Translate

Sabtu, 22 Desember 2012

Presiden bisa lengser ditengah jalan




Tiga tahun perjalanan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Boediono sebagai presiden dan wakil presiden dari hasil pemilu yang dimenangkan satu putaran, banyak menuai kontroversi sejak keduanya terpilih.
mulai dari kado ledakan bom di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, disusul SBY melakukan press conference yang seakan-akan dirinya yang menjadi target pembunuhan. Ternyata setelah terungkap, analisa yang disampaikan itu tidaklah sepenuhnya tepat. Dan, yang terbaru kontroversi pembatalan keberangkatannya ke Belanda di menit-menit terakhir, terkait gugatan Rebublik Maluku Selatan (RMS) di pengadilan Negeri Den Haag yang dilakukan melalui cort geding atau putusan sela. RMS meminta putusan agar dikabulkan pencabutan hak imunitas kepala negara dalam kunjungan ke Belanda. Dan banyak kontroversi lainnya yang selama ini muncul di sekitar pemerintahannya.
Menuju satu tahun pemerintahan SBY-Boediono pada 20 Oktober 2010, muncul wacana akan menjatuhkan SBY sebelum akhir masa jabatannya (Surya, 11 Oktober 2010). Kalau dilihat, sistem pemerintahan Indonesia bukan sistem parlementer yang dapat menjatuhkan presiden melalui alasan politis. Tetapi, hanya dapat diberhentikan jika melanggar konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) yang sebelumnya harus mendapat putusan Mahkamah Konstitusi (MK), di mana MK akan memutuskan tindakan tersebut bertentangan dengan konstitusi atau tidak.
Hasilnya, akan diberikan pada DPR kembali, jika putusan dari MK menyatakan tak ada yang dilanggar, maka presiden tak dapat diberhentikan dari jabatannya sebelum berakhirnya masa jabatannya (impeachment). Selain itu presiden juga bisa berhenti jika mangkat, berhenti dan tak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya. Sehingga presiden bisa diberhentikan secara konstitusional.
Akan tetapi mungkin bisa terjadi pemberhentian presiden karena people power dan kudeta yang biasa terjadi dalam sebuah negara. People power membuat Presiden Soeharto lengser dan itu karena gerakan reformasi yang menginginkan perubahan yang mendasar. Akan tetapi tak semudah itu menjatuhkan kekuasaan presiden yang legitimate. Untuk menjatuhkan kekuasaan presiden di tengah jalan, ongkos politiknya sangat mahal, karena akan ada pro dan kontra sehingga sangat mungkin terjadi keributan dan huru-hara dan mengakibatkan gangguan stabilitas politik. Sudah barang tentu ini akan mengorbankan rakyat, baik fisik dan nonfisik, karena ulah kepentingan politik kekuasaan belaka.
Pemberhentian presiden bisa dicegah dengan tindakan preventif dengan mengakomodir masukan dan mengubah gaya kepemimpinan yang lebih memihak pada keadilan, kesejahteraan (ekonomi), stabilitas politik pembangunan yang berorientasi wawasan nusantara dan pembangunan berkesinambungan untuk kepentingan bangsa dan negara. Serta, presiden harus berani mengganti orang-orang di sekelilingnya yang kurang berkompeten di bidangnya.
People Power
Di luar aturan yang tertuang dalam konstitusi, UUD 1945 dimungkinkannya kekuatan masa (people power) dalam menggulingkan pemerintahan yang sah karena dianggap otoriter, dan terdapat ketidakpuasan pada pemerintah atau keretakan tokoh politik yang memiliki pengaruh kuat.
Seperti saat lengsernya Soeharto (1998) merupakan hasil dari tekanan massa dan MPR yang dipimpin Harmoko ‘memberi’ dukungan terhadap aksi agar Soeharto mundur. Dalam aksi pemakzulan presiden juga terdapat huru-hara, boikot dan civil restistance yang disebabkan ketidakpuasan suatu hal, misalnya korupsi. Pengumpulan massa seharusnya tak dianggap sebagai hal ‘menakutkan’ dalam negara demokrasi, dan belum bisa disebut sebagai bentuk aksi penggulingan massa.
Jika 20 Oktober nanti akan terjadi demo besar-besaran di Indonesia belum tentu dapat menjatuhkan pemerintahan yang sah. Namun jika aksi tersebut didukung orang-orang yang dekat di pusat kekuasaan dan militer, sangat mungkin kekuasaan yang sah dapat dijatuhkan di luar tata cara yang ada dalam konstitusi tentang pemakzulan presiden. Aksi pemaksaan turunnya presiden nantinya akan menyebabkan terjadinya huru hara yang sangat membahayakan dan juga harus didukung aksi boikot.
Akan tetapi jika aksi 20 Oktober nanti masih bisa dikendalikan, tak akan ada pemakzulan presiden melalui gerakan massa, pemboikotan dan resistensi terhadap pemerintahan, maka SBY masih akan terus duduk di kursi presiden hingga masa jabatannya berakhir 2014 atau bisa berakhir dengan ketentuan yang tertuang pada konstitusi negara kita.
Jika aksi masa, pemboikotan dan resistensi sipil terhadap pemerintahan dan terjadi pemakzulan presiden, maka akan terjadi, kudeta, revolusi atau reformasi jilid II dan rakyat harus membayar kembali biaya politik yang sangat mahal ini, yang semestinya kedaulatan rakyat dilaksanakan sesuai UUD 1945 dan karena ketidakpercayaan akan pemerintahan dan pejabat negara akan membuat massa menjadi anti. Semoga pemerintah merespons positif segala hal yang terjadi, untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dengan mereformasi diri dan melawan korupsi serta bertindak tegas dan adil dalam menjalankan pemerintahan serta penegakkan hukum.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar