Translate

Sabtu, 22 Desember 2012

Revitalisasi Hak Asasi Perempuan



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut HAM dalam perspktif sejarahnya dapat ditarik sampai pada permulaan kisah manusia dalam pergaulan hidup di dunia ini sejak ia sadar akan hak yang dimilikinya dan kedudukannya sebagai subyek hukum. Tetapi menurut hasil penelitian, sejarah HAM tumbuh dan berkembang sejak HAM itu diperjuangkan ketika berhadapan dengan kesewenang-wenangan kekuasaan Negara[1]
Setelah demokrasi, penegakan hak asasi manusia ( HAM ) merupakan elemen penting untuk perwujudan sebuah Negara yang berkeadaban. Demokrasi dan HAM ibarat dua mata yang saling menopang dengan yang lainnya. Jika dua unsur ini berjalan dengan baik, pada akhirnya akan melahirkan sebuah tatanan masyarakat madani yang demokratis, egaliter, dan kritis terhadap pelanggaran HAM. Penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia masih buram, karena banyak program dan peraturan yang dibuat pemerintah belum memihak rakyat miskin terutama perempuan[2].
 HAM merupakan pemenuhan hak dasar manusia termasuk  revitalisasi penegakan HAM  perempuan di Indonesia,  karena hal tersebut pantas diprioritaskan bagi perempuan karena kemiskinan di Indonesia berwajah perempuan. Kondisi itu menyebabkan sekitar 80 persen perempuan menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri. Mereka bekerja ke luar negeri menjadi TKW sebenarnya bukan pilihan. Namun hal itu dilakukan karena di Indonesia tidak menyediakan lapangan kerja dan tidak ada akses pekerjaan untuk perempuan, penegakan HAM khususnya perempuan juga masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
 Hal itu dapat dilihat dari banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan TKW yang mengalami kekerasan fisik maupun seksual. Di Indonesia terdapat 21.000 kasus KDRT, belum lagi kasus TKW di luar negeri yang disiksa majikan, diperkosa, dan tidak mendapatkan gaji sesuai kesepakatan. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan perhatian dan kepedulian terhadap penegakan HAM perempuan, Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan ruang dialog untuk masyarakat khususnya perempuan agar permasalahan yang ada di tengah masyarakat terutama yang menyangkut HAM dapat segera dicarikan solusi.
 Pemerintah perlu memberikan ruang dialog sehingga aspirasi rakyat bisa disampaikan dan dapat segera ditindaklanjuti untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, Tidak adanya jaminan atas rasa aman menyebabkan perempuan Indonesia, juga kelompok minoritas, masih belum dapat menikmati kemerdekaan yang hakiki meski 14 tahun reformasi bergulir dan 67 tahun sudah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Bagi perempuan kemerdekaan dicerabut dari satu pelaku ke pelaku yang lain, dan berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain.
Menikmati keadilan dan rasa aman, yaitu jaminan untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi di segala ranah kehidupan serta bebas dari rasa takut untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya, adalah bagian intrinsik dari makna merdeka. Hak atas rasa aman sebagai hak warga negara ini dinyatakan tegas di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 28G Ayat 1. Jaminan rasa aman memudar akibat keberadaan kebijakan diskriminatif, penggunaan kekerasan oleh aparat terhadap aksi damai masyarakat sipil, dan dukungan terbatas bagi pemulihan perempuan korban kekerasan.
1.2. Rumusan Masalah
Dari sedikit gambaran diatas, tentu akan memunculkan beberapa pertanyaan antara lain sebagai berikut:
1.   Apa pengertian dari HAM ?
2.   Apa itu Gender ?
3.   Apa yang dimaksud Hak Asasi Perempuan ?
4. Instrumen apa sajakah yang digunakan untuk penegakan HAM perempuan di Indonesia ?
5.   Bagaimana cara merevitalisasi penegakan  HAM perempuan di Indonesia ?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian HAM
1. Hak Asasi Manusia
Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia merumuskan pengertian HAM sebagai perangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa HAM itu adalah hak yang tidak terpisahkan dari esensi dan eksistensi manusia dan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati dan dilindungi oleh siapapun juga. Mengabaikannya berarti mengingkari anugerah Tuhan Yang Maha Esa sekaligus berarti pula mengingkari eksistensiNya sebagai al-Khaliq. Manusia merupakan makhluk  yang paling mulia dalam pandangan Tuhan . Ia diberiNya akal budi yang menjadi sebuah potensi baginya untuk dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Karenanya martabat manusia yang mulia tersebut harus dihormati dan dijunjung tinggi termasuk hak hak yang melekat padanya. Hak hak itu meliputi [3]
1.      Hak untuk hidup;
2.      Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan;
3.      Hak mengembangkan diri;
4.      Hak memperoleh keadilan;
5.      Hak atas kebebasan pribadi;
6.      Hak atas rasa aman;
7.      Hak atas kesejahteraan;
8.      Hak turut serta dalam pemerintahan;
9.      Hak wanita;
10.  Hak anak

Rincian di atas apabila disimpulkan lebih lanjut dapat dipahami bahwa pada hakikatnya HAM itu terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Kedua hak dasar ini saling mempengaruhi dan sekaligus akan menjamin terpenuhinya pula hak asasi yang lain. Sebagai contoh, tidak mungkin kehidupan demokrasi dapat diwujudkan kalau rakyat tidak dijamin hak persamaan dan hak kebebasannya untuk memilih wakil wakilnya di parlemen[4]
Penerapan HAM sebagaimana yang diatur dalam UU. No. 39 Tahun 1999 hanya dapat dibatasi berdasarkan Undang Undang. Pembatasan itu hanya dapat dilakukan demi ketertiban umum dan kepentingan bangsa bukan kepentingan penguasa. Untuk itu tidak ada satu ketentuanpun dalam Undang Undang tentang HAM di atas boleh diinterpretasikan bahwa pemerintah atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak atau menghapuskan HAM. Oleh karenanya siapapun tidak dibenarkan mengambil keuntungan sepihak dan/atau mendatangkan kerugian bagi pihak lain dalam menginterpretasikan ketentuan dalam Undang Undang Tentang HAM sehingga mengakibatkan berkurang dan terhapusnya HAM yang dijamin oleh Undang Undang tersebut[5].
2.2 Pengertian Gender
Isitilah gender harus dibedakan dengan jenis kelamin (seks). Gender mengacu pada perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki yang di bentuk oleh budaya, sedangkan seks memiliki pengertian perbedaan jenis klamin laki-laki dan perempuan secara biologis.

Secara umum, menurut Mansour Faqi , ketidak adilan gender menyebabkan perlakuan sosial sebagai berikut:
1.      Marginalisasi perempuan(penguciilan)
2.      Penempatan perempuan pada posisi yang lebih rendah ketimbang laki- laki(tersubor dinasi)
3.      Pelebelan perempuan yang berkonotasi negativ (streotipisasi)
4.      Kekerasan terhadap perempuan

              Lahirnya Hak sasi Manusia (DUHAM) pada 1948 memberikan harapan baru bagi perempuan karena deklarasi ini menjamin hak-hak asasi manusia baik laki-laki maupun perempuan. Indonesia mempunyai banyak dokumen hukum untuk melindungi hak-hak perempuan. Sebagian dokumen tersebut telah mengadopsi dan meratifikasi beberapa dokumen Internasional[6].
Hak-hak perempuan yang tersurat dalam dokumen-dokumen tersebut, diantaranya :
1.      hak-hak dalam bidang sosial politik;
2.      hak-hak dalam bidang pendidikan;
3.      hak-hak dalam bidang pekerjaan;
4.      hak-hak dalam perkawinan;
5.      hak-hak dalam perdagangan dan eksploitasi perempuan.

2.3 Hak Asasi Perempuan
Hak asasi Perempuan merupakan bagian dari Hak asasi manusia. penegakan hak asasi perempuan merupakan bagian dari penegakkan hak asasi manusia. Sesuai dengan komitmen internasional dalam Deklarasi PBB 1993 , maka perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi perempuan adalah tanggung jawab semua pihak baik lembaga-lembaga Negara ( eksekutif, legislatif, yudikatif ) maupun Partai politik dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bahkan warga Negara secara perorangan punya tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi perempuan[7] .
Dari berbagai kajian tentang perempuan, terlihat bahwa kaum perempuan sudah lama mengalami diskriminasi dan kekerasan dalam segala bidang kehidupan . Berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan telah memperburuk kondisi kehidupan perempuan dan menghambat kemajuan perempuan. Bermacam usaha telah lama diperjuangkan untuk melindungi hak asasi perempuan dan kebebasan bagi perempuan, namun sampai dewasa ini hasilnya belum signifikan.[8]
Mengatasi hal ini, di perlukan berbagai instrumen nasional tentang perlidungan hukum terhadap hak asasi perempuan. Di level Perserikatan Bangsa-Bangsa masalah perlindungan hak asasi perempuan sudah sangat dipahami antara lain melalui Deklarasi Beijing Platform, pada tahun 1995 yang melahirkan program –program penting untuk mencapai keadilan gender. Di Indonesia, sesungguhnya sudah cukup banyak perlindungan hukum terhadap hak asasi perempuan, baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam bentuk kebijakan-kebijakan negara. Namun hak asasi perempuan masih belum terlindungi secara optimal.
Bila dicermati dengan seksama , sesungguhnya banyak kondisi –kondisi rawan terhadap kemajuan perlindungan hak asasi perempuan di Indonesia. Dengan struktur masyarakat patriarkhi, secara sosio- kultural kaum laki-laki lebih diutamakan dari kaum perempuan, bahkan meminggirkan perempuan. Perilaku budaya yang menetapkan perempuan pada peran ibu dan isteri merupakan hambatan besar dalam pemajuan hak asasi perempuan. Disamping itu, interpretasi keliru dari ajaran agama tentang gender telah mengurangi universalitas hak asasi perempuan di Indonesia[9].
Dengan lambatnya pemajuan perlindungan hak asasi perempuan di Indonesia, maka nampaknya diperlukan upaya-upaya disamping kegiatan sosialisasi yang optimal mengenai hak asasi perempuan, juga penambahan Peraturan Perundang-undangan tentang hak asasi perempuan. Disamping itu, dengan banyaknya masalah yang muncul tentang kehidupan perempuan, maka perangkat undang-undang masih sangat diperlukan untuk mengatasi persoalan-persoalan perempuan, seperti eksploitasi terhadap tenaga kerja perempuan, persoalan perempuan di wilayah konflik, prostitusi dan lain-lainnya[10].
2.4 Instrumen Penegakan HAM Perempuan di Indonesia
Pemikiran  HAM sejak awal pergerakan kemerdekaan hingga saat ini mendapat pengakuan dalam bentuk hukum tertulis yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berpuncak pada konstitusi sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Sekalipun UUD 45 memuat ketentuan ketentuan tentang HAM yang mencakup bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya tetapi pengaturan itu dianggap belum detail sehingga timbul permasalahan dalam bentuk hukum apakah rincian HAM itu harus ditetapkan.
Ismail Suny[11] berpendapat bahwa terdapat tiga kemungkinan bentuk hukum yang dapat menampung rincian HAM itu:
1.      Menjadikannya sebagai bagian integral dari UUD 45 yaitu dengan melakukan amandemen UUD 45.
2.      Menetapkan rincian HAM dalam Ketetapan MPR. Keberatannya adalah bahwa suatu Ketetapan MPR pada umumnya tidak mengatur ancaman hukuman bagi pelanggarnya.
3.      Mengundangkannya dalam suatu Undang Undang yang mengatur tentang sanksi hukum terhadap pelanggarnya.
Dari tiga kemungkinan bentuk hukum di atas dalam realitasnya  secara keseluruhan  telah dipraktekkan oleh pemerintah  Indonesia dalam menguraikan rincian HAM.[12] Berikut ini akan dijelaskan secara lebih detail bentuk bentuk hukum di atas sebagai instrumen penegakan HAM di Indonesia:
a.       Amandemen UUD 45. 
Wacana tentang perlunya HAM dimasukkan dalam UUD 45 berkembang ketika kesadaran akan pentingnya jaminan perlindungan HAM semakin meningkat menyusul jatuhnya rezim Orde Baru yang represif dan otoriter. Telah diakui bahwa UUD 45 tidak secara eksplisit mengatur tentang HAM, bahkan beberapa pakar secara tegas menyatakan bahwa konstitusi negara kita tidak mengenal HAM karena dirumuskan sebelum adanya Deklarasi Universal HAM. Atas dasar itu amandemen UUD 45 untuk memasukkan HAM didalamnya merupakan tuntutan reformasi yang tidak bisa dielakkan. Dan usaha ini diharapkan akan semakin memperkuat komitmen negara Indonesia untuk menegakkan dan melindungi HAM di Indonesia, karena dengan menjadi bagian integral UUD 45 HAM itu akan menjadi hak yang dilindungi secara konstitusional (constitutional right) . Pemikiran ini kemudian direalisasikan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 melalui amandemen  II UUD 45.
b.      Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia.
Ketetapan ini disahkan oleh Rapat Paripurna Sidang Istimewa MPR pada tanggal 13 Nopember 1998. Pada masa awal reformasi tuntutan mengenai perlunya suatu aturan yang memuat ketentuan tentang HAM yang lebih rinci mengemuka dengan kuat dan menjadi isu sentral yang cukup luas. Untuk mengakomodasi tuntutan tersebut bentuk hukum yang dipilih untuk mengatur tentang HAM adalah Ketetapan MPR, karena pada saat itu masih terjadi tarik menarik antara kelompok yang menghendaki amandemen UUD 45 dan kelompok yang menolaknya. Maka untuk menjembatani dua kolompok yang saling berseberangan ini dicarilah suatu pola yang secara relatif lebih dapat diterima oleh mereka yaitu dengan membuat Ketetapan MPR yang mengatur tentang HAM, di samping secara prosedural pola ini lebih mudah dilakukan dibanding dengan amandemen UUD 45.   
c.       Undang Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang Undang ini dipandang sebagai Undang Undang pelaksana dari Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia di atas, karena salah satu dasar hukumnya adalah Ketetapan MPR tersebut. Ketika Undang Undang ini didiskusikan terdapat dua pendapat yang kontradiktif tentang perlunya Undang Undang tentang HAM. Pendapat pertama menyatakan bahwa pada dasarnya ketentuan mengenai  HAM tersebar dalam berbagai Undang Undang . Oleh karenanya tidak perlu dibuat Undang Undang khusus tentang HAM. Pendapat lain menyatakan bahwa Undang Undang tentang HAM diperlukan mengingat Tap MPR tentang HAM yang sudah ada tidak berlaku oprasional dan Undang Undang yang sudah ada tidak seluruhnya menampung materi HAM. Selain itu, Undang Undang tentang HAM akan berfungsi sebagai Undang Undang payung bagi peraturan perundang-undangan mengenai HAM yang sudah ada selama ini.[13]
Undang Undang No.39 Tahun 1999 selain memuat ketentuan ketentuan tentang HAM  juga mengatur tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang fungsi pokoknya adalah melakukan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang HAM.
d. Undang Undang No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi     Manusia.
Undang Undang ini dapat dianggap sebagai tonggak hukum kedua dalam penegakan HAM dalam level Undang Undang setelah UU. No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang Undang ini merupakan pengganti dari Peraturan Pmerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) No 1 Tahun 1999 yang mengatur hal yang sama yang telah ditolak oleh DPR sebelumnya[14]
e. Undang Undang No. 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
Keterpurukan hukum di Indonesia sejak masa Orde Baru hingga sekarang meliputi tiga unsur sistem hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedmann, yaitu struktur (structure), substansi (substance), kultur hukum (legal culture).[15]
1. Struktur, yang dimaksud dengan struktur dalam sistem hukum Indonesia adalah institusi institusi penegakan hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, serta hirarki peradilan dari yang terendah (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan lain-lain) hingga yang tertinggi (Mahkamah Agung), begitu juga aparat penegak hukum yang bekerja pada institusi institusi penegakan hukum tersebut. Problem yang terjadi berkenaan dengan struktur ini adalah belum adanya kemandirian yudisial yang menjamin resistensi institusi institusi penegakan hukum terhadap intervensi pihak lain serta rendahnya kualitas moralitas dan integritas personal aparat penegak hukum sehingga hukum tidak dapat bekerja secara sistemik dan proporsional, termasuk dalam penegakan HAM.
2. Substansi, yaitu aturan, norma dan pola prilaku nyata manusia yang ada dalam sistem itu atau produk produk yang dihasilkannya berupa keputusan keputusan yang mereka keluarkan dan mencakup pula hukum yang hidup (living law) dan bukan hanya aturan aturan yang ada dalam kitab undang undang (law books). Yang menjadi problem dari substansi ini adalah kuatnya pengaruh positivisme dalam tatanan hukum di Indonesia yang memandang hukum sebagai sesuatu yang muncul dari otoritas yang berdaulat dalam bentuk undang undang dan mengabaikan sama sekali hukum diluar yang tersebut serta memandang prosedur hukum sebagai segala-galanya dalam penegakan hukum tanpa melihat apakah hal tersebut dapat mewujudkan keadilan dan kebenaran.
3. Kultur hukum, yaitu suasana pikiran dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari, dan disalahgunakan. Kultur hukum yang merupakan ekspressi dari tingkat kesadaran hukum masyarakat belum kondusif bagi bekerjanya sistem hukum secara proporsional dan berkeadilan.[16]
Keterpurukan hukum di Indonesia yang meliputi tiga unsur sistem hukum di atas sangat menghambat penegakan HAM di negara kita sehingga wajar apabila kasus kasus pelanggaran HAM yang tergolong berat hingga sekarang tidak ada yang berhasil diusut secara tuntas dan profesional dan sudah tentu hal ini sangat mengusik rasa keadilan masyarakat secara umum.
Dalam konteks ini, Tjuk Wirawan berasumsi bahwa apabila sebagian besar rakyat Indonesia sudah mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sampai dengan hirarki keempat yang berarti sebagian besar rakyat sudah menginginkan pengakuan martabat dan harga dirinya serta membutuhkan penghargaan sosial dan ingin diperlakukan secara adil, maka pada taraf inilah penghormatan HAM dan penegakan serta penghayatannya  yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia akan dapat dicapai.[17]
Sistem sosial masyarakat Indonesia pada dasarnya bersumber dari nilai-nilai agama dan budaya yang menghargai dan menghormati kedudukan manusia sebagai makhluk Allah SWT yang termulia di bumi ini. Nilai-nilai agama dan budaya tersebut kemudian membentuk etika sosial yang menjadi acuan bagi masyarakat dalam berprilaku dan berinteraksi antara yang satu dengan yang lain dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Masyarakat Indonesia terkenal dengan sifat sopan santunnya, sikap hormatnya kepada orang lain serta rasa kekeluargaannya yang sangat tinggi. Tapi yang menjadi permasalahan adalah mengapa ketika terjadi krisis multidimensional karakter sosial yang positif tersebut menjadi berbalik seratus delapan puluh derajat, sehingga yang terjadi adalah kebiadaban, keangkuhan dan kekerasan yang kemudian menimbulkan   ketidak-tertiban dan ketidak-harmonisan sosial (social disorder and disharmony).[18] Dan kondisi sosial semacam ini tentu sangat tidak kondusif bagi usaha usaha penegakan HAM di Indonesia.
Frans Magnis Suseno[19] mencoba memberi jawaban dari permasalahan di atas. Menurutnya sistem sosial masyarakat Indonesia rusak karena sistem sistem yang lain tidak bekerja dengan baik, misalnya sistem hukum, sistem politik dan sistem ekonomi. Seandainya sistem sistem ini bekerja dengan baik maka sistem sosial itu akan menjadi baik pula, karena sistem sistem tersebut antara satu sama lain saling mempengaruhi.      



2.5 Revitalisasi Penegakan HAM Perempuan di Indonesia
Tidak bisa disangkal, dalam banyak hal, kondisi perempuan Indonesia dewasa ini jauh lebih baik dari masa sebelumnya. Kesempatan kerja dan berkarir, kesempatan pendidikan, kesempatan dalam lembaga-lembaga publik dan politik yang dimiliki perempuan hampir sama besar dengan kesempatan yang dipunyai warga laki-laki.
Berbagai kebijakan yang mendukung pemenuhan hak-hak perempuan dan keadilan gender juga mulai berkembang. Sebut saja sebagai contoh, Inpres No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender, UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), dan lain sebagainya. Lembaga-lembaga khusus yang memiliki program pemberdayaan dan penguatan hak-hak perempuan, baik lembaga negara maupun non negara, tumbuh dan berkembang pesat. Indonesia bahkan menjadi salah satu negara yang memiliki komisi khusus anti kekerasan terhadap perempuan, yaitu Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Pencapaian-pencapaian formal di atas tentu berpengaruh juga pada level kesadaran publik. Di Indonesia hari ini, pandangan-pandangan tabu tantang perempuan karir, perempuan berpendidikan tinggi, perempuan politisi, perempuan pejabat atau perempuan pemimpin sudah makin jarang ditemui. Masalah kekerasan dalam rumah tangga yang sering dianggap sebagai urusan pribadi, urusan internal keluarga, sudah menjadi konsumsi umum. Dengan banyaknya lembaga layanan kasus kekerasan terhadap perempuan, kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus dan memprosesnya secara hukum juga tumbuh kuat.
Tentu di antara pencapaian tersebut, masih sangat banyak pekerjaan rumah yang mendesak diselesaikan. Meski persentase anggota legislatif perempuan di tingkat nasional mengalami kenaikan, proses-proses politik masih sangat jauh dari perspektif perempuan dan perspektif gender. Hiruk pikuk perpolitikan kita masih didominasi laki-laki. Meski kesempatan dalam pendidikan seakan setara, tenaga-tenaga profesional dan ahli masih didominasi laki-laki.
Meski kesempatan kerja juga seakan sama, eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan masih dialami buruh migran perempuan, para pekerja rumah tangga perempuan dan buruh perempuan di pabrik-pabrik. Meski kita sudah punya UU PKDRT, angka kekerasan masih tinggi dan proses hukum terhadap kasus-kasus tersebut belum berjalan maksimal.
Di sisi lain, berkembangnya fenomena penerapan syariat Islam yang melindungi perempuan dan aturan-aturan yang mengeksploitasi tubuh dan seksualitas perempuan seperti UU Pornografi menjadi ancaman baru bagi penegakan hak-hak perempuan di Indonesia dewasa ini. Feminisasi kemiskinan yang semakin kuat akibat globalisasi ekonomi lewat free trade juga perlu advokasi khusus[20].
Meski demikian, melihat perkembangannya yang positif, kita seharusnya optimis kondisi perempuan di negeri kita akan semakin baik. Gerakan perempuan dalam keindonesiaan masa kini telah berhasil mengupayakan pencapaian-pencapaian itu. Tentunya, dengan catatan tebal, kerja keras harus terus dilakukan.
Yang perlu menjadi wacana saat ini adalah terkait phobia tentang tujuan “akhir” gerakan perempuan yang dianggap akan membalik keadaan, di mana perempuan menjadi pihak baru yang mendominasi relasi gender. Tidak dipungkiri, pandangan semacam ini masih kuat berkembang di masyarakat, khususnya di kalangan laki-laki yang selama ini memang memegang kendali. Gerakan perempuan sendiri tentu harus menguatkan visinya bahwa upaya-upaya penguatan hak perempuan yang selama ini dilakukan dan dikampanyekan lebih untuk tujuan keadilan dalam relasi gender, bukan dalam rangka menciptakan dominasi baru, dominasi perempuan atas laki-laki.
Untuk menguatkan visi ini, salah satu terobosan penting yang harus dilakukan gerakan perempuan Indonesia saat ini adalah lebih aktif mengajak laki-laki untuk terlibat dalam agenda gerakan perempuan dan keadilan gender. Gerakan perempuan perlu menyentuh rasa keadilan laki-laki juga, karena kenyataannya mereka juga merasakan dampak negatif ketidakadilan gender. Harus dikampanyekan bahwa ketidakadilan gender yang diusahakan gerakan perempuan adalah keadilan gender bagi semua, karena itu tugas mewujudkan keadilan gender tak bisa hanya dibebankan pada perempuan, tapi juga laki-laki.
Gerakan perempuan saat ini harus melepaskan “ideologi” lama semisal memandang laki-laki sebagai enemy in bed alias musuh dalam selimut. Alih-alih, saatnya gerakan perempuan memandang laki-laki sebagai partner dan sahabat dalam penegakan hak-hak perempuan dan keadilan gender , keadilan dan kemajuan yang diupayakan gerakan perempuan seharusnya tak lagi hanya berorientasi sepihak. Dunia ini tak hanya milik perempuan, meskipun, karena perempuan adalah kelompok mayoritas yang menerima akibat ketidakadilan gender dan korban terbesar kekerasan berbasis gender, maka perempuan perlu menjadi prioritas upaya penegakan keadilan gender. Tujuan keadilan bersama, bagi perempuan dan laki-laki harus menjadi hal utama menuju dunia yang lebih baik, dimulai dari negeri kita. Inilah masa depan feminisme Indonesia, feminisme demi keadilan bersama, keadilan gender, keadilan bagi perempuan dan laki-laki.



























BAB IV
PENUTUP
4.1       KESIMPULAN
Hak-hak asasi perempuan di Indonesia sangatlah kurang diperhatikan olehsebagian masyarakat. Pembagian peran secara seksual yakni yang menempatkan perempuan di rumah (sektor domestik/privat) dan laki-laki di luar rumah (sektor  publik) menyebabkan terbatasnya akses perempuan terhadap sumber dayaekonomi, sosial, dan politik. Selain menjadi korban diskriminasi, perempuan jugamenjadi obyek yang sangat riskan terhadap tindak kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan produk historis yang telah berlangsung lama. Kekerasan terhadap perempuan bukan hanya masalah tindak kriminal, tetapi juga merupakan pengebirian terhadap Hak Asasi Manusia, terutama Hak Asasi Manusia bagi perempuan (Women’s Human Rights).
Karena pada akhirnya segala usaha utuk  pemenuhan Hak Asasi Manusia umumnya dan Hak Asasi Perempuan khususnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh umat manusia baik laki-laki ataupun perempuan tanpa kecuali.
4.2       SARAN
Kepada para pembaca saya menyarankan agar lebih banyak membaca buku yang berkaitan dengan Penegakan HAM Perempuan di Indonesia agar mengetahui bagaimana untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh umat manusia tanpa memandang ia laki-laki atau perempuan .








DAFTAR PUSTAKA

1 Purbopranoto. Kuntjoro. 1979. Hak Hak Asasi Manusia Dan Pancasila, Jakarta: Pradnya Paramita.
2. Undang Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

3. Lopa, Baharuddin. 2001. Masalah Masalah Politik, Hukum Sosial Budaya, Agama: Sebuah Pemikiran. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

4. Prinst, Darwan. 2001. Sosialisasi, Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

5. Pusat Study Wanita ( PSW ) UIN Jakarta, Pengantar Kajian Gender, Jakarta: 2003.

6. Djumhardjinis.2006.Pendidikan Pancasila & Hak Asasi Manusia,Jakarta: Widya

7. Manan, Bagir. 2001. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Bandung: PT. Alumni.

8. Ali, Ahmad. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.

9. Wirawan, Tjuk. 1995. Penghayatan Bangsa Indonesia Terhadap Hak Hak Asasi Manusia. (Makalah) UNEJ.

10. Maurice.2004.. Hak-hak asasi Manusia MasaSekarang. Jakarta: Gramedia.Direktorat PLP.









































































































[1] Kuntjoro Purbopranoto,Hak Hak Asasi Manusia Dan Pancasila, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979, hlm. 16.
[2] Ibid.
[3] Undang Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
[4]  Baharuddin Lopa, Masalah Masalah Politik, Hukum Sosial Budaya, Agama: Sebuah PemikiranpustakaSinarHarapan, Jakarta, 2001, hlm. 138.
[5] Darwan Prinst, Sosialisasi, Diseminasi Penegakan Hak  Asasi Manusia, PT. Citra Aditya Bakti Bandung ,    2001, hlm 17.

[6] Pusat Study Wanita ( PSW ) UIN Jakarta, Pengantar Kajian Gender, Jakarta: 2003 hlm 23.
[7] Achie Sudiarti LuhulimaHak Perempuan Dalam Deklarasi Universal tentang HAM. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,2007. Hlm 36.
[8] Ibid.
[9] Pusat Studi Wanita, Op.Cit., hlm 25.
[10] Djumhardjinis,Pendidikan Pancasila & Hak Asasi Manusia, Widya, Jakarta: , 2006,hal 36
[11] Ismail Suny,”Hukum dan Hak asasi manusia dan pengaturannya”, dalam : Kuntjoro Purbopranoto,Op.Cit,hlm21.
[12] Bagir Manan , Perkemban gan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Mausia di Indonesia, PT.Alumni,Bandung, 2001, h lm. 80-81
[13] Ibid. hlm. 89.
[14] Ibid. hlm. 93
[15] Ahmad Ali SH.MH. Prof.Dr. Keterpurukan Hukum Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 7.
[16] Ibid, hlm 12-13.
[17] Tjuk Wirawan SH. Prof. Dr. Penghayatan Bangsa Indonesia Terhadap Hak Hak Asasi Manusia(MakalahUNEJ,1995 hlm. 4.
[18]Ignas Kleden, Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Kompas, Jakarta, 2001, hlm.117-124
[19] Frans Magnis Suseno,Sistem dan Kultur Hukum Indonesia,Jakarta: Gramedia Pustaka, 2003,hlm 27.
[20] Maurice. Hak-hak asasi Manusia MasaSekarang. Jakarta: Gramedia.Direktorat PLP.(2004) hal 78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar