Gangguan
lingkungan, baik berupa pencemaran maupun perusakan lingkungan merupakan
ancaman bagi kelestarian fungsi lingkungan hidup. Kegiatan industri memiliki
potensi yang cukup tinggi untuk terjadinya pencemaran lingkungan. Limbah yang dihasilkan
dari setiap kegiatan industri mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan dampak
negatif terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Apabila limbah industri yang
dibuang ke dalam lingkungan tidak dikelola secara sempurna sehingga melampaui
baku mutu yang telah ditetapkan. Bila hal itu terjadi maka masyarakat sekitar
pabrik yang akan terkena dampak negatifnya yang dapat menyebabkan mereka
mengalami kerugian, baik kerugian materiil maupun immateriil.
Seperti
halnya pencemaran lingkungan yang dtimbulkan oleh Pabrik Tahu yang ada di
Bandar Lampung tepatnya di kecamatan Sukarame , jl Pulau Kelagian, dimana
limbah cairnya yang dibuang ke dalam lingkungan telah menimbulkan pencemaran
bau amis bagi warga sekitar terutama warga Villa Citra dikatakan telah terjadi
pencemaran karena bau amis limbah cair PG. DJOMBANG BARU tersebut telah
menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan warga masyarakat sekitarnya. Bila
mengacu pada pengertian tingkat kebauan yang disebutkan dalam Keputusan MenLH
No. KEP-50/MENLH/11/1996, maka standart pencemaran bau adalah bila bau yang
berada dalam udara telah melampaui batas maksimal yang ditetapkan, sehingga
menyebabkan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan terganggu. Oleh karena
itu, untuk menghindari dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya, maka
setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan haruslah memenuhi
kewajiban-kewajibannya terhadap lingkungan hidup selama menjalankan proses
produksinya, sehingga kelestarian lingkungan hidup sebagai pendukung kehidupan
manusia tetap terpelihara.
ANALISIS
PENYELESAIAN
Setiap
tindakan pencemaran lingkungan pasti akan menimbulkan reaksi dari masyarakat
untuk menaggapinya, karena lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak
setiap orang untuk menikmatinya. Bentuk reaksi masyarakat itu sendiri
bermacam-macam, yaitu berupa keluhan, protes dan tuntutan ganti kerugian yang
semuanya itu tergantung dari sejauhmana dampak negatif dari limbah industri itu
menyentuh dan menyinggung kepentingan masyarakat sekitarnya.
Pencemaran
lingkungan akibat kegiatan industri dapat dihindari bila setiap penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan menaati ketentuan yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan dan untuk mengetahui sejauhmana penaatan mereka,
maka diperlukan tindakan pengawasan yang benar-benar maksimal dari pejabat yang
berwenang yang telah ditetapkan oleh Kepala Daerah , bila wewenang pengawasan
itu telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah.
Tindakan
pencemaran lingkungan yang telah menimbulkan kerugian bagi orang lain dapat dikategorikan
sebagai perbuatan melawan hukum, karenanya penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan berkewajiban untuk membayar ganti kerugian dan/atau melakukan tindakan
tertentu. Adapun penyelesaian sengketanya sendiri dapat ditempuh melalui
pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa. Bila memilih jalur diuar pengadilan atau prosedur perundingan,
maka bentuk dan besarnya ganti kerugian dan/atau tindakan-tindakan apa yang
dibebankan kepada perusahaan sebagai wujud tanggung jawabnya atas pencemaran
yang ditimbulkan dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak yang
bersengketa.
Dari tiga
bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang diberikan oleh UULH No.23 Tahun
1997 tersebut, maka para pihak yang bersengketa diberikan kebebasan untuk
memilih bentuk mana yang ingin digunakan dalam penyelesaian sengketa. Namun
bila dilihat dari karakteristiknya, maka secara umum mediasi merupakan bentuk
yang paling efektif, dikarenakan bila masyarakat korban pencemaran tidak memiliki
tingkat pendidikan serta pengetahuan yang cukup tinggi, maka dengan adanya
mediator yang berfungsi sebagai pemberi saran, akan menghindarkan adanya
kekhawatiran bahwa hasil kesepakatan akan menguntungkan salah satu pihak, oleh
karena itu diperlukan seorang mediator yang benar-benar bersifat netral atau
tidak mudah terpengaruh oleh kekuasaan dan uang, serta memiliki keterampilan
untuk melakukan perundingan, sehingga proses perundingan sebagai alternatif
penyelesaian sengketa akan benar-benar dipercaya dan tetap dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk menyelesaiakan sengketa.
Dalam
kaitannya dengan penyelesaian sengketa lingkungan diluar pengadialn, maka di
Indonesia sudah ditetapkan sistem MAPS (Alternatif Penyelesaian Sengketa) atau
dalam istilah asingnya dikenal dengan istilah ADR (Alternatif Dispute
Resolution). Dalam UULH No.23 Tahun 1997 pasal 30 dan 31 telah mengintrodusir 3
bentuk alternatif penyelesaian sengketa, yaitu negoisasi, mediasi dan
arbitrasi.
Dalam
penyelesaian sengketa lingkungan akibat pencemaran bau limbah cair tahu ini,
para pihak yang bersengketa memilih proses negoisasi atau perundingan antar
warga masyarakat dengan pihak pabrik yang melibatkan pihak ketiga (penengah),
yaitu tim KPPLH. Dari hasil perundingan (negoisasi) tersebut, masyarakat tidak
menuntut pembayaran kerugian dari pihak Pabrik Tahu melainkan hanya menuntut
agar pihak pabrik secepatnya mengatasi atau menghilangkan bau amis yang
mencemari lingkungan Villa Citra setidak-tidaknya mengurangi kadar bau amis
limbahnya sampai tingkat sekeci-kecilnya.Tuntutan warga tersebut dilakukan
karena bau amis limbah gula ini selain sudah mengganggu kenyamanan lingkungan
juga menggangu kesehatan masyarakat sekitarnya.
Adapun
realisasi dari hasil negoisasi tersebut, walaupun sudah dilaksanakan, namun
masih terdapat penyimpangan dari pihak pabrik yaitu pihak pabrik hanya
melakukan penggelontoran 2 kali saja di sungai (saluran pembuangan limbah), padahal
berdasarkan kesepakatan, penggelontoran akan dilakukan setiap 15 hari sekali
selama musim giling. Penyimpangan lainnya adalah pihak pabrik hanya membangun 2
bak IPAL. Bila pengolahan limbah dilakukan melalui 4 bak IPAL maka akan
dihasilkan air limbah yang bening dan tidak menimbulkan bau yang menyengat.
Meskipun
saat ini masyarakat sudah tidak melakukan protes lagi kepada pihak pabrik
karena ketergantungan atau keseganan masyarakat karena pihak pabrik banyak
memberikan bantuan materiil atau dengan istilah tanggung jawab secara sosial,
semua itu tidak akan menyelesaikan masalah, tindakan pabrik tersebut hanya akan
bersifat sementara saja dan pada akhirnya akan menuai protes kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar