ANALISIS
Berdasarkan data yang kami peroleh , bahwasanya peraturan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Hal-hal yang dinilai bermasalah adalah:
1. Pencatatan dan pemberian akta kelahiran harus
diberikan secara cuma-cuma sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 28
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
2.
Struktur dan besarnya tarif retribusi harus dicantumkan dalam Peraturan Daerah.
Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
mengatur bahwa pembuatan akta kelahiran tidak dikenai biaya. Peraturan Daerah
Nomor 10 Tahun 2002 pada Pasal 9 mencantumkan biaya pembuatan akta kelahiran.
Hal tersebut bertentangan dengan ketentuan di atasnya, atau dikenal adagium
: Lex Superior Derogat Legi Priori.
Pemerintah pusat sebenarnya sudah membuatkan aturan yang memayungi perkara
akta kelahiran ini melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Dalam undang-undang ini diatur bahwa identitas diri setiap anak harus
diberikan sejak kelahirannya yaitu berupa akta kelahiran. Pembuatan akta
kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya
diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa, dan karena akta
kelahiran adalah hak anak maka gratis tanpa biaya. Jika membaca pasal-pasal
yang terkait dengan akta kelahiran dalam undang-undang ini sepertinya tidak ada
masalah dan terkesan hak anak untuk mendapatkan akta kelahiran sudah dijamin oleh
pemerintah. Namun ternyata lahir undang-undang baru yang menjegal upaya
pemenuhan hak anak atas akta kelahiran yaitu Undang-Undang No.23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan.
UU No.23 tahun 2006 ini mengatur tentang berbagai administrasi kependudukan
di Indonesia, salah satunya penerbitan akta kelahiran. Undang-undang ini
menyebutkan bahwa penduduk wajib melaporkan kelahiran kepada pemerintah
selambat-lambatnya 60 hari sejak kelahirannya. Jika melebihi 1 tahun maka
penerbitan akta kelahiran harus melalui penetapan pengadilan. Penetapan
pengadilan inilah yang kemudian menjadi masalah karena warganegara harus
mengeluarkan biaya, prosesnya ribet dan butuh waktu lama, sehingga banyak orang
yang tidak mampu dan tidak punya waktu akhirnya tidak mengurus akta kelahiran.
Penetapan pengadilan inilah yang membuka peluang adanya pungutan liar yang
dilakukan oknum pihak Pengadilan Negeri.
“UU no. 23/2006 tentang
administrasi kependudukan dinilai gagal mengoptimalkan pencatatan kelahiran.
Buktinya, lebih dari 50 juta atau lebih dari setengah jumlah anak di Indonesia
saat ini tidak memiliki akte kelahiran. Padahal akte kelahiran adalah bentuk
identitas setiap anak yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari hak sipil dan
politik warga negara. Hak atas identitas merupakan bentuk pengakuan negara
terhadap keberadaan seseorang di depan hukum.
Dalam beberapa pasal dalam UU tersebut ditegaskan bahwa pencatatan kelahiran diwajibkan kepada warga negara dan penduduk harus proaktif mencatatkan kelahirannya agar memiliki akte. Padahal selama ini pengurusan akte kelahiran terkendala banyak hal seperti jarak yang jauh dan pengurusan yang berbelit hingga denda yang tidak mampu dibayar warga, UU tersebut juga mewajibkan adanya penetapan pengadilan dan membayar denda paling besar Rp 1 juta jika akte kelahiran baru akan dibuat setahun atau lebih setelah lahir.
Dalam beberapa pasal dalam UU tersebut ditegaskan bahwa pencatatan kelahiran diwajibkan kepada warga negara dan penduduk harus proaktif mencatatkan kelahirannya agar memiliki akte. Padahal selama ini pengurusan akte kelahiran terkendala banyak hal seperti jarak yang jauh dan pengurusan yang berbelit hingga denda yang tidak mampu dibayar warga, UU tersebut juga mewajibkan adanya penetapan pengadilan dan membayar denda paling besar Rp 1 juta jika akte kelahiran baru akan dibuat setahun atau lebih setelah lahir.
Banyaknya anak yang
tidak memiliki akte kelahiran, menyebabkan mereka kehilangan haknya untuk
mendapatkan pendidikan maupun jaminan sosial lainnya. Dalam penanganan perkara
anak yang berhadapan dengan hukum lanjutnya, anak juga kerap dirugikan dan
kehilangan haknya karena penentuan , usia diproses peradilan berdasarkan akte
kelahiran.Memiliki akte kelahiran adalah hak setiap anak Indonesia sehingga
pencatatan kelahiran seharusnya dibebankan kepada negara dan bukan kepada warga
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar