Translate

Jumat, 08 November 2013

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 12 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL


ANALISIS
Berdasarkan data yang kami peroleh , bahwasanya peraturan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal-hal yang dinilai bermasalah adalah:
1. Pencatatan dan pemberian akta kelahiran harus diberikan secara cuma-cuma sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
2. Struktur dan besarnya tarif retribusi harus dicantumkan dalam Peraturan Daerah.

Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 mengatur bahwa pembuatan akta kelahiran tidak dikenai biaya. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2002 pada Pasal 9 mencantumkan biaya pembuatan akta kelahiran. Hal tersebut bertentangan dengan ketentuan di atasnya, atau dikenal adagium : Lex Superior Derogat Legi Priori.
Pemerintah pusat sebenarnya sudah membuatkan aturan yang memayungi perkara akta kelahiran ini melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-undang ini diatur bahwa identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya yaitu berupa akta kelahiran. Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa, dan karena akta kelahiran adalah hak anak maka gratis tanpa biaya. Jika membaca pasal-pasal yang terkait dengan akta kelahiran dalam undang-undang ini sepertinya tidak ada masalah dan terkesan hak anak untuk mendapatkan akta kelahiran sudah dijamin oleh pemerintah. Namun ternyata lahir undang-undang baru yang menjegal upaya pemenuhan hak anak atas akta kelahiran yaitu Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
UU No.23 tahun 2006 ini mengatur tentang berbagai administrasi kependudukan di Indonesia, salah satunya penerbitan akta kelahiran. Undang-undang ini menyebutkan bahwa penduduk wajib melaporkan kelahiran kepada pemerintah selambat-lambatnya 60 hari sejak kelahirannya. Jika melebihi 1 tahun maka penerbitan akta kelahiran harus melalui penetapan pengadilan. Penetapan pengadilan inilah yang kemudian menjadi masalah karena warganegara harus mengeluarkan biaya, prosesnya ribet dan butuh waktu lama, sehingga banyak orang yang tidak mampu dan tidak punya waktu akhirnya tidak mengurus akta kelahiran. Penetapan pengadilan inilah yang membuka peluang adanya pungutan liar yang dilakukan oknum pihak Pengadilan Negeri.
“UU no. 23/2006 tentang administrasi kependudukan dinilai gagal mengoptimalkan pencatatan kelahiran. Buktinya, lebih dari 50 juta atau lebih dari setengah jumlah anak di Indonesia saat ini tidak memiliki akte kelahiran. Padahal akte kelahiran adalah bentuk identitas setiap anak yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari hak sipil dan politik warga negara. Hak atas identitas merupakan bentuk pengakuan negara terhadap keberadaan seseorang di depan hukum.
Dalam beberapa pasal dalam UU tersebut ditegaskan bahwa pencatatan kelahiran diwajibkan kepada warga negara dan penduduk harus proaktif mencatatkan kelahirannya agar memiliki akte. Padahal selama ini pengurusan akte kelahiran terkendala banyak hal seperti jarak yang jauh dan pengurusan yang berbelit hingga denda yang tidak mampu dibayar warga
, UU tersebut juga mewajibkan adanya penetapan pengadilan dan membayar denda paling besar Rp 1 juta jika akte kelahiran baru akan dibuat setahun atau lebih setelah lahir.

Banyaknya anak yang tidak memiliki akte kelahiran, menyebabkan mereka kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan maupun jaminan sosial lainnya. Dalam penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum lanjutnya, anak juga kerap dirugikan dan kehilangan haknya karena penentuan , usia diproses peradilan berdasarkan akte kelahiran.Memiliki akte kelahiran adalah hak setiap anak Indonesia sehingga pencatatan kelahiran seharusnya dibebankan kepada negara dan bukan kepada warga masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar