BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut HAM dalam perspktif sejarahnya
dapat ditarik sampai pada permulaan kisah manusia dalam pergaulan hidup di
dunia ini sejak ia sadar akan hak yang dimilikinya dan kedudukannya sebagai
subyek hukum. Tetapi menurut hasil penelitian, sejarah HAM tumbuh dan
berkembang sejak HAM itu diperjuangkan ketika berhadapan dengan
kesewenang-wenangan kekuasaan Negara[1]
Setelah demokrasi, penegakan hak asasi manusia ( HAM ) merupakan elemen
penting untuk perwujudan sebuah Negara yang berkeadaban. Demokrasi dan HAM
ibarat dua mata yang saling menopang dengan yang lainnya. Jika dua unsur ini
berjalan dengan baik, pada akhirnya akan melahirkan sebuah tatanan masyarakat
madani yang demokratis, egaliter, dan kritis terhadap pelanggaran HAM. Penegakan
hak asasi manusia (HAM) di Indonesia masih buram, karena banyak program dan
peraturan yang dibuat pemerintah belum memihak rakyat miskin terutama perempuan[2].
HAM merupakan pemenuhan hak dasar
manusia termasuk revitalisasi penegakan
HAM perempuan di Indonesia, karena hal tersebut pantas diprioritaskan
bagi perempuan karena kemiskinan di Indonesia berwajah perempuan. Kondisi itu
menyebabkan sekitar 80 persen perempuan menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di
luar negeri. Mereka bekerja ke luar negeri menjadi TKW sebenarnya bukan
pilihan. Namun hal itu dilakukan karena di Indonesia tidak menyediakan lapangan
kerja dan tidak ada akses pekerjaan untuk perempuan, penegakan HAM khususnya
perempuan juga masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
Hal itu dapat dilihat dari
banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan TKW yang mengalami
kekerasan fisik maupun seksual. Di Indonesia terdapat 21.000 kasus KDRT, belum
lagi kasus TKW di luar negeri yang disiksa majikan, diperkosa, dan tidak mendapatkan
gaji sesuai kesepakatan. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan
perhatian dan kepedulian terhadap penegakan HAM perempuan, Selain itu, pemerintah
juga perlu memberikan ruang dialog untuk masyarakat khususnya perempuan agar
permasalahan yang ada di tengah masyarakat terutama yang menyangkut HAM dapat
segera dicarikan solusi.
Pemerintah perlu memberikan ruang
dialog sehingga aspirasi rakyat bisa disampaikan dan dapat segera
ditindaklanjuti untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, Tidak adanya jaminan
atas rasa aman menyebabkan perempuan Indonesia, juga kelompok minoritas, masih
belum dapat menikmati kemerdekaan yang hakiki meski 14 tahun reformasi bergulir
dan 67 tahun sudah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Bagi perempuan
kemerdekaan dicerabut dari satu pelaku ke pelaku yang lain, dan berubah dari
satu bentuk ke bentuk yang lain.
Menikmati keadilan dan rasa aman, yaitu jaminan untuk bebas dari
kekerasan dan diskriminasi di segala ranah kehidupan serta bebas dari rasa
takut untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya,
adalah bagian intrinsik dari makna merdeka. Hak atas rasa aman sebagai hak
warga negara ini dinyatakan tegas di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Pasal 28G Ayat 1. Jaminan rasa aman memudar akibat keberadaan
kebijakan diskriminatif, penggunaan kekerasan oleh aparat terhadap aksi damai
masyarakat sipil, dan dukungan terbatas bagi pemulihan perempuan korban
kekerasan.
1.2.
Rumusan Masalah
Dari sedikit gambaran diatas, tentu
akan memunculkan beberapa pertanyaan antara lain sebagai berikut:
1.
Apa pengertian dari HAM ?
2.
Apa itu Gender ?
3.
Apa yang dimaksud Hak Asasi Perempuan ?
4. Instrumen
apa sajakah yang digunakan untuk penegakan HAM perempuan di Indonesia ?
5.
Bagaimana cara merevitalisasi
penegakan HAM perempuan di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian HAM
1. Hak Asasi Manusia
Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia merumuskan pengertian HAM sebagai perangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa HAM itu adalah
hak yang tidak terpisahkan dari esensi dan eksistensi manusia dan merupakan
anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati dan dilindungi oleh siapapun
juga. Mengabaikannya berarti mengingkari anugerah Tuhan Yang Maha Esa sekaligus
berarti pula mengingkari eksistensiNya sebagai al-Khaliq. Manusia
merupakan makhluk yang paling mulia dalam pandangan Tuhan . Ia diberiNya
akal budi yang menjadi sebuah potensi baginya untuk dapat membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk. Karenanya martabat manusia yang mulia tersebut harus
dihormati dan dijunjung tinggi termasuk hak hak yang melekat padanya. Hak hak
itu meliputi [3]
1. Hak untuk hidup;
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan
keturunan;
3. Hak mengembangkan diri;
4. Hak memperoleh keadilan;
5. Hak atas kebebasan pribadi;
6. Hak atas rasa aman;
7. Hak atas kesejahteraan;
8. Hak turut serta dalam pemerintahan;
9. Hak wanita;
10.
Hak
anak
Rincian di atas apabila disimpulkan lebih lanjut dapat
dipahami bahwa pada hakikatnya HAM itu terdiri atas dua hak dasar yang paling
fundamental yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Kedua hak dasar ini saling
mempengaruhi dan sekaligus akan menjamin terpenuhinya pula hak asasi yang lain.
Sebagai contoh, tidak mungkin kehidupan demokrasi dapat diwujudkan kalau rakyat
tidak dijamin hak persamaan dan hak kebebasannya untuk memilih wakil wakilnya
di parlemen[4]
Penerapan HAM sebagaimana yang diatur dalam UU. No. 39 Tahun
1999 hanya dapat dibatasi berdasarkan Undang Undang. Pembatasan itu hanya dapat
dilakukan demi ketertiban umum dan kepentingan bangsa bukan kepentingan
penguasa. Untuk itu tidak ada satu ketentuanpun dalam Undang Undang tentang HAM
di atas boleh diinterpretasikan bahwa pemerintah atau pihak manapun dibenarkan
mengurangi, merusak atau menghapuskan HAM. Oleh karenanya siapapun tidak
dibenarkan mengambil keuntungan sepihak dan/atau mendatangkan kerugian bagi
pihak lain dalam menginterpretasikan ketentuan dalam Undang Undang Tentang HAM
sehingga mengakibatkan berkurang dan terhapusnya HAM yang dijamin oleh Undang
Undang tersebut[5].
2.2 Pengertian Gender
Isitilah gender harus dibedakan
dengan jenis kelamin (seks). Gender mengacu pada perbedaan peran antara
perempuan dan laki-laki yang di bentuk oleh budaya, sedangkan seks memiliki
pengertian perbedaan jenis klamin laki-laki dan perempuan secara biologis.
Secara umum, menurut Mansour Faqi , ketidak adilan gender menyebabkan perlakuan sosial sebagai berikut:
Secara umum, menurut Mansour Faqi , ketidak adilan gender menyebabkan perlakuan sosial sebagai berikut:
1. Marginalisasi perempuan(penguciilan)
2. Penempatan perempuan pada posisi
yang lebih rendah ketimbang laki- laki(tersubor dinasi)
3. Pelebelan perempuan yang berkonotasi
negativ (streotipisasi)
4. Kekerasan terhadap perempuan
Lahirnya Hak sasi Manusia (DUHAM) pada 1948 memberikan harapan baru bagi perempuan karena deklarasi ini menjamin hak-hak asasi manusia baik laki-laki maupun perempuan. Indonesia mempunyai banyak dokumen hukum untuk melindungi hak-hak perempuan. Sebagian dokumen tersebut telah mengadopsi dan meratifikasi beberapa dokumen Internasional[6].
Hak-hak perempuan yang tersurat dalam dokumen-dokumen tersebut, diantaranya :
1. hak-hak dalam bidang sosial politik;
2. hak-hak dalam bidang pendidikan;
3. hak-hak dalam bidang pekerjaan;
4. hak-hak dalam perkawinan;
5. hak-hak dalam perdagangan dan
eksploitasi perempuan.
2.3 Hak Asasi Perempuan
Hak asasi Perempuan merupakan bagian dari Hak asasi manusia.
penegakan hak asasi perempuan merupakan bagian dari penegakkan hak asasi
manusia. Sesuai dengan komitmen internasional dalam Deklarasi PBB 1993 , maka
perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi perempuan adalah tanggung
jawab semua pihak baik lembaga-lembaga Negara ( eksekutif, legislatif,
yudikatif ) maupun Partai politik dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bahkan
warga Negara secara perorangan punya tanggung jawab untuk melindungi dan
memenuhi hak asasi perempuan[7] .
Dari berbagai kajian tentang
perempuan, terlihat bahwa kaum perempuan sudah lama mengalami diskriminasi dan
kekerasan dalam segala bidang kehidupan . Berbagai bentuk diskriminasi dan
kekerasan terhadap perempuan telah memperburuk kondisi kehidupan perempuan dan
menghambat kemajuan perempuan. Bermacam usaha telah lama diperjuangkan untuk
melindungi hak asasi perempuan dan kebebasan bagi perempuan, namun sampai
dewasa ini hasilnya belum signifikan.[8]
Mengatasi hal ini, di perlukan
berbagai instrumen nasional tentang perlidungan hukum terhadap hak asasi
perempuan. Di level Perserikatan Bangsa-Bangsa masalah perlindungan hak asasi
perempuan sudah sangat dipahami antara lain melalui Deklarasi Beijing Platform,
pada tahun 1995 yang melahirkan program –program penting untuk mencapai
keadilan gender. Di Indonesia, sesungguhnya sudah cukup banyak perlindungan
hukum terhadap hak asasi perempuan, baik dalam bentuk peraturan
perundang-undangan maupun dalam bentuk kebijakan-kebijakan negara. Namun hak
asasi perempuan masih belum terlindungi secara optimal.
Bila dicermati dengan seksama ,
sesungguhnya banyak kondisi –kondisi rawan terhadap kemajuan perlindungan hak
asasi perempuan di Indonesia. Dengan struktur masyarakat patriarkhi, secara
sosio- kultural kaum laki-laki lebih diutamakan dari kaum perempuan, bahkan
meminggirkan perempuan. Perilaku budaya yang menetapkan perempuan pada peran
ibu dan isteri merupakan hambatan besar dalam pemajuan hak asasi perempuan.
Disamping itu, interpretasi keliru dari ajaran agama tentang gender telah
mengurangi universalitas hak asasi perempuan di Indonesia[9].
Dengan lambatnya pemajuan
perlindungan hak asasi perempuan di Indonesia, maka nampaknya diperlukan
upaya-upaya disamping kegiatan sosialisasi yang optimal mengenai hak asasi
perempuan, juga penambahan Peraturan Perundang-undangan tentang hak asasi
perempuan. Disamping itu, dengan banyaknya masalah yang muncul tentang
kehidupan perempuan, maka perangkat undang-undang masih sangat diperlukan untuk
mengatasi persoalan-persoalan perempuan, seperti eksploitasi terhadap tenaga
kerja perempuan, persoalan perempuan di wilayah konflik, prostitusi dan
lain-lainnya[10].
2.4 Instrumen Penegakan HAM
Perempuan di Indonesia
Pemikiran HAM sejak awal pergerakan kemerdekaan hingga
saat ini mendapat pengakuan dalam bentuk hukum tertulis yang dituangkan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang berpuncak pada konstitusi sebagai
peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Sekalipun UUD 45 memuat
ketentuan ketentuan tentang HAM yang mencakup bidang sipil, politik, ekonomi,
sosial dan budaya tetapi pengaturan itu dianggap belum detail sehingga timbul
permasalahan dalam bentuk hukum apakah rincian HAM itu harus ditetapkan.
Ismail Suny[11]
berpendapat bahwa terdapat tiga kemungkinan bentuk hukum yang dapat menampung
rincian HAM itu:
1. Menjadikannya sebagai bagian
integral dari UUD 45 yaitu dengan melakukan amandemen UUD 45.
2. Menetapkan rincian HAM dalam
Ketetapan MPR. Keberatannya adalah bahwa suatu Ketetapan MPR pada umumnya tidak
mengatur ancaman hukuman bagi pelanggarnya.
3.
Mengundangkannya
dalam suatu Undang Undang yang mengatur tentang sanksi hukum terhadap
pelanggarnya.
Dari tiga kemungkinan bentuk hukum di atas dalam
realitasnya secara keseluruhan telah dipraktekkan oleh
pemerintah Indonesia dalam menguraikan rincian HAM.[12] Berikut
ini akan dijelaskan secara lebih detail bentuk bentuk hukum di atas sebagai
instrumen penegakan HAM di Indonesia:
a.
Amandemen
UUD 45.
Wacana tentang perlunya HAM dimasukkan dalam UUD 45
berkembang ketika kesadaran akan pentingnya jaminan perlindungan HAM semakin
meningkat menyusul jatuhnya rezim Orde Baru yang represif dan otoriter. Telah
diakui bahwa UUD 45 tidak secara eksplisit mengatur tentang HAM, bahkan beberapa
pakar secara tegas menyatakan bahwa konstitusi negara kita tidak mengenal HAM
karena dirumuskan sebelum adanya Deklarasi Universal HAM. Atas dasar itu
amandemen UUD 45 untuk memasukkan HAM didalamnya merupakan tuntutan reformasi
yang tidak bisa dielakkan. Dan usaha ini diharapkan akan semakin memperkuat
komitmen negara Indonesia untuk menegakkan dan melindungi HAM di Indonesia,
karena dengan menjadi bagian integral UUD 45 HAM itu akan menjadi hak yang
dilindungi secara konstitusional (constitutional right) . Pemikiran ini
kemudian direalisasikan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 melalui
amandemen II UUD 45.
b.
Ketetapan
MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia.
Ketetapan ini disahkan oleh Rapat Paripurna Sidang Istimewa
MPR pada tanggal 13 Nopember 1998. Pada masa awal reformasi tuntutan mengenai
perlunya suatu aturan yang memuat ketentuan tentang HAM yang lebih rinci
mengemuka dengan kuat dan menjadi isu sentral yang cukup luas. Untuk
mengakomodasi tuntutan tersebut bentuk hukum yang dipilih untuk mengatur
tentang HAM adalah Ketetapan MPR, karena pada saat itu masih terjadi tarik
menarik antara kelompok yang menghendaki amandemen UUD 45 dan kelompok yang
menolaknya. Maka untuk menjembatani dua kolompok yang saling berseberangan ini
dicarilah suatu pola yang secara relatif lebih dapat diterima oleh mereka yaitu
dengan membuat Ketetapan MPR yang mengatur tentang HAM, di samping secara
prosedural pola ini lebih mudah dilakukan dibanding dengan amandemen UUD
45.
c.
Undang
Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang Undang ini dipandang sebagai Undang Undang pelaksana
dari Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia di atas, karena
salah satu dasar hukumnya adalah Ketetapan MPR tersebut. Ketika Undang Undang
ini didiskusikan terdapat dua pendapat yang kontradiktif tentang perlunya
Undang Undang tentang HAM. Pendapat pertama menyatakan bahwa pada dasarnya
ketentuan mengenai HAM tersebar dalam berbagai Undang Undang . Oleh
karenanya tidak perlu dibuat Undang Undang khusus tentang HAM. Pendapat lain
menyatakan bahwa Undang Undang tentang HAM diperlukan mengingat Tap MPR tentang
HAM yang sudah ada tidak berlaku oprasional dan Undang Undang yang sudah ada
tidak seluruhnya menampung materi HAM. Selain itu, Undang Undang tentang HAM
akan berfungsi sebagai Undang Undang payung bagi peraturan perundang-undangan
mengenai HAM yang sudah ada selama ini.[13]
Undang Undang No.39 Tahun 1999 selain memuat ketentuan
ketentuan tentang HAM juga mengatur tentang Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia yang fungsi pokoknya adalah melakukan pengkajian, penelitian,
penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang HAM.
d. Undang Undang No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia.
Undang Undang ini dapat dianggap sebagai tonggak hukum kedua
dalam penegakan HAM dalam level Undang Undang setelah UU. No.39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Undang Undang ini merupakan pengganti dari Peraturan
Pmerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) No 1 Tahun 1999 yang mengatur hal
yang sama yang telah ditolak oleh DPR sebelumnya[14]
e. Undang Undang No. 09 Tahun 1998
Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
Keterpurukan hukum di Indonesia sejak masa Orde Baru hingga
sekarang meliputi tiga unsur sistem hukum, sebagaimana dikemukakan oleh
Lawrence Meir Friedmann, yaitu struktur (structure), substansi (substance),
kultur hukum (legal culture).[15]
1.
Struktur, yang dimaksud dengan struktur dalam sistem hukum Indonesia adalah
institusi institusi penegakan hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan
Pengadilan, serta hirarki peradilan dari yang terendah (Pengadilan Negeri,
Pengadilan Agama, dan lain-lain) hingga yang tertinggi (Mahkamah Agung), begitu
juga aparat penegak hukum yang bekerja pada institusi institusi penegakan hukum
tersebut. Problem yang terjadi berkenaan dengan struktur ini adalah belum
adanya kemandirian yudisial yang menjamin resistensi institusi institusi
penegakan hukum terhadap intervensi pihak lain serta rendahnya kualitas
moralitas dan integritas personal aparat penegak hukum sehingga hukum tidak
dapat bekerja secara sistemik dan proporsional, termasuk dalam penegakan HAM.
2.
Substansi, yaitu aturan, norma dan pola prilaku nyata manusia yang ada dalam
sistem itu atau produk produk yang dihasilkannya berupa keputusan keputusan
yang mereka keluarkan dan mencakup pula hukum yang hidup (living law)
dan bukan hanya aturan aturan yang ada dalam kitab undang undang (law books).
Yang menjadi problem dari substansi ini adalah kuatnya pengaruh positivisme
dalam tatanan hukum di Indonesia yang memandang hukum sebagai sesuatu yang
muncul dari otoritas yang berdaulat dalam bentuk undang undang dan mengabaikan
sama sekali hukum diluar yang tersebut serta memandang prosedur hukum sebagai
segala-galanya dalam penegakan hukum tanpa melihat apakah hal tersebut dapat
mewujudkan keadilan dan kebenaran.
3.
Kultur hukum, yaitu suasana pikiran dan kekuatan sosial yang menentukan
bagaimana hukum itu digunakan, dihindari, dan disalahgunakan. Kultur hukum yang
merupakan ekspressi dari tingkat kesadaran hukum masyarakat belum kondusif bagi
bekerjanya sistem hukum secara proporsional dan berkeadilan.[16]
Keterpurukan hukum di Indonesia yang meliputi tiga unsur
sistem hukum di atas sangat menghambat penegakan HAM di negara kita sehingga
wajar apabila kasus kasus pelanggaran HAM yang tergolong berat hingga sekarang
tidak ada yang berhasil diusut secara tuntas dan profesional dan sudah tentu
hal ini sangat mengusik rasa keadilan masyarakat secara umum.
Dalam konteks ini, Tjuk Wirawan berasumsi bahwa apabila
sebagian besar rakyat Indonesia sudah mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sampai
dengan hirarki keempat yang berarti sebagian besar rakyat sudah menginginkan
pengakuan martabat dan harga dirinya serta membutuhkan penghargaan sosial dan
ingin diperlakukan secara adil, maka pada taraf inilah penghormatan HAM dan
penegakan serta penghayatannya yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia akan
dapat dicapai.[17]
Sistem sosial masyarakat Indonesia pada dasarnya bersumber
dari nilai-nilai agama dan budaya yang menghargai dan menghormati kedudukan
manusia sebagai makhluk Allah SWT yang termulia di bumi ini. Nilai-nilai agama
dan budaya tersebut kemudian membentuk etika sosial yang menjadi acuan bagi
masyarakat dalam berprilaku dan berinteraksi antara yang satu dengan yang lain
dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Masyarakat Indonesia terkenal dengan sifat sopan santunnya,
sikap hormatnya kepada orang lain serta rasa kekeluargaannya yang sangat
tinggi. Tapi yang menjadi permasalahan adalah mengapa ketika terjadi krisis
multidimensional karakter sosial yang positif tersebut menjadi berbalik seratus
delapan puluh derajat, sehingga yang terjadi adalah kebiadaban, keangkuhan dan
kekerasan yang kemudian menimbulkan ketidak-tertiban dan
ketidak-harmonisan sosial (social disorder and disharmony).[18]
Dan kondisi sosial semacam ini tentu sangat tidak kondusif bagi usaha usaha
penegakan HAM di Indonesia.
Frans Magnis Suseno[19] mencoba
memberi jawaban dari permasalahan di atas. Menurutnya sistem sosial masyarakat
Indonesia rusak karena sistem sistem yang lain tidak bekerja dengan baik,
misalnya sistem hukum, sistem politik dan sistem ekonomi. Seandainya sistem
sistem ini bekerja dengan baik maka sistem sosial itu akan menjadi baik pula,
karena sistem sistem tersebut antara satu sama lain saling
mempengaruhi.
2.5 Revitalisasi Penegakan HAM
Perempuan di Indonesia
Tidak bisa disangkal, dalam banyak hal, kondisi perempuan
Indonesia dewasa ini jauh lebih baik dari masa sebelumnya. Kesempatan kerja dan
berkarir, kesempatan pendidikan, kesempatan dalam lembaga-lembaga publik dan
politik yang dimiliki perempuan hampir sama besar dengan kesempatan yang
dipunyai warga laki-laki.
Berbagai kebijakan yang mendukung pemenuhan hak-hak
perempuan dan keadilan gender juga mulai berkembang. Sebut saja sebagai contoh,
Inpres No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender, UU No. 23/2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), dan lain sebagainya.
Lembaga-lembaga khusus yang memiliki program pemberdayaan dan penguatan hak-hak
perempuan, baik lembaga negara maupun non negara, tumbuh dan berkembang pesat.
Indonesia bahkan menjadi salah satu negara yang memiliki komisi khusus anti
kekerasan terhadap perempuan, yaitu Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan).
Pencapaian-pencapaian formal di atas tentu berpengaruh juga
pada level kesadaran publik. Di Indonesia hari ini, pandangan-pandangan tabu
tantang perempuan karir, perempuan berpendidikan tinggi, perempuan politisi,
perempuan pejabat atau perempuan pemimpin sudah makin jarang ditemui. Masalah
kekerasan dalam rumah tangga yang sering dianggap sebagai urusan pribadi,
urusan internal keluarga, sudah menjadi konsumsi umum. Dengan banyaknya lembaga
layanan kasus kekerasan terhadap perempuan, kesadaran masyarakat untuk melaporkan
kasus dan memprosesnya secara hukum juga tumbuh kuat.
Tentu di antara pencapaian tersebut, masih sangat banyak
pekerjaan rumah yang mendesak diselesaikan. Meski persentase anggota legislatif
perempuan di tingkat nasional mengalami kenaikan, proses-proses politik masih
sangat jauh dari perspektif perempuan dan perspektif gender. Hiruk pikuk
perpolitikan kita masih didominasi
laki-laki. Meski kesempatan dalam pendidikan seakan setara,
tenaga-tenaga profesional dan ahli masih didominasi laki-laki.
Meski kesempatan kerja juga seakan sama, eksploitasi,
diskriminasi dan kekerasan masih dialami buruh migran perempuan, para pekerja
rumah tangga perempuan dan buruh perempuan di pabrik-pabrik. Meski kita sudah
punya UU PKDRT, angka kekerasan masih tinggi dan proses hukum terhadap
kasus-kasus tersebut belum berjalan maksimal.
Di sisi lain, berkembangnya fenomena penerapan syariat Islam
yang melindungi perempuan dan aturan-aturan yang mengeksploitasi tubuh dan
seksualitas perempuan seperti UU Pornografi menjadi ancaman baru bagi penegakan
hak-hak perempuan di Indonesia dewasa ini. Feminisasi kemiskinan yang semakin
kuat akibat globalisasi ekonomi lewat free trade juga perlu advokasi
khusus[20].
Meski demikian, melihat perkembangannya yang positif, kita
seharusnya optimis kondisi perempuan di negeri kita akan semakin baik. Gerakan
perempuan dalam keindonesiaan masa kini telah berhasil mengupayakan
pencapaian-pencapaian itu. Tentunya, dengan catatan tebal, kerja keras harus
terus dilakukan.
Yang perlu menjadi wacana saat ini adalah terkait phobia
tentang tujuan “akhir” gerakan perempuan yang dianggap akan membalik keadaan,
di mana perempuan menjadi pihak baru yang mendominasi relasi gender. Tidak
dipungkiri, pandangan semacam ini masih kuat berkembang di masyarakat, khususnya
di kalangan laki-laki yang selama ini memang memegang kendali. Gerakan
perempuan sendiri tentu harus menguatkan visinya bahwa upaya-upaya penguatan
hak perempuan yang selama ini dilakukan dan dikampanyekan lebih untuk tujuan
keadilan dalam relasi gender, bukan dalam rangka menciptakan dominasi baru,
dominasi perempuan atas laki-laki.
Untuk menguatkan visi ini, salah satu terobosan penting yang
harus dilakukan gerakan perempuan Indonesia saat ini adalah lebih aktif
mengajak laki-laki untuk terlibat dalam agenda gerakan perempuan dan keadilan
gender. Gerakan perempuan perlu menyentuh rasa keadilan laki-laki juga, karena
kenyataannya mereka juga merasakan dampak negatif ketidakadilan gender. Harus
dikampanyekan bahwa ketidakadilan gender yang diusahakan gerakan perempuan
adalah keadilan gender bagi semua, karena itu tugas mewujudkan keadilan gender
tak bisa hanya dibebankan pada perempuan, tapi juga laki-laki.
Gerakan perempuan saat ini harus melepaskan “ideologi” lama
semisal memandang laki-laki sebagai enemy in bed alias musuh dalam
selimut. Alih-alih, saatnya gerakan perempuan memandang laki-laki sebagai
partner dan sahabat dalam penegakan hak-hak perempuan dan keadilan gender , keadilan
dan kemajuan yang diupayakan gerakan perempuan seharusnya tak lagi hanya
berorientasi sepihak. Dunia ini tak hanya milik perempuan, meskipun, karena
perempuan adalah kelompok mayoritas yang menerima akibat ketidakadilan gender
dan korban terbesar kekerasan berbasis gender, maka perempuan perlu menjadi
prioritas upaya penegakan keadilan gender. Tujuan keadilan bersama, bagi
perempuan dan laki-laki harus menjadi hal utama menuju dunia yang lebih baik,
dimulai dari negeri kita. Inilah masa depan feminisme Indonesia, feminisme demi
keadilan bersama, keadilan gender, keadilan bagi perempuan dan laki-laki.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Hak-hak
asasi perempuan di Indonesia sangatlah kurang diperhatikan olehsebagian
masyarakat. Pembagian peran secara seksual yakni yang menempatkan perempuan di rumah (sektor domestik/privat)
dan laki-laki di luar rumah (sektor publik) menyebabkan terbatasnya
akses perempuan terhadap sumber dayaekonomi, sosial, dan politik. Selain
menjadi korban diskriminasi, perempuan jugamenjadi obyek yang sangat riskan
terhadap tindak kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan produk
historis yang telah berlangsung lama. Kekerasan terhadap perempuan bukan hanya
masalah tindak kriminal, tetapi juga merupakan pengebirian terhadap Hak
Asasi Manusia, terutama Hak Asasi Manusia bagi perempuan (Women’s Human Rights).
Karena
pada akhirnya segala usaha utuk pemenuhan Hak Asasi Manusia umumnya
dan Hak Asasi Perempuan khususnya bertujuan
untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh umat manusia baik
laki-laki ataupun perempuan tanpa kecuali.
4.2 SARAN
Kepada para pembaca saya menyarankan agar lebih banyak membaca buku yang berkaitan dengan Penegakan HAM Perempuan di Indonesia agar mengetahui bagaimana untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh umat manusia tanpa memandang ia laki-laki atau perempuan .
Kepada para pembaca saya menyarankan agar lebih banyak membaca buku yang berkaitan dengan Penegakan HAM Perempuan di Indonesia agar mengetahui bagaimana untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh umat manusia tanpa memandang ia laki-laki atau perempuan .
DAFTAR PUSTAKA
1 Purbopranoto.
Kuntjoro. 1979. Hak Hak Asasi Manusia Dan Pancasila, Jakarta: Pradnya
Paramita.
2. Undang Undang
No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
3. Lopa,
Baharuddin. 2001. Masalah Masalah Politik, Hukum Sosial Budaya, Agama:
Sebuah Pemikiran. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
4. Prinst,
Darwan. 2001. Sosialisasi, Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
5. Pusat
Study Wanita ( PSW ) UIN Jakarta, Pengantar Kajian Gender, Jakarta: 2003.
6.
Djumhardjinis.2006.Pendidikan Pancasila
& Hak Asasi Manusia,Jakarta: Widya
7. Manan, Bagir. 2001. Perkembangan Pemikiran dan
Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Bandung: PT. Alumni.
8. Ali,
Ahmad. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
9. Wirawan,
Tjuk. 1995. Penghayatan Bangsa Indonesia Terhadap Hak Hak Asasi Manusia.
(Makalah) UNEJ.
10.
Maurice.2004.. Hak-hak asasi Manusia
MasaSekarang. Jakarta: Gramedia.Direktorat PLP.
[1] Kuntjoro
Purbopranoto,Hak Hak Asasi Manusia Dan Pancasila, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1979, hlm. 16.
[2] Ibid.
[3] Undang Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia.
[4] Baharuddin Lopa, Masalah Masalah
Politik, Hukum Sosial Budaya, Agama: Sebuah PemikiranpustakaSinarHarapan,
Jakarta, 2001, hlm. 138.
[5] Darwan Prinst, Sosialisasi, Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia, PT. Citra Aditya Bakti
Bandung , 2001, hlm 17.
[6] Pusat
Study Wanita ( PSW ) UIN Jakarta, Pengantar Kajian Gender, Jakarta: 2003 hlm
23.
[7] Achie Sudiarti LuhulimaHak Perempuan
Dalam Deklarasi Universal tentang HAM. Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta,2007. Hlm 36.
[8] Ibid.
[9] Pusat Studi Wanita, Op.Cit., hlm 25.
[10] Djumhardjinis,Pendidikan Pancasila & Hak Asasi Manusia,
Widya, Jakarta: , 2006,hal 36
[11] Ismail Suny,”Hukum dan Hak asasi
manusia dan pengaturannya”, dalam : Kuntjoro Purbopranoto,Op.Cit,hlm21.
[12] Bagir
Manan , Perkemban gan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Mausia di Indonesia,
PT.Alumni,Bandung, 2001, h lm. 80-81
[15] Ahmad
Ali SH.MH. Prof.Dr. Keterpurukan Hukum Di Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2002, hlm. 7.
[16] Ibid, hlm 12-13.
[17] Tjuk
Wirawan SH. Prof. Dr. Penghayatan Bangsa Indonesia Terhadap Hak Hak Asasi
Manusia(MakalahUNEJ,1995 hlm. 4.
[18]Ignas
Kleden, Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Kompas, Jakarta,
2001, hlm.117-124
[19] Frans Magnis Suseno,Sistem dan Kultur Hukum Indonesia,Jakarta:
Gramedia Pustaka, 2003,hlm 27.
[20] Maurice.
Hak-hak asasi Manusia MasaSekarang.
Jakarta: Gramedia.Direktorat PLP.(2004) hal 78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar