIV Buku II KUHP.
Pasal 281
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;
2. barang siapa dengan sengaja dan di muka orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.
Pasal 282
(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin, memasukkan ke dalam negeri, meneruskan mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan, atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambaran atau benda itu melanggar kesusilaan, dengan pidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama sebagai pencaharian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah.
Pasal 283
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah, barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa, dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa membacakan isi tulisan yang melanggar kesusilaan di muka orang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat yang lalu, jika isi tadi telah diketahuinya.
(3) Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah, barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan, tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat pertama, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga, bahwa tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan atau alat itu adalah alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan.
Pasal 283 bis
Jika yang bersalah melakukan salah satu kejahatan tersebut dalam pasal 282 dan 283 dalam menjalankan pencahariannya dan ketika itu belum lampau dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi pasti karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat di cabut haknya untuk menjalankan pencarian tersebut.
Pasal 284
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 286
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 287
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umumnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.
Pasal 288
(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 289
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 290
Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
2. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin;
3. barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
Pasal 291
(1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun;
(2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285. 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 292
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Pasal 294
(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama:
1. pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya,
2. pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.
Pasal 295
(1) Diancam:
1. dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;
2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas, yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencaharian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.
Pasal 296
Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
Pasal 297
Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Pasal ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Pasal 65 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pasal 298
(1) Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan dalam pasal 281, 284 – 290 dan 292 – 297, pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 – 5 dapat dinyatakan.
(2) Jika yang bersalah melakukan salah satu kejahatan berdasarkan pasal 292 – 297 dalam melakukan pencahariannya, maka hak untuk melakukan pencarian itu dapat dicabut.
Pasal 299
(1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.
(2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencaharian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru-obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
(3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencaharian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal 300
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barang siapa dengan sengaja menjual atau memberikan minuman yang memabukkan kepada seseorang yang telah kelihatan mabuk;
2. barang siapa dengan sengaja membikin mabuk seorang anak yang umurnya belum cukup enam belas tahun;
3. barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang untuk minum minuman yang memabukkan.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(4) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencahariannya, dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu.
Pasal 301
Barang siapa memberi atau menyerahkan kepada orang lain seorang anak yang ada di bawah kekuasaannya yang sah dan yang umurnya kurang dan dua belas tahun, padahal diketahui bahwa anak itu akan dipakai untuk atau di waktu melakukan pengemisan atau untuk pekerjaan yang berbahaya, atau yang dapat merusak kesehatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 302
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan
1. barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya;
2. barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.
(3) Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas.
(4) Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana.
Pasal 303
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin:
1. dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencaharian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu;
2. dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata-cara;
3. menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai pencarian.
(2) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencahariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu.
(3) Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.
Pasal 303 ayat (1), telah dirubah pidana penjara dan dendanya menjadi “selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah” oleh Pasal 2 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.
Pasal 303 bis
1. Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sepuluh juta rupiah:
1. barang siapa menggunakan kesempatan main judi, yang diadakan dengan melanggar ketentuan pasal 303;
2. barang siapa ikut serta main judi di jalan umum atau di pinggir jalan umum atau di tempat yang dapat dikunjungi umum, kecuali kalau ada izin dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu.
2. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran ini, dapat dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak lima belas juta rupiah.
Pasal ini sebelumnya merupakan Pasal 542 KUHP yang sudah dirubah ancaman hukumannya oleh Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Oleh Pasal 2 ayat (4) undang-undang yang sama, Pasal 542 KUHP tersebut dirubah dan dijadikan Pasal 303 bis KUHP.
2. Tindak pidana kesusilaan dengan jenis pelanggaran, yaitu pasal 532 s.d 547 Bab VI Buku III KUHP.
Pasal 532
Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga hari atau pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah:
1. barang siapa di muka umum menyanyikan lagu-lagu yang melanggar kesusilaan;
2. barang siapa di muka umum mengadakan pidato yang melanggar kesusilaan;
3. barang siapa di tempat yang terlihat dari jalan umum mengadakan tulisan atau gambaran yang melanggar kesusilaan.
Pasal 533
Diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah:
1. barang siapa di tempat untuk lalu lintas umum dengan terang-terangan mempertunjukkan atau menempelkan tulisan dengan judul, kulit, atau isi yang dibikin terbaca, maupun gambaran atau benda, yang mampu membangkitkan nafsu berahi para remaja;
2. barang siapa di tempat untuk lalu lintas umum dengan terang-terangan memperdengarkan isi tulisan yang mampu membangkitkan nafsu berahi para remaja;
3. barangsiapa secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, maupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, tulisan atau gambaran yang dapat membangkitkan nafsu berahi para remaja;
4. barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus atau sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan gambaran atau benda yang demikian, pada seorang belum dewasa dan di bawah umur tujuh belas tahun;
5. barang siapa memperdengarkan isi tulisan yang demikian di muka seorang yang belum dewasa dan di bawah umur tujuh belas tahun.
Pasal 534
Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan sesuatu sarana untuk mencegah kehamilan maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan (diensten) yang demikian itu, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah.
Pasal 535
Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan sesuatu sarana untuk menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan yang demikian itu, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 536
(1) Barang siapa terang dalam keadaan mabuk berada di jalan umum, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.
(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama atau yang dirumuskan dalam pasal 492, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama tiga hari.
(3) Jika terjadi pengulangan kedua dalam satu tahun setelah pemidanaan pertama berakhir dan menjadi tetap, dikenakan pidana kurungan paling lama dua minggu.
(4) Pada pengulangan ketiga kalinya atau lebih dalam satu tahun, setelah pemidanaan yang kemudian sekali karena pengulangan kedua kalinya atau lebih menjadi tetap, dikenakan pidana kurungan paling lama tiga bulan.
Pasal 537
Barang siapa di luar kantin tentara menjual atau memberikan minuman keras atau arak kepada anggota Angkatan Bersenjata di bawah pangkat letnan atau kepada istrinya, anak atau pelayan, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga minggu atau pidana denda paling tinggi seribu lima ratus rupiah.
Pasal 538
Penjual atau wakilnya yang menjual minuman keras yang dalam menjalankan pekerjaan memberikan atau menjual minuman keras atau arak kepada seorang anak di bawah umur enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga minggu atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 539
Barang siapa pada kesempatan diadakan pesta keramaian untuk umum atau pertunjukan rakyat atau diselenggarakan arak-arakan untuk umum, menyediakan secara cuma-cuma minuman keras atau arak dan atau menjanjikan sebagai hadiah, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua belas hari atau pidana denda paling tinggi tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
Pasal 540
1. Diancam dengan pidana kurungan paling lama delapan hari atau pidana denda paling banyak dua ribu dua ratus lima puluh rupiah:
1. barang siapa menggunakan hewan untuk pekerjaan yang terang melebihi kekuatannya;
2. barang siapa tanpa perlu menggunakan hewan untuk pekerjaan dengan cara yang menyakitkan atau yang merupakan siksaan bagi hewan tersebut;
3. barang siapa menggunakan hewan yang pincang atau yang mempunyai cacat lainnya, yang kudisan, luka-luka atau yang jelas sedang hamil maupun sedang menyusui untuk pekerjaan yang karena keadaannya itu tidak sesuai atau yang menyakitkan maupun yang merupakan siksaan bagi hewan tersebut;
4. barang siapa mengangkut atau menyuruh mengangkut hewan tanpa perlu dengan cara yang menyakitkan atau yang merupakan siksaan bagi hewan tersebut;
5. barang siapa mengangkut atau menyuruh mengangkut hewan tanpa diberi atau disuruh beri makan atau minum.
2. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun setelah ada pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama karena salah satu pelanggaran pada pasal 541 atau karena kejahatan berdasarkan pasal 302, dapat dikenakan pidana kurungan paling lama empat belas hari.
Pasal 541
1. Diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah:
1. barangsiapa menggunakan sebagai kuda muatan, tunggangan atau tarikan, padahal kuda tersebut belum tukar gigi atau kedua gigi dalamnya di rahang atas belum menganggit kedua gigi dalamnya di rahang bawah;
2. barangsiapa memasangkan pakaian kuda pada kuda tersebut dalam butir 1 atau mengikat maupun memasang kuda itu pada kendaraan atau kuda tarikan;
3. barangsiapa menggunakan sebagai kuda muatan, tunggangan atau tarikan seekor kuda induk, dengan membiarkan anaknya yang belum tumbuh keenam gigi mukanya, mengikutinya.
2. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun setelah ada pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama atau yang berdasarkan pasal 540, ataupun karena kejahatan berdasarkan pasal 302, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama tiga hari.
Pasal 542
Ditiadakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974.
Pasal 543
Ditiadakan berdasarkan S. 23-277, 352.
Pasal 544
(1) Barang siapa tanpa izin kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk itu mengadakan sabungan ayam atau jangkrik di jalan umum atau di pinggirnya, maupun di tempat yang dapat dimasuki oleh khalayak umum, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidananya dapat dilipatduakan.
Pasal 545
(1) Barang siapa menjadikan sebagai pencahariannya untuk menyatakan peruntungan seseorang, untuk mengadakan peramalan atau penafsiran impian, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah.
(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidananya dapat dilipatduakan.
Pasal 546
Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai kekuatan gaib;
2. barang siapa mengajar ilmu-ilmu atau kesaktian-kesaktian yang bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan perbuatan pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri.
Pasal 547
Seorang saksi, yang ketika diminta untuk memberi keterangan di bawah sumpah menurut ketentuan undang-undang, dalam sidang pengadilan memakai jimat-jimat atau benda-benda sakti, diancam dengan pidana kurungan paling lama sepuluh hari atau pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah.
RUU KUHP mengelompokkan tindak pidana terhadap perbuatan yang melanggar kesusilaan dalam Pasal 467 s.d 505 Bab XVI RUU KUHP.
B. UNDANG-UNDANG NEGARA RI NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG ANTI
PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.Pornografi adalah
materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa,
ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun,
syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat
membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam
masyarakat.
2.Jasa pornografi
adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan
atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi
teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta
surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3.Setiap orang adalah
orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum.
4.Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
5.Pemerintah adalah
Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6.Pemerintah Daerah
adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
Pasal 2
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.
Pasal 3
Pengaturan pornografi bertujuan:
a.mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
Pengaturan pornografi bertujuan:
a.mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
b.memberikan pembinaan
dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
c.memberikan kepastian
hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak
dan perempuan; dan
d.mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
d.mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN
LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat:
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat:
e.persenggamaan, termasuk
persenggamaan yang menyimpang;
f.kekerasan seksual;
g.masturbasi atau
onani;
h.ketelanjangan atau
tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau
i.alat kelamin.
(2) Setiap orang
dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara
eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara
eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau
memamerkan aktivitas seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.
Pasal 5
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan.
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan.
Pasal 7
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 8
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 9
Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Pasal 11
Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.
Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.
Pasal 12
Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.
Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.
Pasal 13
(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.
(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan.
(2) Pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.
Pasal 14
Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai:
a.seni dan budaya;
b.adat istiadat; dan
c.ritual tradisional.
Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai:
a.seni dan budaya;
b.adat istiadat; dan
c.ritual tradisional.
Pasal 15
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PERLINDUNGAN ANAK
PERLINDUNGAN ANAK
Pasal 16
Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.
Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi.
Pasal 17
1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
2) Ketentuan mengenai
pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PENCEGAHAN
PENCEGAHAN
Bagian Kesatu
Peran Pemerintah
Peran Pemerintah
Pasal 18
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 19
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah berwenang:
a.melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah berwenang:
a.melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
b.melakukan pengawasan
terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan
c.melakukan kerja sama
dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri,
dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 20
Untuk melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah Daerah berwenang:
Untuk melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah Daerah berwenang:
a.melakukan pemutusan
jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi,
termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;
b.melakukan pengawasan
terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;
c.melakukan kerja sama
dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan
d.mengembangkan sistem
komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di
wilayahnya.
Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat
Peran Serta Masyarakat
Pasal 21
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 22
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat dilakukan dengan cara:
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat dilakukan dengan cara:
a.melaporkan
pelanggaran Undang-Undang ini;
b.melakukan gugatan
perwakilan ke pengadilan;
c.melakukan sosialisasi
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pornografi; dan
d.melakukan pembinaan
kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan secara
bertanggung jawab dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 24
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 25
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada:
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada:
a.barang yang memuat
tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik,
optik, atau bentuk penyimpanan data lainnya; dan
b.data yang tersimpan
dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.
Pasal 26
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.
(2) Untuk kepentingan
penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik
berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang diminta
penyidik.
(3) Pemilik data,
penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan
dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak
menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik
dari penyidik.
Pasal 27
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.
Pasal 28
(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas perkara.
(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas perkara.
(2) Data elektronik
yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan
atau dihapus.
(3) Penyidik, penuntut
umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan
wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik
isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.
BAB VI
PEMUSNAHAN
PEMUSNAHAN
Pasal 29
(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.
(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.
(2) Pemusnahan produk
pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum
dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a.nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi;
b.nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c.hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d.keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.
a.nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi;
b.nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c.hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d.keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
KETENTUAN PIDANA
Pasal 30
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 31
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 32
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 33
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 34
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 35
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 36
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 37
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 38
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai obyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai obyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Pasal 39
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 40
(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana
pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan
oleh orang?orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan
lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun
bersama?sama.
(3) Dalam hal tuntutan
pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh
pengurus.
(4) Pengurus yang
mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang
lain.
(5) Hakim dapat
memerintahkan pengurus korporasi agar pengurus korporasi menghadap sendiri di
pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus
tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan
pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan
penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat
tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Pidana pokok yang
dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan
maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam
setiap pasal dalam Bab ini.
Pasal 41
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenakan pidana tambahan berupa:
a.pembekuan izin usaha;
b.pencabutan izin usaha;
c.perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan/atau
d.pencabutan status badan hukum.
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenakan pidana tambahan berupa:
a.pembekuan izin usaha;
b.pencabutan izin usaha;
c.perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan/atau
d.pencabutan status badan hukum.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.
Pasal 43
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 44
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
PENJELASAN:
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “persenggamaan yang menyimpang” antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat dan binatang, oral seks, anal seks, lesbian, homoseksual.
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “persenggamaan yang menyimpang” antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat dan binatang, oral seks, anal seks, lesbian, homoseksual.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”kekerasan seksual” antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan, pemerkosaan.
Yang dimaksud dengan ”kekerasan seksual” antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan, pemerkosaan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “mengesankan ketelanjangan” adalah penampakan tubuh dengan menunjukkan ketelanjangan yang menggunakan penutup tubuh yang tembus pandang.
Yang dimaksud dengan “mengesankan ketelanjangan” adalah penampakan tubuh dengan menunjukkan ketelanjangan yang menggunakan penutup tubuh yang tembus pandang.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “mengunduh” adalah mengalihkan atau mengambil fail (file) dari sistem teknologi informasi dan komunikasi.
Yang dimaksud dengan “mengunduh” adalah mengalihkan atau mengambil fail (file) dari sistem teknologi informasi dan komunikasi.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan” misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya.
Yang dimaksud dengan “yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan” misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya.
Kegiatan
memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang
pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau lokasi yang
disediakan untuk tujuan lembaga dimaksud.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan “mempertontonkan diri” adalah perbuatan yang dilakukan atas inisiatif dirinya atau inisiatif orang lain dengan kemauan dan persetujuan dirinya. Yang dimaksud dengan “pornografi lainnya” antara lain kekerasan seksual, masturbasi atau onani.
Yang dimaksud dengan “mempertontonkan diri” adalah perbuatan yang dilakukan atas inisiatif dirinya atau inisiatif orang lain dengan kemauan dan persetujuan dirinya. Yang dimaksud dengan “pornografi lainnya” antara lain kekerasan seksual, masturbasi atau onani.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pembuatan” termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pembuatan” termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan.
Yang dimaksud dengan
“penyebarluasan” termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor,
mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau
menyediakan.
Yang dimaksud dengan
“penggunaan” termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki
atau menyimpan.
Frasa “selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)” dalam ketentuan ini misalnya
majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, pakaian olahraga
pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “di tempat dan dengan cara khusus” misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi.
Yang dimaksud dengan “di tempat dan dengan cara khusus” misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “materi seksualitas” adalah materi yang tidak mengandung unsur yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau tidak melanggar kesusilaan dalam masyarakat, misalnya patung telanjang yang menggambarkan lingga dan yoni.
Yang dimaksud dengan “materi seksualitas” adalah materi yang tidak mengandung unsur yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau tidak melanggar kesusilaan dalam masyarakat, misalnya patung telanjang yang menggambarkan lingga dan yoni.
Pasal 16
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemblokiran pornografi melalui internet” adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemblokiran pornografi melalui internet” adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi.
Pasal 20
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemblokiran pornografi melalui internet” adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemblokiran pornografi melalui internet” adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi
Pengaturan delik kesusilaan dalam Undang-Undang Pornografi meliputi larangan dan pembatasan perbuatan yang berhubungan dengan pornografi sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 14 UU No. 44 Tahu 2008 tentang Pornografi, yaitu:
1. Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjaulbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi secara eksplisit memuat:
a. persengamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan, atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
2. Setiap orang dilarang menyediakan menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung atau tidak langsung layanan seksual.
C. UNDANG-UNDANG NEGARA RI NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UU ITE)
Dalam UU ITE Bab VII Perbuatan Yang Dilarang dalam Pasal 27, dijelaskan bahwa:
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
D. UNDANG-UNDANG LAIN YANG TERKAIT
1. UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pornogafi, pasal 3, pasal 5, pasal 6, pasal 48, pasal 50, pasal 57, pasal 78, dan pasal 80.
2. UU tentang Pers khususnya pasal 5 ayat (1), pasal 13 ayat (1) huruf a, dan pasal 8.
3. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 78 dan pasal 88.
4. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran; khususnya pasal 5, pasal 36 ayat (5), pasal 46 ayat (3) huruf d, pasal 48 ayat (2) huruf a dan huruf b, pasal 48 ayat (4), pasal 55, pasal 57, dan pasal 58.
5. PP No.7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film.
KOMENTAR
UU Anti Pornografi dan Pornoaksi, meskipun sudah dilaksanakan, kurang bisa menjangkau para pelaku pornografi maupun pornoaksi, dengan bukti bahwa, media dan pers juga tidak membatasi tampilan-tampilan di media yang mengesampingkan nilai-nilai kesusilaan dan nilai-nilai kesopanan, bahkan kurang mencerminkan pribadi yang beriman kepada Tuhan. Pelaku pornografi dan pornoaksi ataupun pelaku tindak pidana kesusilaan lainnya terang-terangan mengekspose diri sehingga menyebar luas keseluruh penjuru, tidak terkecuali yang bisa diakses oleh anak dibawah umur dengan mudah.
Bali merupakan salah
satu daerah yang kuat menolak RUU APP karena RUU APP dinilai memiliki urgensi
yang sangat lemah karena masalah-masalah pelanggaran kesusilaan dan kesopanan
sebenarnya telah diatur dalam produk legislasi yang lain. Selain itu RUU APP
dinilai mengabaikan kenyataan bahwa Indonesia adalah bangsa yang multikultural,
serta substansi RUU ini dinilai bias gender. Pasal 30 :
Setiap orang yang
menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6
(enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
Penjelasan &
Komentar
Pasal 30 ini merupakan
ancaman pemidanaan terhadap pelanggaran atas Pasal 4 ayat (2) UU Pornografi
2008. Adapun Pasal 4 ayat (2) tersebut menegaskan sebagai berikut:
“Setiap orang dilarang
menyediakan jasa pornografi yang:
Menyajikan secara
eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
Menyajikan secara
eksplisit alat kelamin;
Mengeksploitasi atau
memamerkan aktivitas seksual; atau
Menawarkan atau
mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.”
Ketentuan ini
diperuntukkan untuk orang-orang yang memiliki usaha yang bergerak dalam Jasa
Pornografi baik perseroangan maupun dengan melalui badan hukum. Adapun modus
operandinya adalah melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi
teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta
surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
Ketentuan di dalam
Pasal 4 ayat (2) mewajibkan kepada Aparat Hukum untuk tidak sewenang-wenang
dalam menegakan hukum, karena di dalam ketentuan tersebut yang harus dibuktikan
adalah kontinyuitas dan motif ekonomi dari si pelaku dalam menyajikan hal-hal
yang memuat unsur pornografi yang menjadi unsur utama.
Sehingga pelaku yang
merupakan perseorangan yang tidak mencari nafkah dari Jasa Penyediaan
Pornografi tidak dapat dikenakan pasal ini. Misalnya: Seorang yang mendownload
film porno dari internet atau mencopy CD/DVD film porno kemudian mempertontokan
kepada kawan-kawannya di depan umum, sangat lah tidak pas bila dijerat dengan
pasal ini.
Pasal 31 :
Setiap orang yang
meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Penjelasan &
Komentar:
Pasal ini merupakan
manifestasi dari semangat menjaga moral anak bangsa sebagaimana diamanatkan di
dalam TAP MPR No.VI/2001 khusus mengatur tentang etika kehidupan berbangsa.
Bahwa seseorang
dilarang meminjamkan kepada siapapun file atau data atau media apapun yang
memuat konten pornografi, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 ayat (1), atau
meminjamkan mengunduh file.
Yang dimaksud dengan
mengunduh adalah mendownload atau mengambil file atau data melalui jaringan
internet atau dari media lain yang dapat menyebabkan berpindahnya file atau
data.
Pada dasarnya istilah
mengunduh atau mendownload dipergunakan untuk mengambil data dari internet
dengan sistem download untuk dipindahkan ke media penyimpanan baik berupa
Harddisk internal atau eksternal ataupun dalam bentuk Flashdisk USB.
Sedangkan perpindahan
dari handphone ke handphone melalui fasilitas infrared, blutooth maupun MMS,
pada saat ini juga termasuk ke dalam istilah mengunduh atau download. Bahkan
menerima file atau data yang dikirim melalui e-mail pun juga termasuk mengunduh
atau download. Hal tersebut dikarenakan didalam penjelasan resmi UU Pornografi
2008 menggunakan kalimat: “………..jaringan komunikasi lainnya.”
Sehingga UU Pornografi
2008 ini memiliki ruang lingkup yang sangat luas hingga sekecil-kecilnya.
Berkaitan dengan
istilah “meminjamkan”, ini juga memuat permasalahan hukum yang baru. Terkait
dengan kondisi apabila seseorang meminjamkan suatu media data kepada kawannya,
yang tanpa ia sadari hal tersebut memuat Pornografi.
Maka Aparat Penegah
Hukum harus mampu membuktikan bahwa hal tersebut dilakukan tanpa
ketidaksengajaan, walaupun masih menutup kemungkinan untuk dijerat dengan
menggunakan unsur culpa atau kelalaian. Namun demikian, bila
benar-benar bisa dibuktikan bahwa ia benar-benar tidak sengaja meminjamkan,
dalam proses Penyidikan, adalah bijaksana bila perkara tersebut tidak
diteruskan.
Pasal 32 :
Setiap orang yang
memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan
produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Penjelasan &
Komentar:
Pasal 6 UU Pornografi
2008 menegaskan sebagai berikut:
“Setiap orang dilarang
memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi
kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.”
Isi dari penjelasan
dalam suatu UU terkadang dicantumkan “cukup jelas”, padahal bila kita bahas
lebih jauh lagi masih banyak ketidakjelasan yang terungkap.
Kata “memperdengarkan”
tidak ada penjelasan resmi mengenai kata tersebut. Justru mengakibatkan makna
kata “memperdengarkan” menjadi dengan sempit yaitu diperdengarkan dan yang
mendengar adalah khalayak ramai secara jelas. Padahal pengertian makna tersebut
akan menjadi berbeda bila dipersempit lagi.
Misalkan: seseorang
memutar CD/DVD porno di kamar kost nya. Tanpa dia sadari seorang anak SMP tanpa
sengaja mendengar suara yang keluar dari CD/DVD Player nya, dan akhir
menguping.
Bila illustrasi ini
benar-benar terjadi, maka efek bahayanya justru lebih berbahaya dibandingkan
dengan memperdengarkan di tempat umum. Yang dimaksud lebih berbahaya efeknya
adalah secara psikologis akan menstimulus otak dan perilaku si Anak untuk
mencari tahu dan berbuat sama.
Sehingga kata
“memperdengarkan” akan menimbulkan perdebatan yang seharusnya tidak perlu.
Kata “mempertontonkan”
pun jadi tidak jelas. Bahkan kata ini tidak membedakan mengenai tempat dimana
pornografi tersebut dipertontonkan, sehingga menjadi bias. Apakah
“mempertontonkan”pada kalangan terbatas, misalnya kawan-kawan atau tetangga,
atau pada masyarakat umum? Mana yang dapat dijerat?
Permasalahan kedua,
apakah yang dipertontonkan hanya media semata? Bagaimana bila si pelaku
mempertontonkan dirinya sendiri dengan menggunakan pakaian yang mengesankan
ketelanjangan.
Disinilah letak dimana
Aparat Penegak Hukum menggunakan Asas Diskresi yang dimiliki nya untuk
menafsirkan sendiri ketentuan tersebut. Namun memang secara logika normal kata
“mempertontonkan” terkait erat dengan media informasi dan komunikasi.
Kata “memanfaatkan”,
“memiliki”, dan “menyimpan” oleh UU Pornografi telah dibatasi pengertiannya
melalui penjelasan resmi UU Pornografi 2008. Bahwa pihak-pihak yang telah
diberikan kewenangan oleh peraturan perundang-undangan saja yang dapat
memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi. Diluar dari
kewenangan tersebut adalah melanggar hukum.
Apakah selesai
permasalahannya? Ternyata tidak.
UU Pornografi 2008
ternyata melakukan pengecualian. Dengan menyebutkan bahwa larangan “memiliki
atau menyimpan” tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Kalimat tersebut kembali menimbulkan bias hukum.
Seseorang boleh saja
memiliki dan menyimpan barang pornografi dengan cacatan untuk “kepentingannya
sendiri”.
Contoh kasus yang nyata
adalah kasus Luna Maya-Ariel Peterpan-Cut Tari. Film-film tersebut adalah
koleksi pribadi Ariel Peterpan, untuk kepentingan Ariel Peterpan pribadi bukan
untuk konsumsi publik. Namun kenyataannya, sekarang beredar dan menjadi
konsumsi publik.
Kalimat “untuk
kepentingan sendiri” perlu kembali diperjelas. Akan lebih etis dan masuk akal,
bila makna “untuk kepentingan sendiri” dikaitkan dengan pekerjaan dari orang
yang memiliki dan menyimpan barang pornografi. Bila pekerjaannya tidak ada
hubungannya dengan seksualitas maka adalah terlarang memiliki dan menyimpan
barang pornografi tersebut.
Pasal 33 :
Setiap orang yang
mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima
ratus juta rupiah).
Penjelasan &
Komentar:
Di dalam Penjelasan
resmi UU Pornografi 2008 dikatakan “cukup jelas”. Namun menurut Penulis, isi
dari Pasal 7 tersebut harus diperjelas kembali.
Adapun Pasal 7
menegaskan sebagai berikut:
“Setiap orang dilarang
mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.”
Maka pengertian setiap
orang dalam hal ini menunjukkan kualifikasi yang jelas bahwa subyek hukum
adalah manusia dan bukan badan hukum. Sehingga pendanaan yang dilakukan adalah
perbuatan individu dan bukan perbuatan suatu korporasi. Karena kata “mendanai
atau memfasilitasi” memiliki kecenderungan beranggapan bahwa pasal ini terkait
dengan tindakan hukum dari suatu korporasi atau perusahaan.
Untuk dapat dikatakan mendanai
suatu perbuatan sebagaimana dimuat di dalam Pasal 4 maka harus dibuktikan
keterlibatannya secara nyata. Dimana aliran dana yang diterima oleh Pelaku
secara tegas menunjukkan dari siapa dana tersebut berasal dan diperuntukkan
untuk apa dana tersebut.
Ketegasan aliran dana
tersebut bisa kemudian diperoleh dari kwitansi atau tanda terima uang. Atau
bisa dihubungkan dengan perbuatan si Pelaku, dimana berdasarkan perhitungan
finansial, si pelaku tidak mungkin melakukan perbuatan yang disebutkan di dalam
Pasal 4. Sehingga adalah kemungkinan besar si Pelaku memperoleh masukan dana ke
dalam keuangannya.
Unsur “memfasilitasi”
juga tidak memiliki ketegasan, apakah menyediakan peralatan atau tempat juga
dianggap sebagai memfasilitasi? Bila iya, maka pengelola Warnet sebagai Jasa
Penyedia Layanan Internet, memiliki kecenderungan besar dapat dianggap sebagi
Pelaku yang memfasilitasi. Dengan dilandasi pada Pasal 4 ayat (2) huruf d yang
menegaskan bahwa: “Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: Setiap
orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: menawarkan atau mengiklankan,
baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.”
Pengelola Warnet adalah
orang yang menawarkan atau mengiklankan secara tidak langsung layanan seksual
kepada masyarakat umum. Karena setiap kali kita browsing ke salah satu situs
tertentu secara acak dimana tanpa kita kehendak terkadang muncul link-link yang
memuat konten pornografi, sehingga orang yang melihatnya akan termotivasi untuk
melihat atau sekedar iseng.
Bila kita mencermati
sistem kerja Warnet, maka kita dapat mengetahui bahawa Operator Warnet mampu
mengawasi setiap bilik dan setiap orang, baik dewasa maupun anak-anak, membuka
atau mengunduh dari situs mana. Bahkan dari sistem yang paling sederhana,
Operator warnet dapat mengenalikan situs-situs yang tidak boleh dibuka atau
yang berkontenkan pornografi.
Dimana kewajiban
Pengelola Warnet tersebut didasari pada Pasal 15 UU Pornografi, yang menegaskan
bahwa:
“Setiap orang
berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak
terhadap informasi pornografi.”
Jika hal tersebut
dilakukan, menurut Penulis, Pengelola Warnet terlepas dari kategori Pasal 4
ayat (2) huruf d jo Pasal 7 UU Pornografi 2008.
Berbeda dengan orang
yang memfasilitasi tempat dan sarana kepada orang lain, maka ada kewajiban
untuk mengetahui akan dipergunakan sebagai apakah tempat tersebut. Karena pada
prinsipnya, peristiwa hukum berupa penggunaan tempat dan sarana adalah masuk ke
dalam ranah hukum perdata yaitu perikatan baik tertulis maupun tidak tertulis.
Maka dibatasi oleh adanya suatu aturan bahwa perikatan menjadi batal bila
bertentangan dengan Undang-undang dan kesusilaan.
Sehingga pemilik tempat
dan sarana lainnya wajib dikenakan sebagai pemfasilitasi Pelaku Tindak Pidana
Pornografi. Dalam hal ini, dalam sistem hukum pidana dikenal dengan Tindak
Pidana Penyertaan atau Perbantuan.
Sehingga Pasal 7 ini
tidak dapat berdiri sendiri, harus ditentukan terlebih dahulu pelaku Tindak
Pidana Pornografi, setelah itu baru dikaitkan dengan fasilitator sebagai
Penyertaan/Perbantuan.
Pasal 34 :
Setiap orang yang
dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang
mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Penjelasan &
Komentar:
Di dalam penjelasan
resmi disebutkan bahwa “ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa
dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain,
dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak
dipidana.”
Bila kita perhatikan
penjelasan tersebut, maka diketahui bahwa UU Pornografi 2008 menyebutkan si
objek atau sang model sebagai PELAKU. Sehingga Pasal 8 adalah pasal yang
berdiri sendiri atau mandiri, tidak bisa disebut sebagai Penyertaan dalam
Tindak Pidana Pornografi.
UU Pornografi 2008
adalah Undang-Undang yang berlaku khusus sehingga berlakulah asas “lex
specialist derogat lex generalis” (Undang-undang khusus mengeyampingkan
Undang-undang yang umum).
Di dalam rumusan Pasal
8 tersebut mengandung makna bahwa seseorang dapat dijerat dengan pidana apabila
dengan sukarela memberikan persetujuan tanpa adanya paksaan, ancaman, atau tipu
daya bujuk rayu dari si Pembuat. Dalam hal ini si objek atau sang model
memiliki pilihan-pilihan hukum untuk mengatadakan bersedia atau tidak.
Bila kemudian si
Pembuat tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya karena sesuatu dan lain
hal, maka si objek atau sang model telah dikualifikasikan sebagai Pelaku Tindak
Pidana Pornografi.
Pasal 35 :
Setiap orang yang
menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
pidana denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Penjelasan &
Komentar:
Dalam Hukum Pidana,
yang membujuk atau menyuruh melakukan suatu tindak pidana disebut uitlokken,
sedangkan orang nya disebut uitlokkeer. Hal tersebut diatur di dalam Pasal
55 ayat (1) KUHP dengan sangat singkat, ialah “yang menyuruh melakukan”, tetapi
pada bentuk orang yang sengaja menganjurkan ini dirumuskan dengan lebih
lengkap, dengan menyebutkan unsur obyektif yang sekaligus unsur subyektif.
Rumusan itu selengkapnya ialah: “mereka yang dengan memberi atau menjanjikan
sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, memberikan kesempatan,
sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan
perbuatan”.
Dalam hal ini uitlokken termasuk
ke dalam runag lingkup Penyertaan (deelneming), dimana berdasarkan
sifatnya deelnemingdibagi menjadi dua jenis, yaitu bentuk deelneming yang
berdiri sendiri dan deelneming yang tidak berdiri sendiri. Uitlokkentermasuk
kedalam deelneming yang tidak berdiri sendiri, artinya antara satu
pelaku dengan pelaku lainnya saling terkait. Salah satu dipidana, maka yang
lain juga dipidana. Sehingga antara pembujuk dan yang dibujuk merupakan satu
kesatuan yang saling terikat.
Namun, UU Pornografi
2008 memberikan pengecualian terhadap asas umum deelneming atau uitlokken,
yaitu dengan memberikan batasan unsur “dengan sengaja atau atas persetujuannya”
pada rumusan dalam Pasal 8.
Pada suatu Tindak
Pidana Pornografi yang terjadi dimana pembujuk dan yang terbujuk adalah
merupakan pelaku yang berdiri sendiri. Karena si objek atau sang model
diberikan oleh UU suatu pilihan hukum untuk melakukan pemikiran atas bujukan
dari si pembujuk melalui kalimat “……………….atas persetujuannya” pada Pasal 8.
Contoh:
Kondisi I : Si A
membujuk Si B untuk melakukan shooting film porno, untuk dapat sebagai Tindak
Pidana Pornografi, maka harus ada kata persetujuan dari Si B. Bila kata
persetujuan itu tidak ada, maka Si A tidak dapat disebut sebagai Pembujuk.
Karena konteks kalimat yang ada adalah “…………..menjadikan orang lain………..”
menjadi tidak terwujud. Rumusan tersebut bermakna shooting film porno telah
terjadi dan telah selesai. Di dalam UU Pornografi 2008 tidak dikenal Percobaan
Tindak Pidana Pornografi.
Kondisi II : Si A
dan si Si B berpacaran, kemudian si A dan si B melakukan persenggamaan, selama
proses persenggamaan si A mengambil handphone berkamera untuk merekam, dan si B
mengetahuinya namun mendiamkan. Perilaku mendiamkan oleh si B bukanlah
persetujuan, namun memenuhi unsur “…………….dengan sengaja………….”. Dengan demikian,
baik si A maupun si B secara bersama-sama melakukan Tindak Pidana Pornografi.
Kondisi III : Si A
dan si B terikat kontrak pemotretan model iklan minuman. Dan si B mendapatkan
fasilitas baju-baju baru sebagai kostum untuk pemotretan tersebut. Kemudian si
A meyakinkan kepada si B agar melakukan fitting (mencoba baju) di dalam bilik
ganti baju yang telah disediakan. Ternyata bilik tersebut, telah dipasang hidden
camera (kamera tersembunyi).
Maka hanya si A yang
dapat dipidana.
Perumpamaan-perumpaan
tersebut tidak hanya terbatas pada ketiga kondisi semata, karena bisa jadi
muncul objek atau model karena dorongan pihak ketiga, misalnya seperti orang
tua yang menghendaki anak nya menjadi seorang model pada suatu produk yang
bermuatan pornografi. Dalam hal ini, si pembuat tidak terkena atas Pasal 9,
namun Pihak III lah yang terkena Pasal 9 ini.
Karena UU Pornografi
telah melakukan generalisasi melalui unsur “setiap orang”, sehingga siapapun
bisa menjadi pembujuk atau penganjur untuk menjadi objek atau model pornografi.
Pasal 36 :
Setiap orang yang
mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang
menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang
bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Penjelasan &
Komentar:
Ada beberapa unsur yang
harus diperhatikan di dalam Pasal 10 UU Pornografi 2008, yaitu sebagai berikut:
Setiap orang
Unsur “setiap orang”
menunjukan bahwa subyek dalam tindak pidana pornografi adalah manusia sebagai
subyek hukum. Sehingga yang harus diperhatikan adalah kecakapan hukum dimana
hal tersebut berhubungan dengan kemampuan untuk bertanggung jawab.
Secara umum dalam Hukum
Pidana dijelaskan bahwa batas usia sebagai penentu apakah seseorang dapat
dianggap cakap hukum atau tidak, sehingga sesuai dengan pengertian dari istilah
Tindak Pidana, orang tersebut ddapat kenakan hukuman pidana karena dianggap
bertanggung jawab.
Ini adalah syarat
subyekif yang utama dalam membebankan tanggung jawab hukum. Karena bila
seseorang tidak masuk dalam kualifikasi “cakap hukum”, maka gugurlah
kewajibannya untuk bertanggung jawab.
Mempertontonkan diri
atau orang lain
Unsur ini mengandung
makna, bahwa setiap orang dilarang mengeksploitasi dirinya sendiri maupun orang
lain untuk kepentingan yang selain telah ditentukan oleh UU Pornografi.
Seringkali kita mendengar statement-statement yang diungkapkan bahwa “badan ini
adalah badan saya dan terserah saya hendak saya buat”.
Ternyata statement
tersebut telah dibatasi oleh Pasal 10 UU Pornografi. Setiap orang diwajibkan
untuk memiliki rasa penghormatan terhadap norma kesusilaan yang ada di
masyarakat dimana ia berada. Hal tersebut sesuai dengan peribahasa “dimana bumi
dipijak, distu langit dijunjung”.
Di dalam pertunjukan
atau di muka umum ;
Unsur ini merupakan
tempat terjadinya suatu tindak pidana atau locus delicti. Makna dari kata
“di dalam pertunjukan” bukanlah bermakna sempit hanya di dalam sebuah pagelaran
atau pameran semata, namun dapat berupa film ataupun sinetron dan semua bentuk
hasil dari media elektronik yang sifatnya dapat dilihat oleh lebih dari satu
orang.
Sedangkan unsur “di
muka umum” bukan berarti bahwa tindak pidana tersebut harus dilihat oleh
khalayak ramai saja namun masuk pula ke dalam pengertiannya juga adalah
tempat-tempat yang sudah diketahui oleh umum dan menjadi jalur lewatnya setiap
orang. Misalnya: taman atau perpustakaan.
Taman mungkinsaja sepi,
tapi tidak ada larangan orang untuk sekedar lewat di taman atau sekedar
beristirahat. Sehingga unsur “di muka umum” lebih dimaknai kepada tempat yang
seyogyanya diketahui oleh umum dan bebas untuk umum.
Yang menggambarkan
ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau
Unsur “yang
menggambarkan ketelanjangan” tidak harus dimaknai bahwa seseorang dianggap
pelaku maka ia harus benar-benar telanjang, namun menimbulkan kesan seolah-olah
telanjang pun dapat dikategorikan ke dalam unsur ini. Misalnya menggunakan baju
tipis dan menerawang sehingga terlihat jelas alat-alat vital nya atau menggunakan
pakaian yang super ketat dan orang lain dapat dengan jelas melihat bentuk dan
ukurannya.
Unsur “eksploitasi
seksual” bermakna segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ
tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak
terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.
Unsur “persenggamaan”,
ini unsur tidak hanya dimaknai secara harfiah, namun juga dimaknai seolah-olah
bersenggama. Karena bersenggama atau seolah-olah bersenggama menimbulkan efek
yang sama yaitu merangsang birahi yang melihatnya.
Bermuatan pornografi
lainnya
Yang dimaksud dengan
“pornografi lainnya” antara lain kekerasan seksual, masturbasi, atau onani.
Namun tidak hanya terbatas kepada tiga jenis itu saja, termasuk di dalamnya
adalah penyimpangan seksual.
Ketentuan di dalam
Pasal 10 tersebut tidak mensyarakat adanya norma kesusilaan yang dilanggar,
sehingga berlaku secara umum. Dan berdasarkan ketentuan Pasal 10 ini tidak
disyaratkan mengenai motif dari pelaku apakah ada motif ekonomi atau tidak.
Sehingga siapapun yang memenuhi unsur-unsur di dalam Pasal 10, maka dapat
dijerat melalui Pasal 36 ini.
Pasal 37 :
Setiap orang yang
melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan
Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Penjelasan &
Komentar:
Ketentuan pasal ini
merupakan ancaman pemidanaan terhadap pelanggaran dari Pasal 11. Dimana
ditegaskan di dalam Pasal 11 bahwa “Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam
kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.”
Sehingga bila didalam
setiap perilaku atau perbuatan yang menghasilkan barang pornografi sesuai
dengan ketentuan mulai dari Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau
Pasal 10, maka akan diancam pemidanaannya melalui Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31,
Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36 disesuai dengan unsur-unsur yang
terpenuhi.
Keterlibatan anak di
dalam Tindak Pidana Pornografi merupakan tindak pidana yang diperberat sehingga
ancaman hukumannya ditambah 1/3 dari pidana pokoknya.
Pasal 38 :
Setiap orang yang
mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau
memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Penjelasan &
Komentar:
Keberadaan pasal ini
menjadi kabur dan bias karena memiliki kesamaan makna dan maksud dengan
ketentuan Pasal 37. Hampir tidak ada urgensi atas keberadaan pasal ini.
Seharusnya bisa digabungkan dengan Pasal 37 sehingga lebih menghemat dan padat
isi dari UU Pornografi.
UU ITE, Dalam hal ini UU ini banyak kelemahan yang justru dapat berakibat buruk bagi orang yang komplain , kasus Prita Mulyasari bisa dijadikan contoh, akibat memberi saran malah menjadi bumerang bagi dia, sebenarnya UU perlindungan Konsumen yang lebih melindungi dalam artian secara yuridis. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Anak dipandang memiliki kedudukan khusus di mata hukum. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa anak adalah manusia dengan segala keterbatasan biologis dan psikisnya belum mampu memperjuangkan segala sesuatu yang menjadi hak-haknya. Selain itu, juga disebabkan karena masa depan bangsa tergantung dari masa depan dari anak-anak sebagai generasi penerus. Oleh karena itu, anak sebagai subjek dari hukum negara harus dilindungi, dipelihara dan dibina demi kesejahteraan anak itu sendiri; (2) Pada dasarnya, Pengadilan anak yang senantiasa mengedepankan kesejahteraan anak sebagai guiding factor dan disertai prinsip proporsionalitas merupakan bentuk perlindungan hukum bagi anak sebagi pelaku tindak pidana. Dalam hal ini, secara yuridis-formil Undang-undang Pengadilan anak tidak cukup memberikan jaminan perlindungan hukum bagi anak sebagai pelaku kejahatan. Terdapat beberapa peraturan dalam undang-undang tersebut yang inkonsistensi dengan KUHP, sehingga yang terjadi adalah secara tidak langsung terjadi pengabaian prinsip kepentingan terbaik anak seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
UU
tentang Pers , Hal pertama yang
harus diperbaiki dalam UU Pers ini adalah harus ada pemisahan yang tegas
terkait mana yang masuk kategori delik pers dan mana yang bukan delik pers.
Hal kedua adalah harus dipertegas keberadaan
(materiil sphere) dari UU tersebut, apakah sebagai UU Tindak Pidana Umum atau
Tindak Pidana Khusus, karena penanganannya akan berbeda,"UU ini tidak jelas 'jenis kelamin'-nya, apakah
pidana umum atau khusus Hal lain yang harus diperbaiki adalah perlu
dipertegas, apakah delik pers itu adalah delik aduan atau delik umum (laporan
delik) karena masa penuntutannya akan berbeda dan apakah dapat ditarik atau
tidak. Selain itu, pertanggungjawaban
pidananya harus juga dipertegas apakah perorangan atau korporasi. Hal terakhir yang harus diubah adalah UU 40/1999 itu
membuat diskriminasi dalam pemidanaan karena kalau orang non-pers yang
melanggarnya maka hukumannya adalah kurungan dan denda (Pasal 18 Ayat 1),
sedangkan orang pers hanya hukuman denda saja (Pasal 18 Ayat 2 dan 3).
"Itu tidak boleh ada diskriminasi, jadi pasal yang mengatur pemidanaan itu (pasal 18) harus diperbaiki, sehingga kalangan non-pers tidak mengabaikan UU Pers itu bila ada keadilan," ujar dosen Fakultas Hukum Unhas itu.
"Itu tidak boleh ada diskriminasi, jadi pasal yang mengatur pemidanaan itu (pasal 18) harus diperbaiki, sehingga kalangan non-pers tidak mengabaikan UU Pers itu bila ada keadilan," ujar dosen Fakultas Hukum Unhas itu.
Peraturan
perundang-undangan tentang kesusilaan diatas, masih memberi diskriminasi
publik. Pada suatu daerah tertentu, ditentang pihak-pihak tertentu, misalnya
pemberlakuaanya di daerah Bali, Sulawesi Utara, dan Papua yang tidak mungkin
efektif, masih mengandung kelemahan-kelemahan, baik dari segi teknis maupun
yuridis. Pelaksanaan penegakkan hukumnya serta perlindungan terhadap korban
tidak dapat memberi kepastian hukum. Bahkan, pelaku tindak pidana kesusilaan
semakin pandai menghilankan barang bukti, sehingga aparat penegak hukum sulit
menangkap dan memenjarakan para pelaku.
Dalam KUHP belum bisa menjerat pelaku tindak pidana yang berkewarganegaraan asing, sehingga dengan semena-mena, masih bisa dilanggar. Banyak contoh yang dapat kita ambil dari nilai-nilai pancasila salah satunya sila ke- 2. di Indonesia saat ini banyak terjadi kasus asusila yang terjadi, dan korbannya adalah para remaja. Canggihnya teknologi saat ini seperti jejaring social (facebook) digunakan oleh orang-orang jahat untuk bisa melakukan asusila seperti pemerkosaan, pencabulan dan yang lainnya, yang berdampak penyesalan dikemudian hari. Maka dari itu mulailah kita waspada dan menjaga diri kita agar tidak menjadi korban asusila. menjauhkan pergaulan bebas, adalah salah satu kita terhindar dari perbuatan yang tidak benar dan tidak merugikan diri kita sendiri.
Kenyataan bahwa setiap hari ada penayangan-penayangan berbagai film, acara televisi, maupun media lain yang dirasakan sudah menembus batas-batas norma kesusilaan, kaidah agama, serta nilai-nilai luhur yang melekat dalam kehidupan masyarakat.
Semua generasi muda, tua, harusnya ikut berpartisipasi menghapus tindak pidana kesusilaan yang membahayakan moral anak bangsa. Masing-masing pribadi membatasi diri dan tidak berlebihan menggunakan layanan umum dan media elektronik. Kurang tegasnya para penegak hukum memberantas pornografi dan semua tindak pidana kesusilaan, membuat kegiatan haram tersebut merebak dan tumbuh “biasa” dalam kehidupan generasi muda.
4. SARAN
Ketentuan menangani suatu kasus dilihat dari caranya, apabila tindak pidana kesusilaan yang dilanggar menggunakan cara yaitu memanfaatkan media elektronik seperti handphone, disk, dan layanan internet, maka peraturan yang digunakan ialah UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sedangkan, apabila suatu kasus tindak pidana tersebut yang termasuk dalam kategori kesusilaan lain, maka peraturan yang digunakan adalah KUHP. Dan terkait seluruh peraturan yang khusus mengenai pornografi, menggunakan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Masyarakat sebagai sebagai kumpulan subjek hukum, harus menjaga dan melindungi nilai-nilai kesusilaan, nilai agama, serta norma kesopanan yang telah lama dijaga oleh masyarakat generasi sebelumnya. Tugas untuk membuat keadaan suatu lingkungan itu menjadi tenteran bukan hanya tugas aparat penegak hukum, tapi kesadaran dan partisipasi masing-masing individu bersikap sebagai insan Tuhan dan warga masyarakat yang baik, berbudi, dan beradab. Sedangkan tegaknya keadilan harus diupayakan lebih maksimal oleh para penegak hukum, sebagai pengemban amanah menjaga ketertiban umum serta melaksanakan tugas Negara seperti yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Dalam KUHP belum bisa menjerat pelaku tindak pidana yang berkewarganegaraan asing, sehingga dengan semena-mena, masih bisa dilanggar. Banyak contoh yang dapat kita ambil dari nilai-nilai pancasila salah satunya sila ke- 2. di Indonesia saat ini banyak terjadi kasus asusila yang terjadi, dan korbannya adalah para remaja. Canggihnya teknologi saat ini seperti jejaring social (facebook) digunakan oleh orang-orang jahat untuk bisa melakukan asusila seperti pemerkosaan, pencabulan dan yang lainnya, yang berdampak penyesalan dikemudian hari. Maka dari itu mulailah kita waspada dan menjaga diri kita agar tidak menjadi korban asusila. menjauhkan pergaulan bebas, adalah salah satu kita terhindar dari perbuatan yang tidak benar dan tidak merugikan diri kita sendiri.
Kenyataan bahwa setiap hari ada penayangan-penayangan berbagai film, acara televisi, maupun media lain yang dirasakan sudah menembus batas-batas norma kesusilaan, kaidah agama, serta nilai-nilai luhur yang melekat dalam kehidupan masyarakat.
Semua generasi muda, tua, harusnya ikut berpartisipasi menghapus tindak pidana kesusilaan yang membahayakan moral anak bangsa. Masing-masing pribadi membatasi diri dan tidak berlebihan menggunakan layanan umum dan media elektronik. Kurang tegasnya para penegak hukum memberantas pornografi dan semua tindak pidana kesusilaan, membuat kegiatan haram tersebut merebak dan tumbuh “biasa” dalam kehidupan generasi muda.
4. SARAN
Ketentuan menangani suatu kasus dilihat dari caranya, apabila tindak pidana kesusilaan yang dilanggar menggunakan cara yaitu memanfaatkan media elektronik seperti handphone, disk, dan layanan internet, maka peraturan yang digunakan ialah UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sedangkan, apabila suatu kasus tindak pidana tersebut yang termasuk dalam kategori kesusilaan lain, maka peraturan yang digunakan adalah KUHP. Dan terkait seluruh peraturan yang khusus mengenai pornografi, menggunakan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Masyarakat sebagai sebagai kumpulan subjek hukum, harus menjaga dan melindungi nilai-nilai kesusilaan, nilai agama, serta norma kesopanan yang telah lama dijaga oleh masyarakat generasi sebelumnya. Tugas untuk membuat keadaan suatu lingkungan itu menjadi tenteran bukan hanya tugas aparat penegak hukum, tapi kesadaran dan partisipasi masing-masing individu bersikap sebagai insan Tuhan dan warga masyarakat yang baik, berbudi, dan beradab. Sedangkan tegaknya keadilan harus diupayakan lebih maksimal oleh para penegak hukum, sebagai pengemban amanah menjaga ketertiban umum serta melaksanakan tugas Negara seperti yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar